Mohon tunggu...
Iwa Sambada
Iwa Sambada Mohon Tunggu... Musisi - man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu

mahasisa yang penuh dengan dosa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tabula Rasa Bukan Hanya Perihal Rasa

10 Agustus 2024   13:23 Diperbarui: 10 Agustus 2024   16:40 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiadaan adalah hal yang niscaya
Keberadaan adalah suatu anugerah yang istimewa
Tabula rasa nyatanya bukan hanya perihal rasa
Namun pencarian diri yang bermula dari tiada
Meskipun kembali bermuara pada ketiadaan pula

Manusia bukan sekedar gumpalan daging lengkap dengan nadi dan serat urat, bukan pula sekedar jantung yang berdetak dan kepala yang berotak. Namun ia adalah seperangkat rasa yang rindu akan sentuhan mesra, dan kekosongan yang mendera setiap sepersekian detiknya. Mungkin kalian teringat akan petuah maula john locke tentang tabula rasa, namun ternyata yang kosong bukan hanya perihal rasa,  melainkan kita dikaryakan dengan serba tiada alias hampa dalam segala hal dan kosong dalam segala dimensi. termasuk kosongnya dompet tebal yang hanya berisikan kartu diri tanda pengenal, dan sialnya itu tak cukup agar kita bisa saling mengenal, anjayyy.

Disadari atau tidak kita tercipta dengan kekosongan diri pada ruang perasaan, pikiran dan keimanan, maka pengejaran sepanjang hayat anak adam selama masih hidup dan sampai habis masa kontraknya hidup tidak lebih dan tidak kurang akan berkelana mengisi kepingan-kepingan kosong ketiga hal tersebut yang memang sengaja diciptakan kosong, agar kita berkelana kesana kemari tidak berdiam diri tanpa melakukan apa apa. karena dalam pengejaran ketiga hal itu, kita akan menjumpai sesuatu yang jauh lebih besar selevel memahami cintanya Tuhan kepada kita, manusia, tentunya bagi mereka yang mau berpikir. Maka dari itu, wahai kalian yang sedang terpatri dalam belenggu algoritma dengan mantra nina bobo dan mencari kehangantan dalam selimut tebal, bangkitlah dari kutukan kekosongan karena keberadaan diri adalah sebuah perjuangan yang harus diupayakan, tidak ditunggu dan datang menyuapimu diatas kasur dengan mesra pula manja.

Terkadang dalam mengais kepingan tabula rasa, kita perlu menjelajahi setiap sudut tabula regoriana untuk medapatkanya. Menembus dinginya malam lengkap dengan kabut pekatnya, pula merangkak dibawah bara surya berikut dengan sengat teriknya. pergi ke ujung barat untuk memungut puzzle keimanan, keujung timur memungut puzzle pikiran dan keselatan untuk menjemput puzzle perasaan. Langkah yang terus dihantui dengan kegagalan, kebimbangan dan keraguan. Namun bangkit seketika meski hanya dengan setetes harapan yang sebenarnya tak cukup untuk mengusir dahaga. Ya itulah kita, ternyata yang bisa membuat kita terus berjalan bukan makanan bukan pula minuman, namun sebuah harapan. Harapan untuk terus menjadi sejatinya manusia agar mulia dikala paripurna, bukan dimata manusia melainkan di mata Sang Pelukis seluruh alam raya dan juga kekasihNya.


Bisa jadi pengejaranmu bisa mendapatkan hasilnya, namun tak jarang harus gagal tanpa hasil yang diharapkan. Kadang kita juga bisa menemukan ketiga hal sekaligus dalam satu perjalanan, atau dalam satu sosok pengharapan yang mampu memenuhi hampanya iman, pikiran dan perasaan sekaligus. Tentunya hal itu teruntuk mereka yang bejo saja. Sebab dapat dipastikan perjalanan itu adalah perjalanan mewah (nilainya) dan sosok itu adalah sosok yang istimewa, sedangkan kita hanya seorang pengasong dan budak dari baginda perut kosong, Jadi tidak perlu mengaharapkan hal seistimewa itu. YRRA ( yang realistis realistis aja )

Begitu mendapatkan kepingan yang diharapkan, ada dua tipe manusia yang begitu berbeda. Ada yang merasa cukup dengan kepingan itu saja, sebab dia berprinsip yang penting tau, atau yang penting pernah merasakan, atau yang penting sudah ada dan tidak perlu cari-cari lagi. Jika satu cukup kenapa harus lebih. Tipe yang satunya lagi berkata jika aku mampu meraih satu, aku harus bisa meraih yang lain karena satu tidaklah cukup untuk memenuhi kekosongan itu. Lubang (misteri) hidup ini teramat dalam dan tidak bisa penuh jika hanya dengan satu puzzle saja.

Jika dilihat dalam perspektif positif atau bahasa ilmiahnya yaitu husnudzon keduanya mempunyai sisi kebaikan masing-masing. Golongan yang cukup hanya dengan satu kepingan berarti dia mempunyai kekuatan untuk menerima apa yang ada, tidak mencari yang lain dan fokus dengan satu kepingan yang dia dapatkan. Sedangkan golongan yang kedua mempunyai kekuatan untuk terus merasa haus akan hal-hal yang baru, menjelajah seluruh peta kehidupan untuk mendapatkan kepingan-kepingan lain yang tersebar dan tersebunyi dibalik satir kehidupan.

Tidak ada yang salah dengan keduanya, semuanya benar tergantung pada perspektif mana yang dipakai dalam menapaki alur kehidupan. Setidaknya mereka berdua sedang berjalan menuju pemenuhan diri dan berusaha mengurangi celah kosong dalam dimensi hidupnya. Namun sembari memahami mereka, setidaknya kita perlu mengingat kembali bagaimana petuah sang maula jalaludin rumi yang bersabda kebenaran laksana cermin yang jatuh dari tangan Tuhan, dan pecah berkeping-keping menjadi bagian yang teramat kecil. Manusia memungut satu kepingan saja dan berujar inilah kebenaran.

Jika dikembalikan lagi pada kedua golongan manusia diatas, manakah yang benar dan manakah yang salah. Sekali lagi mereka semua benar dan mereka sedang dalam jalan menempuh kebenaran. Yang salah ialah mereka yang tidak memungut pecahan kaca sama sekali sembari berteriak "aku tidak membutuhkan pecahan kaca itu". Alias membutakan diri akan segala kearifan dan kebaikan, merasa paling benar dan menolak nilai etis yang tidak sama dengan selera etisnya.

Wahai anak adam, kekosongan jiwa  jauh lebih luas dari kata kosong itu sendiri, kehampaan hidup jauh lebih sunyi dari kata hampa itu sendiri. Maka dari itu jangan sampai berhenti pada garis finish palsu dan semu bertuliskan "aku sudah tahu semuanya".Teruslah berjalan kemana bintang mengarah, teruslah ngangsu kebenaran kemana isyarat langit terbisik, teruslah berjalan sebagaimana sabda hati bersenandung dalam senyapnya relung batin melalui nada yang kromatis pula romantis. Karena kita adalah hamba yang hampa dan tidak pernah selesai dengan segala misterinya.

Wallahu a'lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun