Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. Sebuah pepatah tua yang bisa digunakan untuk merefleksi berbagai realita kehidupan yang sedang terjadi di sekitar kita saat ini. “Menyalahkan” Sebagai Sebuah Budaya Mudah bagi seseorang melihat atau menyalahkan orang lain, namun begitu sulit menyadari salah dan kekeliruan yang terjadi pada diri sendiri. Kecendrungan seperti ini terasa biasa dan lazim, tetapi tentu dampaknya bisa sama-sama kita lihat sekarang, di sini, di Indonesia tercinta. Saat ini ratusan juta orang menghujat pemimpin mereka karena berbagai kesalahan, tetapi enggan mengakui bahwa kesalahan yang sama adalah realitas yang ada dekat dan hidup dalam diri. 11-12 kata orang, mirip-mirip lah. Ini lumrah tetapi ini bisa menjadi budaya yang melahirkan kebencian serta perpecahan di dalam bangsa yang perlahan dapat menutup jendela serta pintu solusi yang sebenarnya ada di depan sana. Kesalahan menjadi topik utama dan sasaran tembak kebencian serta protes berlebihan, sehingga lupa bagaimana menggali jalan keluar yang berguna. “Menyalahkan” Sebagai Sebuah Bencana Saat ini setiap pasang mata bisa melihat, setiap telinga bisa mendengar dan setiap hati bisa merasakan derita dan kekacauan negeri ini. Rakyat banyak menderita, itu tak perlu diragukan lagi. Setiap mata dapat melihatnya ketika turun ke jalan atau bahkan penderitaan itu sedang dipikul di pundak sendiri ketika sedang menjalani hidup keseharian. Singkatnya siapapun merasakan walau kadarnya tentu berbeda karena kita berbeda tapi kita satu karena penderitaan itu ada di negeri kita, bukan di tempat lain atau negara lain. Realita ini sungguh memilukan. Bencana politik, bencana alam, bencana kemanusiaan menjadi satu. Jika ini terus berlangsung kita pasti mati walau kita masih bernafas. Namun bencana ini salah satu pemicunya berawal dari sikap dan cara hidup yang cenderung menyalahkan setiap orang tanpa bekerja mencari solusi. Setiap hari ayat-ayat dan litani kesalahan orang lain (pemimpin) terus didaraskan tanpa henti, dan kejadian ini dengan mudah dinikmati dalam surat kabar ataupun siaran televisi kemudian menjadi tontonan yang menguras emosional dan tumbuh subur di alam bawah sadar bangsa ini. Lalu tinggal menunggu kapan meletus. Mulai Dari Dalam Diri dan Mengambil Tanggung Jawab Apa yang dialami saat ini bukan sebuah lelucon, seperti kasus Gayus yamg lama-kelamaan menjadi cerita humor dan lelucon, ini masalah serius bagi Indonesia pun bagi tiap individu. Berhenti menyalahkan pemimpin dan setiap orang, begitulah jalan keluar untuk mengatasi keresahan saat ini. Suara rakyat yang menolak kebohongan lebih tepat harus dimulai dari dalam. Tidaklah mungkin bermimpi atau berharap para pemimpin berkata dan bertindak jujur, jika kebohongan pun bagian dari diri. Lebih baik membersihkan halaman rumah sendiri kemudian membantu sesama membersihkan halaman rumah mereka. Itulah yang harus dikerjakan sebagai tanggung jawab. Tidak Ada Gunanya Menyalahkan SBY Jika pemimpin tidak bisa melakukan tugas dan kewajiban semestinya, maka pimpinlah diri sendiri agar menjadi lebih bijaksana dari mereka para pemimpin. Jika tidak maka apa bedanya ?. Saat ini SBY mungkin menjadi manusia di Indonesia yang paling disalahkan atas semua kekacauan yang terjadi. Lalu apa dengan demikian masalah selesai ? Tidak. Masalah akan terus bergulir karena kemampuan To Blame Others lebih kuat dari pada bagaimana mencari solusi. Lebih baik menyalahkan diri sendiri karena terus-terusan menyalahkan SBY, sebab itu bukan solusi utama dan lekas mengambil tanggung jawab yang bisa dikerjakan dengan jujur. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, kerja tanggung jawab ini perlahan pasti akan membawa hasil, mulai dari rumah, desa, kota dan kawasan yang lebih luas, bangsa Indonesia. Salam (Terimakasih Mas Ragil)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H