Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Aktif sebagai Kepala SD Islam Al-Ghozali Purwakarta dan mahasiswa Pasca Sarjana S2 Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung, serta aktif sebagai praktisi Pengajar Praktek program guru penggerak Kemdikbudristek angkatan 5 Kab. Purwakarta Jawa Barat

Konten favorit saya adalah pendidikan, sosial, psikologi, dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Guru Penggerak untuk Kualitas Pendidikan? Mungkin (kah)?

2 Oktober 2023   09:47 Diperbarui: 2 Oktober 2023   09:48 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip Kebijakan

              Seperti yang kita ketahui bahwa dalam upaya mengatasi learning loss selama masa pandemi covid-19 pemerintah telah mengambil kebijakan penerapan kurikulum baru (Kurikulum Merdeka) melalui Kemendikbudristek Nomor 56 Tahun 2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran. Maka untuk mempercepat pemahaman dan penerapan kurikulum prototipe tersebut setiap satuan pendidikan mulai tahun 2022 sudah mulai menerapkannya secara bertahap, walaupun satuan pendidikan masih diberi pilihan kurikulum yang akan digunakan, yaitu Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013 yang disederhanakan), dan Kurikulum Prototipe.

              Upaya Kemendikbudristek dalam percepatan implementasi Kurikulum Merdeka ini ditempuh melalui beberapa program strategis diantaranya melalui seleksi Program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak. Di luar program itu setiap satuan pendidikan juga dapat mencoba menerapkan secara mandiri melalui link survey pendaftaran dan dapat memilih tiga cara penerapan, yaitu belajar mandiri, belajar berubah, dan belajar berbagi. Sehingga diharapkan melalui program ini pemahaman dan penerapan menganai Kurikulum Merdeka atau Paradigma Baru secara nasional di tahun 2024 akan berjalan sesuai rencana untuk mencapai Profile Pelajar Pancasila.

              Prinsip kebijakan Kurikulum Merdeka ini relevan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara untuk mewujudkan tujuan pendidikan  yang sesungguhnya yaitu menuntun peserta didik sesuai qadratnya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Problem Budaya Positif Sekolah

Kemendikbudristek menyebut, berdasarkan riset yang dilakukan pandemi Covid-19 telah menimbulkan kehilangan pembelajaran literasi dan numerasi yang signifikan. Bahkan tidak hanya itu penulis menilai bahwa peserta didik juga telah kehilangan pembelajaran yang bersifat skill dan sosial emosional akibat terbatasnya ruang bereksplorasi dan interaksi sosial sebagai dampak dari terlalu lamanya siswa berada dalam “sel tahanan” rumah selama pandemi ditambah tidak maksimalnya layanan pembelajaran online (daring) karena keterbatasan banyak hal.

Terlepas dari itu semua, bahwa Kurikulum Prototipe atau Merdeka telah memberikan harapan besar akan terciptanya paradigma baru dunia Pendidikan di Indonesia sebagai jawaban atas persoalan pembangunan karakter yang dirasa masih belum sesuai harapan. Hal ini bukan tanpa alasan jika selama ini ada banyak pendekatan dan metode yang kurang relevan dalam proses pembelajaran, sehingga tidak tercipta karakter budaya positif di sekolah. Katakanlah guru masih menggunakan cara-cara lama dalam kegiatan belajar dan mengajar seperti pemberian hukuman dan penghargaan, pemberian tugas-tugas sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, serta problem solving (pemecahan masalah) yang tidak konstruktif (memperbaiki kesalahan).

Aturan atau tata tertib sekolah yang selama ini dibuat oleh sekolah tidak begitu berhasil menghadirkan keyakinan dan kesadaran dari dalam diri siswa serta bertanggung jawab akan setiap prilakunya, termasuk juga para guru. Mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya tentu saja semua itu karena prilaku yang dihasilkan muncul bukan kesadaran dari dalam diri (intrinsik), tapi karena adanya keterpaksaan dan tekanan dari luar dirinya (ekstrinsik).

Situasi yang penuh dengan tekanan dan paksaan tentu saja akan menyebabkan siswa menjadi tidak nyaman berada di sekolah dan taat pada perintah semata-mata takut akan hukuman atau mau karena penghargaan atau bahkan dipaksa untuk selalu mampu menguasai bidang yang tidak sesuai minat dan kebutuhan qadratinya. Hal inilah yang kemudian sulit terciptanya disiplin atau budaya positif sekolah selama ini.

Peran Guru Penggerak

              Satu hal yang sangat menarik dari salah satu program penerapan Kurikulum Merdeka adalah adanya program Guru Penggerak. Mereka yang terpilih adalah guru yang memiliki kompetensi utama, yakni memimpin pembelajaran, mengembangkan diri dan orang lain, memimpin manajemen sekolah, dan memimpin pengembangan sekolah.

              Guru Penggerak tidak hanya berpikir tentang status pengembangan karir dirinya baik secara keilmuan maupun administratif kepegawaian tapi juga bertanggung jawab dalam mengembangkan orang lain, membantu menata manajemen dan pengembangan sekolah yang berpihak pada siswa.

Peran Guru Penggerak dalam upaya membangun budaya positif sekolah dapat dimulai misalnya dengan mengganti tata tertib sekolah yang tidak berpihak pada siswa dan terkesan penuh paksaan dan tekanan dengan membuat kesepakatan tertulis bersama siswa di kelasnya dan menjadi sebuah keyakinan kelas yang produknya dihasilkan oleh siswa itu sendiri dengan bimbingan guru, sehingga siswa akan merasa memiliki dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk melaksanakan semua item aturan yang sudah disepakati dan diyakini bersama tersebut. Inilah yang nantinya akan diharapkan akan melahirkan motivasi intrinsik (dorongan dari dalam diri).

Untuk mengawal keyakinan kelas yang sudah dibuat kemudian didesain, ditandatangani seluruh siswa dan ditempel di dinding kelas sebagai sebuah “piagam kelas” harus ditindak lanjuti oleh guru sang pemimpin pembelajaran dengan posisi kontrol sebagai fasilitator/manajer di kelasnya untuk melakukan tindakan problem solving (pemecahan masalah) dengan tindakan restitusi, yaitu memperbaiki kesalahan dengan mengembalikan harga dirinya dan kembali pada kelompoknya dengan percaya diri.

Upaya lain berikutnya selain menciptakan pembelajaran yang bermakna sesuai kebutuhan siswa dan memberi ruang eksplorasi minat bakat siswa lewat kegiatan ekskul adalah melaksanakan praktik baik yang sudah direncanakan sebelumnya untuk mewujudkan visi dan misi yang sudah ditetapkan. Titik fokus semua aktifitas praktik baik haruslah berpihak pada siswa. Keterlibatan siswa dalam menemukan ide hingga dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan akan menumbuhkan jiwa kepemimpinan yang mandiri, gotong royong, menghargai perbedaan, berpikir kritis, dan kreatif.

Disinilah Guru penggerak memegang peran yang sangat strategis dalam menentukan keberhasilan sebuah prakarsa perubahan menuju paradigma baru pendidikan di sekolah yang menurut hemat penulis adalah sebuah transformasi revolusioner saat ini, karena dari sinilah awal sebuah gerakan yang akan mampu menggerakan ekosistem sekolah menuju terciptanya budaya positif sekolah dan sebagai pemimpin pembelajaran yang dapat menuntun potensi siswa sesuai qadrat alam dan zamannya melalui pembelajaran yang berdiferensiasi (sesuai kebutuhan siswa).

 

Tantangan dan Solusi

              Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai kecuali disana ada tantangan yang harus dihadapi. Itulah dinamika yang akan terjadi di sekolah tempat para Guru Penggerak mengabdi. Tantangan yang sering dihadapi biasanya lebih kepada kurang sejalannya visi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan dengan pimpinan, masih adanya gep sosial emosional antara guru senior (lama) dengan guru junior (muda), serta kendala sarana prasarana yang belum memadai.

Oleh karena itu sudah saatnya bagi Guru Penggerak memandang tantangan tersebut adalah sebuah obat pahit yang harus dihadapi, ditelan, dan dicerna, sehingga dapat berubah menjadi nutrisi dan antibody. Fokus pada visi yang sudah ditetapkan dan membangun komunikasi dan ruang kolaboratif yang baik serta dapat mengontrol sosial emosional baik dengan rekan sejawat, pemangku kebijakan sekolah, orang tua siswa, serta komunitas pendidikan akan melahirkan strategi solusi yang efektif agar tujuan membangun budaya positif sekolah dan Profile Pelajar Pancasila dapat terwujud.

Semestinya Guru penggerak adalah “Agent of Changes” (agen perubahan) yang akan membawa warna dan wajah baru pendidikan di Indonesia karena membawa prinsip berawal dari tergerak, lalu bergerak lewat aksi nyata, dan akhirnya dapat menggerakan ekosistem sekolah. Itulah makna inisiatif yang berubah menjadi inspiratif. Jika itu dilakukan maka terwujudlah trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yaitu di depan menjadi teladan, di tengah menjadi penyemangat dan motivasi, di belakang menjadi pendorong untuk mandiri dan maju mencapai tujuan tertingginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun