Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Keluar dari Jatuh Tape Hoaks

6 November 2018   07:12 Diperbarui: 6 November 2018   08:31 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TAK terasa 2018, empat hari  jelang peringatan  Hari Pahlawan.  Heroisme berbangsa dan bernegara, akan dikenang  kembali, khususnya pada 10 November nanti. Ingatan akan sosok-sosok pahlawan bangsa, mengilhami saya  menulis hoax, diadaptasi menjadi hoaks. Topik  hoaks, ibarat ibu mengandung, intensinya tenggang  9 bulan terakhir menyasaki ranah media  komunikasi massa kita, terlebih di Social Media (Sosmed).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  V,  versi online, hoaks  berarti berita bohong. Saya, Anda, pembuat, penyebar hoaks, logika dasarnya menjadi pembohong. Semua orang waras, sehat rohani, dipastikan ogah dikatai  pembohong.

Lantas mengapa syurrr kali hoaks menghiasi hari-hari?

Saya amati sejak 2003 terutama, ranah komunikasi publik kita bergeser ke narasi-narasi kecil. Saya pembuat konten, enjoy dengan narasi kecil, karena kekuatannya di  sisi human interest.  Tulisan feature, litarair, deskriptif naratif, tetap menjadi konten dibaca; panjang, bahkan labih 1.000 kata, melawan teori anak jaman now.  Teori milenial online, katanya, cukup menulis setengah halaman kwarto, di kisaran 100-kata, lebih panjang tak dibaca di online.

Usia saya tak milenial memang, sudah 54 tahun. Pegangan saya pun karena studi dan pernah bekerja di komunikasi massa, tetaplah rujukan pondasinya; hati nurani, akal, budi.  Darah segar energinya, membaca buku, verifikasi dengan kerendahan hati.

Karena berpegang dengan cara pandang  text book  komunikasi itu, ketika Twitter masuk ke Indonesia, jejak digital saran saya masih ada. Saya mengatakan setiap medium komunikasi Sosmed punya psikologi penetrasi tersendiri. Twitter dengan interaktifitas cepat, daya penetrasinya membentuk opini di kalangan menengah atas tinggi, tajam.

Saya sarankan kepada pemerintah dulu itu,  dibuat regulasi, Twitter tak boleh anonim, nama samaran. Kalau pun mau ber-anonim, bikin blog, tulisan, contoh,  Munap. Lalu link  URL blog Munap  tarok di Twitter, oleh akun beridentitas. Diskusikan. Jadi berdebat dengan akun jelas.

Twitter sejatinya bisa digunakan sebagai medium berdialektika, setingkat di atas diskusi.

Sayang saran saya itu menguap.

Ketika muncul blog public di Kompas, saya menyarankan kepada Pepih Nugraha, pendiri, agar penulis, pembuat konten identitasnya jelas, tak boleh samaran. Dalam  praktek anonim dibolehkan. Untung belakangan ada himbauan untuk terverifikasi  Kompasiana - - di mana saya saja belum - - kendati menulis sejak 2009. Hee.

Sengkarut hoaks, sudah lama diantisipasi Bill Kovach dan Tom Rosentiel di bukunya Blur. Penulis The Element of Journalism itu mengatakan di saat tsunami inforamasi paling sulit  men-tapis-nya. Saran saya di atas, bagian dari cara menyaring.

Hari ini kita sudah terjerembab dalam hoaks. Hari-hari  berbalas hoaks ke hoaks. Energi seakan habis ngurus hoaks. Di sebuah kementrian ada alokasi dana proyek memfilter hoaks.

Twitter kita jadi warakadah.

Singkong sudah menjadi tape.

Dominan hoaks  dibuat mereka identitas tak jelas. Saya kadang geli sosok doktor, integritas jelas, tapi "berbalas-pantun" dengan akun-akun palsu. Saya melihatnya ibarat anak kemarin sore masuk ranah partai politik, bisa duduk selevel dengan jenderal dan tokoh  senior. Masih mending partai politik jelas orangnya,  pembuat konten di Sosmed, bisa jadi mereka anak Anda di SMP, karena tak ada regulasi mewajibkan identitas jelas.

Fungsi negara, regulator memang memberi arah. Celaka konten Sosmed telah dijadikan andalan membangun opini menjagokan calon pemimpin. Agitasi dan propaganda menuntut cara-cara jahil untuk opini kontra opini (OKO). Tanpa sengaja, kekuasaan hari ini telah pernah menggunakan robot akun palsu. Dan di alam Pilpres masuk masa kampanye kini, hoaks kian berhamburan.

Kalau mau jujur, kekuasaan berat sebelah, di mana konten akun palsu menguntungkan dari sisi opini mereka  amini, sebaliknya  bila merugikan dibahas bertubi-tubi: hoaks, hoaks, hoaks, seakan tiada henti kita dijejali hoaks, hoaks, hoaks.

Singkong sudah jadi tape.  Di ranah Minang, ada ungkapan jatuh tape, untuk mendeskripsikan sulit diperbaiki. Bagi saya, sejatinya  bulir nasi masih bisa disulap menjadi beras. Dalam ranah hoaks ini, asalkan regulator  memhami  apa itu komunikasi massa secara hakiki.

Bila pemahaman saja tak kunjung terimplementasi; kita hanya heboh dalam keterangan-keterangan, lupa bahwa dalam tata Bahasa Indonesia di pelajaran SD ada Subjek, Predikat, Objek, Keterangan (SPOK), lupa juga bahwa kalimat ada premis mayor dan premis minor-nya. Jebakan keterangan, mumet di premis minor, memang melupakan akan Subjek, Predikat dan Objek, bahasan. Bahasa adalah logika. Kejernihan nalar, dari logika dasar.

Saya acap bercanda, kini era sinergi diberi tas.

Maksudnya, kata pungut sinergy dijadikan sinergitas. Ngawur, tapi dari presiden hingga orang biasa mengucapkan, menuliskan. Padahal ada tatanan jika ingin menjadikan  kata kerja cukup diberi awalan ber. Tapi apalah ambo, hanya sebagai pembuat konten, bukan regulator,  tidak penguasa.

Bila berkuasa  baru akan disetujui omongan kita, diakui kebenarannya. Padahal untuk berkuasa di alam demokrasi telah menjadi industri kini - - demokrasi bukan  menjadi idiologi - -  ranah kemuliaan tergantung uang, termasuk uang membiayai ternak akun palsu, dan jaringan pembuat konten anonim. Kita terjerembab dalam urusan hoaks-hoaks, bak bebek berendam: hoaks-hoaks, begitulah suaranya. Tanpa kita sadari semuanya bagalepak-peak, dan layak diduga peradaban mengalami problem kewarasan, termasuk saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun