Mohon tunggu...
I WayanArtika
I WayanArtika Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Literasi

Pegiat literasi pada Komunitas Desa Belajar Bali, di Desa Batungsel Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan, Bali dan dosen di Universitas Pendidikan Ganesha.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Makna Kompetisi bagi Sekolah

4 Juli 2019   15:59 Diperbarui: 4 Juli 2019   16:07 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru-guru dengan kemampuan rata-rata atau ada di bawahnya, justru tidak mau "dekat" dan bergaul secara akrab dengan guru-guru berjiwa petarung, guru-guru juara itu karena terhantui oleh asumsi-asumsi sosial dan keilmuan bahwa mereka akan terseret dalam beban profesi, beban inovasi. Maka jalan aman bagi guru status quo adalah tidak bergaul dengan guru-guru petarung/juara tersebut.

Bagi guru juara/petarung, sikap ini adalah penolakan dirinya sehingga sangat sulit baginya untuk melakukan imbas pengalaman dan membantu guru-guru status quo dalam membangun motivasi dan memiliki mental petarung. Maka semakin jelaslah persoalannya, mana guru yang hebat dan selebihnya adalah guru di bawah rata-rata, yang mendapat tanggung jawab besar konstitusi dasar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisme besar bahwa mana mungkin guru yang tidak cerdas akan sanggup mencerdaskan anak-anak bangsa.

Terhadap persoalan ini, utamanya yang ada kaitannya dengan tanggung jawab sosial guru petarung atau guru juara, maka jalan yang dipilih oleh guru-guru ini adalah idealisme yang ditempuhnya sendiri yang mana menjadi jalan sunyi dan terasing di sebuah sekolah. 

Mereka melihat kenyataan di kelas-kelas yang antiidealisme dan menjadi bagian hidup sehari-hari, yang pasti sangat menyiksa namun karena legalitas dan kewenangan ditambah lagi dengan sikap sosial yang mengekslusifkan itu, guru-guru petarung atau guru-guru juara membangun prinsip sendiri di atas idealisme dan moralitas profesi. Di dalam masyarakat guru status quo, tiada maslahat guru-guru hebat karena mereka tergusur secara sosial.

Bagaimana menyikap persoalan ini?

Perubahan cara pandang dan sikap insan sekolah harus diubah. Semua guru harus siap menerima kehebatan guru lainnya dan mau belajar dari rekan sejawat untuk meningkatkan pretasi sosial sekolah secara meneyeluruh. Jadi, ukuran dan makna pretasi sebuah satuan pendidikan tidak lagi pajangan piala-piala emas dalam puluhan rak yang membuat ruang tamu atau lobi kian sumpek, piagam atau sertifikat yang menempeli semua dinding ruang kepala sekolah, tetapi prestasi massal, prestasi bersama, walaupun hal ini tidak berwujud piala, medali, dan sertifikat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun