Mohon tunggu...
.
. Mohon Tunggu... Aktor - .

http://www.youtube.com/iwelsastra http://www.instagram.com/iwelsastraofficial Kontak 08176655874

Selanjutnya

Tutup

Politik

Debat Capres, Menguji Kecerdasan Emosional

9 Januari 2024   14:37 Diperbarui: 9 Januari 2024   14:46 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iwel Sastra, Motivator Nasional & Komentator Politik (foto dokpri)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Minggu 7 Januari 2024 menggelar debat ketiga dari rangkaian lima kali debat capres-cawapres yang diagendakan. Debat ketiga yang bertempat di Istora Senayan Jakarta bertemakan pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri. Debat ini sekaligus menjadi debat kedua bagi para capres, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.

Debat berlangsung seru dengan situasi memanas antara capres nomor urut 1, Anies Baswedan dengan capres nomor urut 2, Prabowo Subianto. Sejak segmen satu debat berlangsung panas ketika Anies mulai menyerang Prabowo yang menjabat Menteri Pertahanan dengan sejumlah data. Mendapat serangan dari Anies, Prabowo pun beberapa kali menyentil Anies. Membaca suasana mulai panas capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo mencoba mencairkan suasana dengan mengatakan "Mudah-mudahan saya di tengah untuk mendinginkan dua kawan saya."

Seharusnya debat memang begitu. Tidak masalah saling serang selama masih dalam batasan tertentu dengan menggunakan argumentasi yang didukung oleh data yang akurat. Dalam debat, kandidat bukan hanya diuji kecerdasan intelektual dalam memaparkan dan mempertahankan argumentasinya. Namun juga harus memiliki kecerdasan emosional sehingga tidak mudah terpancing emosi oleh argumentasi lawan. Setiap kandidat mempunyai caranya sendiri dalam menjatuhkan mental lawan debat. Peserta debat tidak boleh baper baik selama debat maupun usai debat. Para pemilih juga ingin melihat cara kandidat dalam menghadapi tekanan. Bagaimana bisa memimpin negara jika memimpin diri sendiri tidak mampu?

Setidaknya ada tiga parameter yang bisa digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional seorang pemimpin.

Pertama, kecerdasan emosional dalam mengambil kebijakan dan membuat keputusan. Ini sangat penting sekali karena tugas penting dari seorang pemimpin adalah membuat kebijakan dan keputusan. Apalagi seorang presiden, kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan berdampak langsung kepada rakyat.

Kedua, kecerdasan emosional dalam menghadapi tekanan dan kritikan. Pemimpin yang tidak mampu menghadapi tekanan dan kritikan cenderung akan menggunakan kekuasaan untuk menekan tekanan dan kritik yang ditujukan kepada dirinya. Seorang presiden yang memiliki kekuasaan yang sangat besar harus mampu menata emosi diri dengan baik sehingga tidak sewenang-wenang dan semena-mena menggunakan kekuasaan untuk meredam tekanan dan kritikan.

Ketiga, kecerdasan emosional dalam mencari dan menentukan solusi. Menjadi pemimpin dihadapkan pada berbagai masalah yang harus ditemukan jalan keluarnya. Berbagai tantangan dan hambatan harus dihadapi dengan tenang sambil jalan menemukan solusi yang terbaik. Bangsa ini sedang menghadapi berbagai masalah yang harus ditemukan solusi yang terbaik yang bisa memberikan manfaat bagi rakyat. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang mampu memberikan solusi.

Penulis Motivator Nasional & Komentator Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun