Mohon tunggu...
Iwa Sambada
Iwa Sambada Mohon Tunggu... Musisi - man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu

mahasisa yang penuh dengan dosa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gombal di Samudera

8 Mei 2020   05:55 Diperbarui: 8 Mei 2020   06:00 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman semakin canggih dengan gemerlap teknologi dan informasi yang menggila. Bebas, luas, tanpa batas. Bebas karena setiap orang mampu melakukanya (note:orang sepuh butuh kekuatan ekstra ehee) siapapun mulai presiden sampai rakyat kecil ataupun dewasa sampai anak kecil. Luas karena informasi yang dijangkau tidak hanya terkait tetangga sekitar atau warga sekampung, tapi sampai orang orang luar dipenjuru dunia. 

Mulai dari informasi politik, ekonomi bisnis, agama, pengetahuan, life style dan banyak lagi yang lainya. Tanpa batas sebab orang orang yang dikenai informasi tidak pandang bulu. Siapapun kena entah emak emak, anak anak, bapak bapak, pegawai, petani dan banyak lainya (note:desa yang tertinggal masih dipertanyakan).

Maka dengan radikalnya sifat teknolgi dan informasi tersebut tak mengherankan menuai dampak yang sangat besar bagi keidupan manusia. Memang ada banyak dampak yang baik bagi peradaban, tapi layaknya sebuah koin yang mempunyai dua sisi sama besar dampak buruk juga menyertai sama kuatnya atau bahkan lebih. 

Bagaimana tidak, dengan sifat informasi seperti diatas tidak mengherankan budaya viral sangat viral akhir akhir ini yang mengakibatkan perubahan gaya hidup yang semakin cepat dan terkonsolidasi secara langsung tanpa sadar. 

Sehingga orang zaman sekarang tak lebih seperti segerombolan domba yang digiring kesana kemari oleh tongkat bernama viral dan mereka melakukanya tanpa adanya kesadaran seakan akan aqil baligh gak mempan diterapkan. Mungkin kata "domba" sedikit menyinggung beberapa pihak, maka penulis ganti dengan kata "gombal" yang mungkin sedikit lebih sopan.

Mengapa gombal? Ya karena gombal identik dengan benda yang tak berdaya dan tak berdaya guna sehingga tidak ada arah tujuan yang jelas mau kemana. 

Orang yang senantiasa mengikuti viral sebagai cara hidup diibarakan sebagai "gombal-gombal ditengah samudera hindia". Ia tak berdaya, terombang ambing, tartarik, tercabik, kesana kemari tanpa arah dan tujuan yang pasti. 

Ia tak mampu menguasai diri dan hidupnya hanya diabdikan untuk tiga hal, syahwat dunia, syawat manusia lainya, dan syahwat dirinya. Syahwat dunia maknanya segala kenikmatan dunia, hedonisme, egoisme dan konsumerisme. 

Syahwat lainya berarti keinginan orang lain yang berwujud gaya hidup dan keviralan. Syahwat diri termasuk keinginan diri untuk menanggapi kenikmatan itu semua.

Maka dalam situasi global yang semakin rumit dan serba artifisial ini hal yang perlu dilakukan ialah tidak kehilangan arah hidup, tujuan hidup dan pedoman hidup. 

Dengan ketiga hal inilah manusia akan mampu melawan ketiga jenis syahwat dan menjadikan manusia yang mampu mengendalikan kecanggihan dunia, bukan malah diperbudak oleh karyanya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun