Sebagaimana kita hidup di Negara berkembang, tentu sangat banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu yang selalu menghantui kita dari tahun ke tahun adalah tentang tingginya angka pengangguran yang terus saja bertambah. Data terakhir dari BPS lebih dari 7juta masyarakat di Indonesia menganggur saat ini. Dan yang lebih mengherankan lagi sekitar 9% dari angka tersebut adalah lulusan dari berbagai universitas. Tentu ini sangat merisaukan kita.
Bagaimana bisa kita yang notabennya memiliki banyak lulusan sarjana, bukan hanya tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah, tetapi justru menjadi sumber masalah berikutnya dengan malah semakin memperbanyak jumlah angka pengangguran di Indonesia.
Ada apa dengan pendidikan kita?
Beberapa waktu lalu saya mendengar pembicaraan seorang dosen UGM mengenai berbagai masalah dalam dunia pendidikan, yang saat ini akan saya bahas, harapannya agar bisa menjadi pembelajaran untuk kita bersama. Semoga kemudian dapat merubah persepsi kita, yang nantinya semoga mampu membenahi hal yang seharusnya memang harus dibenahi, agar semakin banyak tercipta generasi unggulan bangsa
Kebanyakan sekolah membunuh kreatifitas manusia. Bagaimana tidak?Â
Sekolah digambarkan seperti mesin pencetak robot, yang hanya  fokus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja industry saja. Justru ini dapat membunuh berbagai potensi. Pendidikan belum dirancang untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas untuk menyelesaikan masalah. Bahkan yang tak kalah mencengangkan banyak dari generasi kita, kuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan bagus di perusahaan bonafit dengan gaji yang besar.
Lantas bagaimana jika kondisi perekonomian kita sedang memburuk, sedangkan mereka hanya disiapkan untuk menjadi pekerja saja? Maka yang terjadi pastilah akan semakin banyak angka pengangguran. Mereka yang tidak terlatih hanya akan menjadi pasif tanpa bisa berbuat apa-apa untuk lingkungan di sekitarnya.
Pendidikan seharusnya memerdekakan, dan bukannya membelenggu. Pendidikan itu harusnya menyadarkan setiap individu dan mampu mengoptimalkan segala potensi yang ada. Dan bukan malah untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Pendidikan harusnya sesuai dengan kodrat manusia, harus melibatkan realita kehidupan, sehingga mampu menjawab permasalah yang real terjadi di sekitarnya.
Di dalam sekolah, seorang siswa biasanya mengerjakan soal yang standart begitu-begitu saja. Seharusnya pendidikan mengedepankan penalaran yang kritis. Ajak mereka untuk menemukan, menyuarakan sendiri permasalahan di sekitarnya dan dorong mereka untuk belajar menemukan solusi yang tepat atas permasalahan tersebut. Jangan lagi biasakan guru yang bertanya kepada murid, tapi ajarkan kepada merekalah yang aktif mengajukan pertanyaan
Akankah bisa demikian sedangkan yang kita lihat bersama, pendidikan kita saat ini hanya mengandalkan metode menghafal? Padahal menurut Benjamin Bloom berdasarkan teorinya, menghafal merupakan level berpikir yang paling rendah. Bagaimana seorang siswa dapat terlatih berpikir kritis jika ujian yang dipakai di sekolahnya hanya mengandalkan hafalan saja?
Dan berikut hirarki menuruk Bloom untuk mengklarifikasi pembelajaran berdasarkan kompleksitas dan kebutuhannya.
Level 1 Hafalan (remember)
Livel paling primitive dalam proses belajar. Di level ini siswa hanya dituntut untuk menghafal atau menyebutkan kembali semuah materi dengan benar
Level 2 Memahami (understand)
Di level ini seorang siswa mampu menjelaskan  materi yang disampaikan
Level 3 Mengaplikasian (to aplly)
Di level ini siswa sudah mampu menerapkan pengetahuan untuk konteks kehidupan
Level 4 Â Mengalalisis (to analyze)
Seorang siswa harusnya sudah bisa menginterpretasi suatu fenomena, ataupun sudah bisa membedah berbagai permasalahan berdasarkan fariabel-fariabel tertentu
Level 5 Â Mengevaluasi (to evaluate)
Di level ini siswa sudah bisa berpikir kritis. Mereka harus  bisa menyuarakan ketidakberesan dan sudah bisa mengambil posisinya dalam suatu permasalahan tertentu
Level 6 Menciptakan (to create)
Di sini siswa sudah bisa menciptakan berbagai solusi untuk permasalan-permasalan yang ada. Solusi yang orisinil, inovatif dan tentunya out of the box. Yang menurut Bloom disebutnya high thinking skill
Pendidikan harusnya mulai menerapkannya. Sudah menjadi tugas setiap sekolah untuk dapat memfasilitasi dan mampu mencipkan lingkungan pembelajaran yang memungkinkan siswa didiknya mampu mengoptimalkan level belajar yang paling tinggi tersebut.
Pendidikan juga jangan hanya fokus terhadap aspek pengetahuan saja, Â tetapi juga aspek-aspek ketrampilan dan perilaku. Sehingga pendidikan harus memenuhi kebutuhannya yaitu knowledge, skill dan attitude. Yang namanya sekolah atau kuliah bukan hanya sekedar tempat mencari ilmu, tapi juga tempat dimana mereka diasah ketrampilanya dan yang tak kalah penting tentu juga membangun perilaku atau karakter yang unggul
Pendidikan harusnya sudah mulai fokus mengembangkan manusia secara menyeluruh. Harus mampu membangkitkan dan mengasah ketrampilan semua siswanya yang beraneka macam. Jangan justru dibentuk sama. Hilangkahlah penyeragaman siswa, karena siswa tentu memiliki potensi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Analoginya seperti ini, jika dilakukan lomba berenang yang pesertanya monyet, harimau, macan, gajah, ikan, jerapah dan kucing. Maka tentulah ikan yang menjadi juaranya. Begitulah karena setiap makhluk itu berbeda dan memiliki keunikannya masing-masing. Jika kita melakukan penyeragaman tentu yang terjadi adalah kita akan membunuh potensi sebagian dari yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H