Mohon tunggu...
Iwok Abqary
Iwok Abqary Mohon Tunggu... lainnya -

Just an ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Di Balik Kesederhanaan Masyarakat Kampung Naga

4 Januari 2014   13:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:10 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang, kita selalu memandang rendah sebuah kesederhanaan. Di tengah serbuan modernisasi di segala bidang, kesederhanaan sering dianggap sebagai ketertinggalan, kuno, dan parahnya ... kampungan. Padahal, kalau dicermati lebih jauh lagi, tidak semua kesederhanaan dapat dicap sekejam itu. Alih-alih memiliki nilai yang rendah, kesederhanaan bisa saja berawal dari sebuah pemikiran sangat matang dan memiliki dampak yang sangat panjang. Itulah yang akhirnya saya tangkap saat mengunjungi Kampung Naga, kampung tradisional yang masih menjunjung adat tradisi dan budaya leluhur. [caption id="attachment_303537" align="aligncenter" width="500" caption="Kampung Naga dari kejauhan (dok. pribadi)"][/caption] Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Luas kampung tradisional ini hanya seluas 1,5 hektare saja dengan 314 jiwa dari 100 keluarga. Total ada 103 bangunan yang terdiri dari 100 bangunan rumah, dan 3 bangunan fasilitas umum; Masjid, Balai Pertemuan, dan Lumbung Umum. Di lahan seluas 1,5 hektare inilah adat dan tradisi ini berjalan lestari secara turun temurun. Memasuki area wilayah adat Kampung Naga, saya benar-benar disodorkan sebuah kesederhanaan yang alami. Rumah bertiang kayu, berdinding bilik bambu, berlantai papan, serta beratap ijuk. Tidak ada kesan berlebihan sama sekali, karena memang sesederhana itulah mereka. Bahkan saat saya memasuki salah satu rumah, tidak saya temukan kursi dan perabotan sama sekali di dalamnya. Apa pasal? [caption id="attachment_303538" align="aligncenter" width="500" caption="Rumah Masyarakat Kampung Naga (dok. pribadi)"]

13887375571040905857
13887375571040905857
[/caption] Jauh sebelum kita menggembar-gemborkan kesetaraan, persamaan dan menjauhkan perbedaan kasta, Masyarakat Kampung Naga sudah lebih dahulu menerapkannya. Membebaskan segala jenis perabotan dari dalam rumah adalah salah satu bentuk Masyarakat Naga menjunjung kesamaan derajat. “Apabila sebuah rumah dikunjungi banyak tamu, tidak semua tamu akan duduk di kursi. Sebagian pasti akan duduk di lantai. Hal itu sudah menciptakan adanya perbedaan. Ruangan yang lapang memungkinkan semua orang duduk lesehan bersama-sama, tanpa membedakan pangkat dan jabatan seseorang, tanpa ada seorang pun yang harus diistimewakan,” papar Pak Tatang, Pemandu yang menemani saya saat itu. Sebuah filosopi sederhana tetapi sangat mengena. [caption id="attachment_303555" align="aligncenter" width="500" caption="Tidak perlu semen untuk membangun dinding jalan setapak seperti ini! (doc. pribadi)"]
13887389161026684623
13887389161026684623
[/caption] Demikian pula dengan perabotan lainnya. Masyarakat Kampung Naga adalah masyarakat yang sangat terbuka. Tidak jarang mereka menerima kunjungan banyak tamu yang sengaja datang menginap. Entah untuk penelitian, maupun untuk mengenal adat budaya mereka. Ruangan yang lapang tanpa perabot memungkinkan lebih banyak tamu yang ditampung di rumah mereka. [caption id="attachment_303539" align="aligncenter" width="500" caption="Tungku Tradisional (dok. pribadi)"]
13887376251457098544
13887376251457098544
[/caption]

Saya pun melongok ke bagian dapur. Tidak ada kompor dengan tabung gas 3kg berwarna hijau yang pernah dibagikan pemerintah secara Cuma-cuma. Yang ada hanyalah sebuah tungku yang sudah menghitam dengan beberapa alat masak sederhana. Setumpuk kayu bakar tertumpuk di luar dapur, bahan bakar yang tidak akan terpengaruh oleh setinggi apapun inflasi harga minyak dunia. Mereka tidak perlu pusing seperti warga lain di luar sana, saat harga gas melonjak gila-gilaan. Setumpuk kayu bakar sudah membuat hidup mereka berjalan lebih tenang. Kayu bakarnya? Pak Tatang menyampaikan mereka memiliki lahan tersendiri sebagai pasokan kayu bakar tanpa perlu lagi merusak hutan sembarangan.

[caption id="attachment_303542" align="aligncenter" width="500" caption="Daur ulang hasil alam menjadi perangkat yang bermanfaat (dok. pribadi)"]

13887380621999782572
13887380621999782572
[/caption] Lalu, tengoklah ke atas. Apa hebatnya atap ijuk dibandingkan genting yang memberikan kesan lebih mentereng? Tidak semata-mata masyarakat Kampung Naga memilih tetap menggunakan ijuk. Selain nilainya jauh lebih ekonomis (dan bahkan bisa diperoleh dari hutan secara cuma-cuma), ijuk dapat bertahan sampai dengan 40 tahun penggunaan. Selain itu, atap ijuk memberikan rasa dingin dan nyaman pada siang hari, dan rasa hangat pada malam hari. Sebuah keputusan yang tidak diambil begitu saja, bukan? [caption id="attachment_303548" align="aligncenter" width="500" caption="Lesung. Mengolah bulir padi menjadi beras secara manual (dok. pribadi)"]
13887383721042507318
13887383721042507318
[/caption] Kesederhanaan ini ditambah pula dengan tidak adanya aliran listrik ke perkampungan ini. Karena itu pula, jarang sekali ditemukan adanya alat elektronik di tempat ini. Di sebuah rumah saya melihat adanya sebuah televisi hitam putih yang menggunakan tenaga accu. Tetapi menurut pemilik rumah, televisi itu sudah berbulan-bulan tidak dinyalakan. Ketika saya tanya mengapa, si Bapak mengatakan; “Televisi hanya membuat anak-anak saya malas belajar dan mengaji. Lagipula banyak tayangan yang tidak baik.” Ow! Semudah itu seorang kepala keluarga bertindak untuk menyelamatkan putra-putrinya; matikan televisi! Sesuatu yang sangat sulit saya terapkan di rumah. Dari sosok sebuah rumah saja, mereka sudah memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Kesederhanaan yang begitu sarat makna. [caption id="attachment_303545" align="aligncenter" width="500" caption="Lahan padi yang dikelola secara organik (dok. pribadi)"]
1388738279542972465
1388738279542972465
[/caption] Sebagian besar masyarakat Kampung Naga hidup dari bercocok tanam. Dan mereka adalah petani unggul yang tahu bagaimana mengolah lahan mereka menjadi lahan yang menghasilkan. Menarik sekali menyimak kalau mereka menerapkan sistem bercocok tanam sendiri, yaitu sistem JANLI (Januari – Juli). Setiap tahunnya mereka melakukan penanaman padi sebanyak dua kali saja, yaitu pada bulan Januari dan Juli. Kedua bulan tersebut merupakan bulan-bulan yang dipercaya bebas dari serangan hama. Sistem ini efektif dalam menghindari hama tanaman. Karena itulah masyarakat Kampung Naga tidak mengenal bahan kimia untuk membasmi hama. Pun, mereka merasa tidak perlu untuk menabur pupuk kimia untuk tanaman mereka yang sudah subur dengan sendirinya. Selama pengairan tidak bermasalah, dan hama dapat dicegah, untuk apalagi pupuk kimia diperlukan? Jadi, siapa bilang kalau beras organik baru dikenal sekarang-sekarang ini? Masyarakat Kampung Naga sudah menikmatinya sejak dulu! [caption id="attachment_303549" align="aligncenter" width="332" caption="Memaksimalkan keahlian untuk dijadikan komoditi layak jual (dok. pribadi)"]
1388738466671430913
1388738466671430913
[/caption] Karena Kampung Naga sekarang sudah menjadi desa wisata budaya, banyak masyarakat yang mulai menjual kerajinan tangan produksi mereka kepada wisatawan yang berdatangan. Dari sanalah pendapatan lain rumah tangga mulai didapatkan. [caption id="attachment_303811" align="aligncenter" width="500" caption="Kerajinan tangan yang diperjualbelikan pada wisatawan (dok. pribadi)"]
1388819769623372280
1388819769623372280
[/caption] Kesederhanaan yang ditampilkan oleh masyarakan Kampung Naga adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang telah tertanam kuat dalam keseharian. Tidak ada yang memaksa karena semua sudah  berjalan apa adanya. Seperti halnya kearifan lain dalam bentuk keberadaan lumbung padi umum. Di setiap musim panen, masyarakat Kampung Naga akan menyisihkan sebagian hasil panennya untuk mengisi lumbung, tanpa perlu diminta lagi. Pada saat dilaksanakan upacara-upacara adat atau keagamaan, ataupun ada acara perjamuan tamu, isi lumbung inilah yang akan digunakan. Dan itu menjadi sajian dari seluruh warga secara tidak langsung. Warga ikut senang karena jerih payah mereka dapat dinikmati banyak orang. [caption id="attachment_303787" align="aligncenter" width="500" caption="Rumah-rumah saling berdampingan dan berhadapan (dok. pribadi)"]
13888153282111535803
13888153282111535803
[/caption] Gotong royong adalah cerminan dari kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin pada masyarakat Kampung Naga. Cerminan ini bahkan terlihat secara jelas dari posisi rumah yang saling berhadapan satu sama lain (menghadap utara dan selatan), atau saling membelakangi untuk deretan berikutnya. Dengan posisi rumah yang saling berhadapan dan berdekatan seperti itu, memungkinkan silaturahmi dapat terus terjalin karena setiap saat mereka saling bertemu. Terlebih, warga tidak akan kesulitan apabila sedang membutuhkan bantuan atau pertolongan tetangga. Kehidupan masyarakat Kampung Naga mengalir tenang seperti halnya aliran sungai Ciwulan yang mengalir di sisi kampung. Selama ini sungai Ciwulan menjadi sumber pengairan utama bagi lahan masyarakat Kampung Naga dan juga masyarakat sekitar. Menurut penuturan pemandu saya saat itu, sungai ini tidak pernah kering. Dalam situasi kemarau panjang pun, selalu saja ada air yang mengalir di sela bebatuan besar. Itu sebabnya jarang sekali masyarakat Kampung Naga mengalami gagal panen karena ditunjang oleh pengairan yang cukup dan menghindari musim hama. [caption id="attachment_303790" align="aligncenter" width="500" caption="Saya di bebatuan sungai Ciwulan, berlatar Hutan Biuk (dok. Pribadi)"]
13888154301645598555
13888154301645598555
[/caption] Kearifan masyarakat Kampung Naga juga terlihat dari bagaimana mereka memperlakukan alam dan menghargai keberadaannya. Manusia dan alam adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga sudah sepantasnya untuk tidak mengganggu satu sama lain. Di seberang sungai Ciwulan terdapat sebuah hutan yang dikeramatkan semenjak leluhur masyarakat Kampung Naga berada. Hutan itu bernama Hutan Biuk. Tahukah bahwa tidak ada seorang pun yang boleh memasuki hutan ini, apalagi mengambil segala sesuatu yang ada di dalamnya? Tidak saja menebang pohon dan mengambil kayunya, bahkan untuk mengambil ranting yang jatuh saja sangat ditabukan. Untuk kepentingan tertentu yang memaksa harus memasuki hutan tersebut (misalnya mencari daun obat-obatan yang hanya ada di hutan tersebut), harus seizin tetua adat. Dan itu adalah mutlak! [caption id="attachment_303791" align="aligncenter" width="604" caption="saya ditemani pemandu, di tengah kehijauan Kampung Naga"]
13888155851658149137
13888155851658149137
[/caption] Terlepas dari adat istiadat yang sudah digariskan secara turun temurun, Hutan Biuk adalah cermin pelestarian alam masyarakat Kampung Naga. Sebuah hutan perawan yang masih begitu terjaga kelestarian dan habitat di dalamnya. Hutan lebat dengan pepohonan berdaun rapat merupakan lahan serapan air dan menjadi sumber mata air yang melimpah. Tentu tidak heran kalau kemudian masyarakat Kampung Naga tidak pernah kesulitan air, karena mereka benar-benar menjaga sumber mata air mereka. Satu lagi kearifan lokal yang ditunjukkan oleh Kampung Naga yang tidak bisa lagi kita pungkiri. [caption id="attachment_303551" align="aligncenter" width="500" caption="Tenang, damai, bersih, dan asri. (dok. pribadi)"]
1388738580675282682
1388738580675282682
[/caption] Melongok kehidupan masyarakat Kampung Naga, saya jadi membayangkan slogan back to nature yang sekarang ini ramai didengungkan di mana-mana. Saat orang-orang meributkan global warming dan ramai-ramai untuk kembali ke alam, masyarakat Kampung Naga bahkan belum pernah meninggalkannya. Hidup mereka selama ini toh sudah melekat dan menyatu dengan alam. Tempat tinggal, hidup, dan segala aktivitas sehari-hari tak pernah melepaskan diri dari alam. Hidup di tengah alam sudah menciptakan ekosistem lengkap bagi masyarakat Kampung Naga.  Hidup terpisah dari masyarakat lain bukan karena ingin memisahkan diri, tapi karena memang di sanalah mereka berawal dan akan tetap tinggal, di tengah rerimbunan hutan yang jauh dari ingar bingar dan arus polusi yang menyesakkan. Apalagi tidak pernah ada pemisah yang mengharuskan mereka mengasingkan diri. Mereka hidup terbuka, menjalin komunikasi dan tali silaturahmi, dan tetap mengikuti perkembangan zaman terkini. Anak-anak masyarakat Kampung Naga tetap menuntut ilmu seperti anak-anak lainnya. Mereka tetap tumbuh dan berkembang sebagaimana lainnya, menggantungkan cita setinggi-tingginya. Yang membedakan adalah, mereka lebih teliti dalam menyaring teknologi dan budaya mana yang harus diikuti dan mana yang tidak perlu. Semua hanya karena untuk kebaikan bersama. Kalau sudah seperti ini, siapa yang sudah tertinggal sebenarnya? Satu yang pasti, saya belajar banyak tentang kearifan lokal dibalik kesederhanaan masyarakat Kampung Naga. Semoga Indonesia Travel juga banyak mempromosikan kearifan-kearifan lokal seperti ini, sehingga banyak orang yang bisa berwisata sekaligus mempelajari banyak budaya yang bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun