Judul tulisan di atas, merupakan perubahan tajuk rencana tulisan; Gagalnya Presiden Sipil di Tengah "Jenderal vs Jenderal". Kalimat awal ini saya lempar ke time line saya di Twitter, ingin mendapatkan masukan berapa banyak follower berminat membaca? Saya meminta retweet, atau RT. Ilham judul itu berangkat setelah kongkow Senin malam, 8 April 2019 lalu, dengan seorang Jenderal aktif.
Hingga Jumat malam ini, hanya 0,02% dari lebih 105 ribu follower berminat melakukan RT. Secara statistik, kecil peminat.
Sejak 2003 khususnya, saya sudah menulis rutin ke Sosmed;Â blog, FBÂ status dan seterusnya, for free, dominan saya kerjakan dengan spirit verifikasi dengan kerendahan hati tiada henti, reportase berbiaya sendiri, bahkan kasus bertantangan nyawa, demi berbuat karena asumsi "matinya" jurnalisme.
Studi saya di komunikasi massa dan hukum. Pernah menjadi praktisi di media mainstream, lalu berbisnis dengan usaha tak terkait dengan pemerintah, sebagian waktu berkegiatan sosial; termasuk ada saja kasus kemanusiaan menagih diverifikasi.
Kemarin contohnya.
Saya terperanjat, putera seorang Ibu, Rachmania, sosok satu di antara 17 orang hilang dari dari Serui ke Mamberamo, peristiwa 2009, di Papua masih terus saya verifikasi, menghubungi via Instagram. Ia ingin mengkonfirmasi apakah benar saya menulis rutin kasus itu? Saya jawab benar. Ia mengabarkan ayahandanya sudah berpulang 2016. Ia ingin terus mencari sang ibundanya, dimana saya duga masih ada di "hutan" Papua.
Begitulah sekilas latar akan paparan menulis di bawah ini:
Ketika berhenti jadi jurnalis mainstream, 1989, di benak saya kala itu jika ingin besar berbisnis harus ada "bintang" di belakang dan atau modal kapital kuat. Keduanya saya tak punya. Maka ketika mendirikan perusahaan jasa komunikasi, deferensiasi saya adalah ide dan kreatifitas; contoh mem-push perusahan Sarung beriklan ke teve, hingga membuat serial animasi wayang carangan.
Ketika reformasi terjadi,1998, saya melihat peluang civil society akan berkibar. Peralihan Presiden dari Pak Harto ke BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, lalu kita kembali ke pemimpin sosok berasal dari TNI. Era Presiden SBY, saya pernah menggemparkan atap Partai Demokrat melalui Skype dengan Nazruddin. Saya mencatat prestasi utama SBY tak pernah menggunakan pasal pencemaran nama baik menghukum, memenjara seseorang.
Mendukung calon pemimpin sebagai mana acap saya tulis di Sosmed, berangkat dengan paradigma. Mendukung Bapak Jokowi, jadi presiden, paradigmanya; sosok punya produk masuk pasar bisa ubah bangsa. Gendang kami dilatari itu. Bunyi-bunyian ihwal kejokowian versi saya kala itu: sosok memuliakan ketulusan keinsanan.
Menyingkat kata, kita sudah sampai lagi ke Pilpres 2019 dalam hitungan hari.