Mohon tunggu...
Iwan Syahril
Iwan Syahril Mohon Tunggu... Dosen, Peneliti -

Iwan Syahril adalah co-founder dan peneliti pada Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan dan dosen Fakultas Pendidikan, Sampoerna University. Ia memiliki 2 gelar Doktor (Educational Policy, & Curriculum, Instruction, and Teacher Education) dari Michigan State University; dan 2 gelar Master (Curriculum and Teaching, & Secondary Education) dari Columbia University. Ia memiliki pengalaman bekerja selama lebih dari 21 tahun di bidang pendidikan di Amerika Serikat, Indonesia, dan Kanada, termasuk mengajar di program pascasarjana keguruan di Michigan State University.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menuju Sistem Pendidikan yang Berhamba pada Sang Anak

2 Mei 2018   22:20 Diperbarui: 2 Mei 2018   23:00 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bebas dari segala ikatan, dengan suci hati mendekati sang anak,  bukan untuk meminta sesuatu hak, melainkan untuk berhamba pada sang anak.” (Ki Hajar Dewantara, 1922)*

Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Pendidikan harus menuju pada kebudayaan yang kita cita-citakan. Saat ini teknologi digital telah merevolusi kebudayaan dengan sangat cepat dan akan terus semakin cepat. Pendidikan pun harus berrevolusi. Pendidikan harus berperan aktif bertransformasi untuk menjawab tantangan-tantangan kebudayaan "jaman now."

Saat ini teknologi digital telah merevolusi kebudayaan dunia termasuk kebudayaan Indonesia. Menurut laporan Tetra Pak Index tahun 2017, pengguna internet di Indonesia berjumlah 132 juta orang, sekitar setengah dari seluruh penduduk Indonesia. Mulai dari transaksi bank, transportasi, makanan, tiket perjalanan, belanja kebutuhan sehari-hari, belajar, dan lain sebagainya, kita kini bisa klik saja di telepon genggam. 

Teknologi ini juga telah mendemokratisasikan kesempatan mobilitas sosial, seperti menjamurnya enterprenur baru mulai dari bisnis kue, batik, kerajinan, dll. Teknologi  digital telah, dan akan semakin, memudahkan kehidupan manusia. Inilah revolusi industri keempat, kodrat zaman kita pada saat ini. Lalu bagaimana dengan kodrat keadaan kita terutama di sektor pendidikan?

Indonesia sebenarnya sudah meraih banyak sekali kemajuan di bidang pendidikan dibanding saat awal kemerdekaan. Akses pendidikan di berbagai level semakin banyak dan merata. Statistik pendidikan Indonesia tahun 2017 mencatat angka partisipasi murni SD sebesar 94.8%, SMP/MTs sebesar 82%, SMA/MA/SMK sebesar 67.5% dan angka partisipasi kasar perguruan tinggi sebesar 36.7%. Ini merupakan prestasi tersendiri mengingat kondisi awal kemerdekaan dimana sangat sedikit sekali orang Indonesia yang bersekolah. Selain itu kondisi geografis negara kepulauan seperti Indonesia juga memberi tantangan luar biasa rumit dalam manajemen pembangunan pendidikan.

Sayangnya, kesempatan bersekolah belum berdampak banyak pada peningkatan kualitas. Misalnya dalam kemampuan paling dasar seperti literasi, walaupun hampir semua orang Indonesia bisa membaca, namun sebagian besar tidak bisa memaknai informasi bacaannya dengan baik. Padahal literasi adalah kemampuan dasar paling penting di era teknologi informasi saat ini. Untuk konteks literasi siswa, data PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2015 mengindikasikan bahwa 86% siswa Indonesia usia 15 tahun memiliki kemampuan dasar, seperti literasi, pada tingkat paling rendah. 

Untuk konteks literasi orang dewasa, data dari PIAAC (Programme for the International Assessment for Adult Competencies) tahun 2015 juga mengindikasikan rendahnya kemampuan literasi penduduk Indonesia. Data tersebut memperlihatkan bahwa penduduk Indonesia di Jakarta tamatan S1 memiliki kemampuan literasi lebih rendah dari penduduk negara maju, seperti Denmark, yang hanya tamatan pendidikan menengah. 

Menurut Profesor Lant Prichett dari Harvard University, Indonesia butuh 128 tahun, atau sekitar 6 generasi, untuk mengejar ketertinggalannya saat ini saja. Pada saat bersamaan, dunia terus berjalan dan negara lain terus meningkatkan kemampuannya. Dibutuhkan kerja ekstra keras dan super cerdas dari semua orang di Indonesia ekosistem pendidikan untuk bisa mengejar ketertinggalannya ini. Satu kunci penting, menurut saya, adalah pendidikan Indonesia harus merujuk kepada mata air pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Sistem Pendidikan Yang Berhamba Pada Sang Anak

Filosofi pendidikan Ki Hajar adalah student-centered. Istilah yang beliau pergunakan adalah "berhamba pada sang anak," seperti dalam kutipan asas Taman Siswa di awal tulisan ini. Metode Among, tercermin di semboyan Tut Wuri Handayani, adalah metode yang berhamba pada sang anak. Bapak Pendidikan kita sejak tahun 1922 sudah mengenalkan dan mengajarkan kita pada filosofi pendidikan yang berpusat pada siswa. Hal seharusnya tidak asing bagi semua pemangku kepentingan pendidikan Indonesia.

Filosofi pendidikan ini mensyaratkan pendidik untuk memberi tuntunan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak secara budi (cipta, rasa, karsa) dan pekerti (tenaga), sesuai dengan kodratnya sang anak. Ki Hajar sendiri menggambarkan tuntunan pendidikan yang "ekologis," ibarat petani yang menanam berbagai macam bibit tanaman dan memelihara tanaman tersebut sesuai dengan kodratnya. Tuntunan ini bersifat holistik, tak boleh lepas dari pendidikan sosial dan kultural. 

Ia menghantarkan anak tidak hanya pada ketajaman pikiran, kehalusan rasa, dan kekuatan kemauan, namun juga pada kebulatan jiwa dan kebijaksanaan. Ki Hajar mengkritik keras sistem pendidikan yang hanya menekankan pendidikan pikiran saja dan menomorduakan pendidikan sosial. Ki Hajar juga mengkritik keras sistem pendidikan yang mengkultuskan ujian. Dalam sistem tersebut pelajar tidak akan belajar untuk perkembangan hidup kejiwaannya, tapi untuk nilai tinggi, rapor, dan ijazah. Sistem seperti ini, menurut Ki Hajar, harus diberantas.

Sepertinya praktik pendidikan Indonesia saat ini jauh dari filosofi sang Bapak Pendidikannya sendiri: terlalu menekankan kognitif (ujian), tidak memberi tuntunan sesuai kodrat dan tahap perkembangan anak, tidak holistik, menomorduakan pendidikan sosial dan kultural. Jika ekosistem pendidikan Indonesia berniat menghadirkan filosofi Ki Hajar secara substansi, bukan sekedar seremonial, kita perlu kerja komprehensif. Semua kebijakan mulai dari sektor input, proses, dan output, harus bertanya, sejauh mana ia mendukung filosofi berhamba pada sang anak.

Menurut laporan The Future of Jobs dari World Economic Forum, dunia kerja di masa mendatang akan sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang memiliki kecerdasan emosi yang baik. Mesin memang dapat bekerja sangat cepat dan efisien, namun ia tidak dapat bisa kreatif seperti manusia dan tidak memiliki kecerdasan emosi. 

Pendidikan Indonesia harus mempersiapkan benih-benih kebudayaan yang tengah berevolusi ini. Pendidikan harus holistik dan memberi tuntunan sesuai kodrat anak dan zamannya. Karena itu, dalam menjawab tantangan transformasi kebudayaan di era revolusi digital ini, sistem pendidikan Indonesia harus kembali kepada filosofi Bapak Pendidikan Indonesia: sistem pendidikan yang berhamba pada sang anak. 

Selamat ulang tahun, Ki Hajar Dewantara!

*Asas Taman Siswa ke-7, diparafrasakan Profesor Sardjito, Rektor Universitas Gajah Mada di penganugrahan Doktor Honoris Causa kepada Ki Hajar Dewantara di bidang Ilmu Kebudayaan, Desember 1956.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun