Di era digitalisasi global saat ini, pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan zaman. Salah satu aspek yang krusial dalam pendidikan adalah kemampuan literasi numerasi, yang tidak hanya melibatkan pemahaman terhadap angka, tetapi juga kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam konteks sehari-hari. Di sinilah peran guru menjadi sangat vital.
Dahsyatnya dampak yang dihasilkan akibat pembelajaran hanya berfokus pada capaian konseptual kognitif tanpa dihubungkan dalam konteks kehidupan murid baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, maka yang terjadi adalah hilangnya nilai-nilai etika, rasa, dan cara menyelesaikan masalah.
Munculnya istilah “Fomo” (Fear of Missing Out) saat ini adalah kenyataan yang terjadi karena rendahnya tingkat literasi dan numerasi sebagian masyarakat. “Fomo” adalah adalah perasaan cemas atau gelisah yang timbul karena merasa tertinggal atau kehilangan momen penting yang dialami orang lain. Akibatnya seseorang menjadi terdorong untuk “ikut-ikutan” yang menjadi trending saat ini, tanpa mempertimbangkan aspek kemampuan dan daya pikir dalam mengambil keputusan.
Fenomena lain yang berhubungan dengan rendahnya literasi dan numerasi adalah mudahnya sebagian kecil atau besar masyarakat terprovokasi dengan berbagai informasi yang tidak terkonfirmasi kebenarannya, sehingga membentuk opini yang mungkin saja jauh dari fakta yang ada. Hal ini akan bertambah parah apabila sudah masuk pada sistem kepercayaan alam bawah sadar seolah hal tersebut adalah benar atau sebaliknya.
Berapa banyak benturan sosial terjadi dari mulai tawuran secara fisik maupun secara verbal baik di media sosial maupun konflik fisik secara langsung. Belum lagi tingkat misbehave yang sangat tinggi dipertontonkan melalui layar elektronik disaksikan oleh anak-anak dan dewasa. Entah itu menjadi pengingat untuk menjadi pribadi baik ataukah sebaliknya menjadi contoh buruk untuk diikuti dalam menyelesaikan masalah.
Dari fenomena di atas, maka jika ditelaah menurut pandangan penulis, maka akar permasalahannya adalah selain pengaruh pola pendidikan dalam keluarga serta lingkungan tempat tumbuh kembang anak-anak, juga bagaimana pola pendekatan pembelajaran di sekolah. Pada kontek pendidikan, maka pertanyaannya sudahkan guru memiliki kompetensi literasi numerasi yang cakap? Sudahkah guru mampu membelajarkan peserta didik? Sudahkah guru menarik materi yang dipelajari murid pada konteks kehidupan sehari-hari mereka? Jika belum, maka yes hari ini boleh jadi kita adalah bagian dari faktor penyebab fenomena di atas walaupun hal ini masih bersifat asumsi karena memerlukan riset lebih lanjut tentang relevansinya.
Pembelajaran bermakna adalah pendekatan yang berfokus pada pengembangan pemahaman mendalam dan penerapan pengetahuan di dunia nyata. Dalam konteks literasi numerasi, guru dituntut untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendorong siswa untuk tidak hanya memahami konsep matematis, tetapi juga untuk mengaitkannya dengan situasi yang relevan. Misalnya, melalui proyek berbasis masalah, siswa dapat belajar tentang penganggaran atau perencanaan keuangan sederhana yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Untuk mencapai pembelajaran yang bermakna, sejatinya guru harus lebih dahulu memahami dan memiliki kompetensi literasi numerasi karena merupakan aktor penentu transformasi pendidikan. Guru harus memiliki pengetahuan yang kuat tentang konsep numerasi serta kemampuan untuk mengajar dengan cara yang menarik dan interaktif. Ini termasuk penggunaan teknologi, pengintegrasian permainan edukatif, dan penerapan metode pembelajaran yang kreatif. Dengan begitu, siswa dapat melihat relevansi matematika dalam kehidupan mereka dan termotivasi untuk belajar lebih lanjut.
Di samping itu, guru juga harus mampu mengidentifikasi berbagai gaya belajar siswa dan menyesuaikan pendekatan mereka agar setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang. Melalui kolaborasi antar guru dan pelatihan berkelanjutan, kompetensi literasi numerasi dapat terus ditingkatkan, sehingga berdampak positif pada kualitas pendidikan yang diberikan. Pemahaman bermakna seperti apa yang berdampak pada kehidupan sehari-hari murid. Keterampilan membuat pertanyaan pemantik, membuat soal penilaian berbasis literasi numerasi pada tingkat HOTS (High Order Thinking Skill), serta pembelajaran berdiferensiasi adalah upaya optimal yang bisa dilakukan saat ini untuk membentuk peserta didik yang literatif dengan karakter profil pelajar Pancasila, serta mampu memaknai setiap materi yang diajarkan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata peserta didik.
Dalam rangka menciptakan generasi yang tidak hanya melek angka, tetapi juga cakap dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan, penting bagi guru untuk terus mengasah kompetensi mereka. Pembelajaran bermakna yang didukung oleh kompetensi literasi numerasi akan membekali siswa dengan keterampilan yang diperlukan untuk sukses, baik di dalam maupun di luar kelas. Dengan demikian, kita tidak hanya mencetak siswa yang pandai berhitung, tetapi juga individu yang siap menghadapi masa depan dengan percaya diri.
Alhasil dari skenario pembelajaran berbasis literasi numerasi tersebut diharapkan mampu membentuk daya nalar dan kritis peserta didik bahkan guru juga, sehingga output dan outcome pendidikan mampu menjadi pondasi kuat terhindar dari “Fomo” serta menjadi pribadi yang cerdas pikir, cerdas rasa, dan cerdas spiritual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H