Mohon tunggu...
I Wayan Bagiarta
I Wayan Bagiarta Mohon Tunggu... Insinyur - IWayB

Mari Gemakan Indonesia JUJUR

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sabit dan Amukan Sapi

3 November 2020   20:40 Diperbarui: 3 November 2020   20:47 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel kali ini adalah lanjutan tulisan sebelumnya yang berjudul Rumah Gedek Eyang & Gerobak.Pada tulisan itu menceritakan kisah hidup saya saat masih di bangku sekolah dasar dan tinggal bersama Eyang.

Setelah lulus  kami harus melanjutkan ke bangku SMP tepatnya tahun 1983.Lokasi sekolah kami sekitar 2.5 kilometer dari rumah dan saat itu saya mulai tinggal bersama orang tua lagi.

Namun demikian hampir setiap hari saya sempatkan untuk main ke rumah Eyang yang begitu menyayangi saya sejak kecil.Kala itu kalau pergi ke sekolah saya berjalan kaki bersama teman-teman lainnya,kalau toh ada yang bawa sepeda itupun hanya satu atau dua orang saja,kami sangat menikmati dan sangat mensyukuri hal itu.

Di tahun pertama sekolah,kami dapat giliran masuk siang karena keterbatasan ruangan kelas saat itu.Pagi-pagi sebelum sekolah saya harus membantu orang tua untuk menyabit rumput di kuburan desa yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah.Kuburannya cukup luas dan kuburan kami  mirip lapangan bola.

Hamparan tanahnya ditanami  rumput oleh dinas pertanian untuk membantu para peternak yang ada didesa kami.Diantara para penyabit, sayalah yang paling kecil dan paling muda karena yang lain semua sudah berumur bahkan sudah embah-embah.Saya bisa menyabit baik rumput yang pendek maupun yang tinggi.

Pernah suatu kali saat menyabit  telunjuk kiri saya terkena sabit dan nyaris putus.Saya merasakan kesakitan waktu itu diikuti kucuran darah yang mengalir tiada hentinya.Kalau ke puskesmas saya harus butuh waktu,namun saya mencoba obati hanya menggunakan daun-daun alami seadanya dan tanpa diduga kucuran darah pun langsung berhenti.

Bekas luka sayatan sabit itu masih membekas sampai saat ini.Hikmah dari luka kena sabit tadi rupanya membawa berkah yang baru saya rasakan saat setelah lulus dari kuliah tepatnya saat wawancara kerja.

Saya menyelesaikan kuliah di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya di tahun 1994.Untuk cerita lengkapnya akan saya tulis di episode kolom artikel berikutnya.

Habis menyabit kadang saya dapat tugas untuk memandikan sapi. Kami hanya memelihara sapi sebanyak dua ekor dan  kandangnya terletak di kebun yang tidak begitu luas. Saya memandikan sapi  memakai air seadanya sambil menggosok tubuhnya agar sapi kami bersih.Namun sesekali saya dan bapak memandikan sapi  ke empang yang lokasinya ada di lembah seberang barat tempat kebun dan kandang sapi berada. 

Perjalanan menuju empang harus melewati jalanan yang sempit dan terjal disepanjang  tebing yang membuat nafas sedikit terengah-engah. Sekali dalam seumur hidup yang saya alami,pernah ditanduk sapi di tebing yang terjal yang kami lalui. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun