Mohon tunggu...
Iwan Sukamto
Iwan Sukamto Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer Enthusiast, Photo, Politics, Poems, Story, and Life.

You and everyone you know are going to be dead soon. And in the short amount of time between here and there, you have a limited amount of fucks to give. Very few, in fact. And if you go around giving a fuck about everything and everyone without conscious thought or choice—well, then you’re going to get fucked. Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Kaesang dan Mempertanyakan Idealisme PSI

26 September 2023   08:00 Diperbarui: 27 September 2023   17:17 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: detik.com

Menggugat Kaesang

Pengangkatan Kaesang sebagai Bro Ketum Partai Solidaritas Indonesia, menimbulkan polemik dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Seorang anak muda berusia 28 tahun yang baru 2 hari terjun ke dunia politik, baru mendapat Kartu Tanda Anggota 2 hari yang lalu, secara tiba tiba langsung menjadi Ketua umum sebuah Partai Politik. 

Pertanyaannya adalah kenapa dan bagaimana akhirnya Kaesang terpilih dan diangkat menjadi ketua umum? Apakah ada track record nya yang membuatnya terpilih? Apakah soal kapasitas dan kredibilitas politik? Apakah modal dan logistik yang dimiliki? Atau karena anak Presiden yang membuat semua mata memandang ke arahnya? 

Pembuktian terbalik nya, jika Kaesang bukan anak Presiden, apakah Kaesang akan terpilih dan diangkat menjadi ketua umum? Apakah semua modal politik dan popularitas itu lebih penting dibanding kredibilitas dan kapasitas yang belum teruji? 

Hanya waktu yang bisa menjawab. Apakah Kaesang mampu menghantarkan PSI lolos melewati ambang batas parlemen 4% itu? Ataukah makin terpuruk dibanding tahun 2019? 

sumber gambar: detik.com
sumber gambar: detik.com

Mempertanyakan "ROH" Partai Solidaritas Indonesia

17 April 2019, sehari setelah pemungutan suara pemilu legislatif 2019. Saya langsung bergegas menuju kantor DPP PSI di Jl. K.H. Wahid Hasyim. Tidak lain adalah untuk mendaftarkan diri menjadi anggota partai yang pada waktu itu begitu saya kagumi dengan idealisme anak muda yang sangat luar biasa. Mendobrak dan keluar dari pakemnya. 

Rasa solidaritas itu datang karena PSI dinyatakan gagal menembus ambang batas 4% yang memang menjadi momok bagi banyak partai baru pada waktu itu. Saya ingin membantu dan menjadi bagian besar dari partai ini pada 2024, begitu kenang saya pada waktu itu. 

Tetapi kedatangan saya urung terjadi karena pada waktu itu kantor DPP PSI sedang tutup dan saya hanya melihat ke dalam sebentar, dan kantor DPP PSI yang tidak begitu luas tapi penuh dengan aroma perjuangan.

Seiring dengan berjalannya waktu, kekaguman itu berubah menjadi sebuah pertanyaan besar. Kenapa banyak kader kader anak muda yang begitu idealis pada waktu itu keluar daa mengundurkan diri? Mulai dari Tsamarah Amani, Rian Ernest, Michael Victor Sianipar dll. Mereka adalah jagoan PSI yang memperkenalkan bagaimana roh anak muda ini terbentuk, bagaimana keberanian untuk memulai sesuatu yang besar itu dimulai dari hal yang kecil dan sederhana. Bagaimana mereka meniti karir politiknya mulai dari magang dan menjalani tugas tugas pemerintahan membantu Pak Ahok di balai kota. Sesuatu yang luar biasa melihat jika keinginan untuk berpolitik itu tumbuh dengan kesadaran langsung, melihat, merasakan dan mengalami sendiri pengalaman tersebut. 

Idealisme yang seakan memudar dengan track record PSI menuju 2024 yang semakin "aneh" dan kehilangan semangat egalitarianisme nya. Egalitarianisme adalah doktrin politik yang berkeyakinan bahwa semua orang harus diperlakukan sama dan mempunyai hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan kewarganegaraan yang sama. 

Mulai dari mengangkat beberapa orang populer menjadi caleg ataupun langsung menjadi ketua umum, tanpa proses rekrutmen yang jelas. Teringat beberapa tahun lalu, PSI menjaring calon legislatifnya dengan terbuka, transparan dan bahkan menyeleksi dengan presentasi terbuka kepada publik.

Apalagi adalah istilah Jokowisme atau Jokowi Is Me yang belakangan dianut oleh PSI. seolah PSI kehilangan semangat dan idealisme nya sendiri, sebagai partai anak muda yang digaungkan, semestinya PSI punya standar moral dan politiknya sendiri, bukan mencatut popularitas Presiden dengan dalih keberlanjutan kedepan yang ingin dijaga.

Dan puncaknya, kenapa PSI mengangkat Kaesang? 

Partai idealis nasionalis menjadi partai oportunis populis yang mengandalkan keterkenalan Pak Jokowi dan anak nya untuk menggapai mimpi mimpi politik yang fana itu. 

Apakah PSI telah berubah? 

Apakah partai "beridealisme anak muda" itu mampu mempertahankan jiwanya atau mengikuti arus seperti partai lama lainnya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun