Mohon tunggu...
Iwan Tn
Iwan Tn Mohon Tunggu... -

Berhasil tidak dipuji, hilang tidak dicari

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Konflik Resolusi dalam Politik Kontemporer

17 Februari 2015   02:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Budi Gunawan Harus Dimenangkan Dari Perspektif Konflik-Resolusi?

Lepas pro dan kontra terkait hasil putusan pengadilan Jakarta Selatan yang memenangkan permohonan pra-pradilan Calon Kapolri Budi Gunawan (BG) sekaligus melemahkan statusisasi tersangka oleh KPK, kita harus percaya bahwa Hakim Sarpin telah adil dalam putusannya.

Sesuai dengan yang pernah kita bahas, bahwa pada akhirnya Budi Gunawan (BG) memang harus dimenangkan. Ini karena persoalan korupsi memang berbeda dengan kasus hukum lainnya dan ia tidak dapat ditembakkan begitu saja tanpa perhitungan-perhitungan politik. Hal ini terjadi karena persoalan korupsi selalu akan menyinggung persoalan penggunaan: (1)wewenang dan (2) mekanisme dalam kerangka distribusi-distribusi kekuasaan. Dimana jika kita sudah berbicara kekuasaan maka solusi-solusi politik selalu akan mewarnai keputusan-keputusannya.

Pada kasus pengajuan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri yang langsung ditindaki KPK dengan statusisasi tersangka, sebenarnya kita langsung menyedari bahwa telah terjadi rivalitas di dalam perangkat pemerintahan Jokowi-JK. Revalitas ini mencuat ke hadapan publik dan menjadi polemik di media sosial/media massa karena beberapa alasan alamiah yaitu:
Pertama, pemerintahan yang terbentuk tidak cukup kuat membangun koalisi dan terancam oleh kemungkinan pemerintahan terbelah (divided government).
Kedua, integritas kepemimpinan belum menjadi sosok pemersatu karena beberapa pertimbangan seperti: presiden tidak dianggap kompeten, presiden dikendalikan kepentingan, dan presiden tidak didukung oleh kekuatan koalisi politik yang kuat, dan lain-lain.
Ketiga, pengaruh politik media massa dan media sosial mengalahkan inisiatif politik pemerintah karena terkait dengan persoalan popularitas dan penerimaan publik.

Melemahnya postur kekuasaan pemerintahan ini yang akhirnya membuat aparatur kekuasan di bawah presiden terposisikan dalam situasi -a latent asymmetric conflict-, bahaya laten dimana pihak-pihak sekubu dimungkinkan saling melemahkan. Lemahnya posisi pemerintah sebagai stabilisator ini yang lalu membuat kekuasaan inti (nucleus) meledak menjadi nexus-nexus, grup-grup kekuasaan yang tersebar.

Kekuasaan yang belah ini membutuhkan penyimbang atau stabilisator yang aktif, jika tidak ia akan menguat dalam bentuk fusi kekuasaan dimana kekuasaan saling memanaskan. Atau fisi kekuasaan, dimana masing-masing kekuataan terlibat perang dingin saling menyandera yang menciptakan unbalanced power, ketidakseimbangan kekuatan. Di sini kita harus akui bahwa SBY adalah sosok stabilisator yang lumayan hebat. Di awal pemerintahannya ia sukses menggalang dukungan dari kawan maupun lawan dengan cepat. Hal ini terbukti telah membuat pemerintahannya dapat berlangsung dua periode dan lepas landas dengan cara yang halus ketimbang pendahulu-pendahulunya.

Kegagalan menemukan stabilisator di era Jokowi-JK inilah yang membuat konflik di lingkaran utama kekuasaan akhirnya terjadi. Seperti konflik KPK versus Polri sekarang, Seskab, Staf Pres versus Partai promotor (PDIP). Bahkan jauh sebelumnya adalah tarik-menarik koalisi KIH vs KMP mulai dari pemilu hingga konflik perebutan kelengkapan parlemen. Banyak orang yang percaya bahwa pemerintahan Jokowi-JK akan mengarah kepada protracted political conflict (PPC/konflik politik berkepanjangan) yang sulit diselesaikan.

Setelah politik tersandera dengan sulitnya komponen utama menemukan titik konvergennya. Sementara Jokowi dianggap gagal sebagai stabilisatornya maka tiba-tiba keberadaan Budi Gunawan mengubah semuanya. Budi Gunawan menjadi agen pertama yang dapat memecah kebekuan politik Indonesia

KIH dan KMP yang menjadi aktor-aktor inti dari Protracted Political Conflict (PPC) ternyata dapat bertemu di sosok Budi Gunawan. Mitos tadi pecah setelah semua anggota dewan dengan suka cita beraklamasi mendukung sosok Budi Gunawan sebagai Kapolri baru tanpa reserve. Tiba-tiba potensi konflik politik berkepanjangan (PPC) tadi berubah dari clash of power menjadi exchange of power. Dari perseteruan ketidakseimbangan kekuatan menjadi pertukaran/barter kekuasaan yang memungkinkan tercapainya kompromi-kompromi selanjutnya ke arah keseimbangan kekuatan (balance of power).

Sayangnya, potensi ke arah keseimbangan ini terganggu dengan statusisasi Budi Gunawan menjadi tersangka oleh KPK. Yang lalu berlanjut dengan drama-drama politik-hukum-hiburan-sensasi di media massa, dan media sosial kita.

Jika kita menggunakan pendekatan resolusi konflik asimetris maka sosok BG menjadi Kapolri menjadi penting. Ini karena sekali lagi, ia bisa menjadi "resolusi awal" bagi kompromi-kompromi lainnya antar kekuatan-kekuatan inti yaitu koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun