Agak ngotot saya sampaikan Gubernur hadir Pak!
Wajah Bang Ipul diam. Saya duga dia jengkel, tapi tenang. Body language-nya bagus.
Tak lama sebuah Innova Hitam, pelat biasa, datang. Keluar sosok pria berbaju putih berpantolan hitam. Ya siapa lagi, kalau bukan Jokowi.
Sontak saya lihat wajah Bang Ipul senyum lebar. Dia tepuk bahu kanan saya.  Saya ajak Gubernur ke kawasan padat, di mana ada satu rumah ukuran 3x2 meter dihuni 12 orang, mereka tidur aplusan. Kawasan ini bila hujan  acap banjir.  Gubernur sampai naik ke rumah kecil, gang sempit.  Menyimak keadaan itu seharusnya Bang Ipul terpojok. Tenang ia berbisik ke saya, "Segera kami rapikan rumah ini Pak."
Selanjutnya kami menebar ikan di kali Abdul Muis, dari Bang Ipul kami tahu gedung-gedung dari sepanjang  Bank Indonesia, terus arah Harmoni, tak satupun mengolah air limbah buangnya. Pernah Walikota menyurati, Bang Ipul bilang apalah saya cuma Walikota. Saat itulah tercetus kalimat dari saya, "Menunggu Pak Jokowi Presiden baru bisa dibenahi semua gedung pemerintah itu mengolah limbahnya." Bang Ipul meng-aamiin-kan
Ketika di awal Jokowi Gubernur, kami setiap Jumat pagi juga rutin bersepeda.  Pada sebuah Jumat pagi lain, 2013,  saya usulkan peresmian Jalan Usman dan  Jalan Harun, di kedua ruas di Jl Kwitang. Menurut Bang Ipul sudah lama direncanakan. Maka saya usulkan ke Gubernur untuk meresmikan pas bersepeda. Gubernur setuju.  Repotlah Bang Ipul, kala itu sudah menjadi Sekda, menyiapkan, baik tiang nama, kain penutup untuk ditarik-buka oleh Gubernur saat peresmian.
Acara bersepeda Jumat pagi itu benar adanya, akan tetapi di saat Sekda sudah berdiri di papan nama Jalan Usman dan  Jalan Harun, Gubernur lewat saja,  hanya memilih menanam pohon Terminalia, di pinggir kali di seberang Toko Gunung Agung, Jl. Kwitang.Â
Kemarin, di saat jasad Bang Ipul dilepas dari Balaikota, saya simak Terminalia ditanam Gubernur Jokowi itu  tinggi. Saya tak lupa  mengingat telunjuk Bang Ipul ke saya, senyum geleng-geleng kepalanya. Mungkin dalam hatinya  kala itu saya sudah mengerjainya. Di lain hari saya bertemu Bang Ipul, usai acara itu,  ia tak berkata-kata.Â
Ia tertawa.
Kami tertawa.
Benar-benar tertawa berdua tanpa kata-kata.