Hari ini kita sudah terjerembab dalam hoaks. Hari-hari  berbalas hoaks ke hoaks. Energi seakan habis ngurus hoaks. Di sebuah kementrian ada alokasi dana proyek memfilter hoaks.
Twitter kita jadi warakadah.
Singkong sudah menjadi tape.
Dominan hoaks  dibuat mereka identitas tak jelas. Saya kadang geli sosok doktor, integritas jelas, tapi "berbalas-pantun" dengan akun-akun palsu. Saya melihatnya ibarat anak kemarin sore masuk ranah partai politik, bisa duduk selevel dengan jenderal dan tokoh  senior. Masih mending partai politik jelas orangnya,  pembuat konten di Sosmed, bisa jadi mereka anak Anda di SMP, karena tak ada regulasi mewajibkan identitas jelas.
Fungsi negara, regulator memang memberi arah. Celaka konten Sosmed telah dijadikan andalan membangun opini menjagokan calon pemimpin. Agitasi dan propaganda menuntut cara-cara jahil untuk opini kontra opini (OKO). Tanpa sengaja, kekuasaan hari ini telah pernah menggunakan robot akun palsu. Dan di alam Pilpres masuk masa kampanye kini, hoaks kian berhamburan.
Kalau mau jujur, kekuasaan berat sebelah, di mana konten akun palsu menguntungkan dari sisi opini mereka  amini, sebaliknya  bila merugikan dibahas bertubi-tubi: hoaks, hoaks, hoaks, seakan tiada henti kita dijejali hoaks, hoaks, hoaks.
Singkong sudah jadi tape.  Di ranah Minang, ada ungkapan jatuh tape, untuk mendeskripsikan sulit diperbaiki. Bagi saya, sejatinya  bulir nasi masih bisa disulap menjadi beras. Dalam ranah hoaks ini, asalkan regulator  memhami  apa itu komunikasi massa secara hakiki.
Bila pemahaman saja tak kunjung terimplementasi; kita hanya heboh dalam keterangan-keterangan, lupa bahwa dalam tata Bahasa Indonesia di pelajaran SD ada Subjek, Predikat, Objek, Keterangan (SPOK), lupa juga bahwa kalimat ada premis mayor dan premis minor-nya. Jebakan keterangan, mumet di premis minor, memang melupakan akan Subjek, Predikat dan Objek, bahasan. Bahasa adalah logika. Kejernihan nalar, dari logika dasar.
Saya acap bercanda, kini era sinergi diberi tas.
Maksudnya, kata pungut sinergy dijadikan sinergitas. Ngawur, tapi dari presiden hingga orang biasa mengucapkan, menuliskan. Padahal ada tatanan jika ingin menjadikan  kata kerja cukup diberi awalan ber. Tapi apalah ambo, hanya sebagai pembuat konten, bukan regulator,  tidak penguasa.
Bila berkuasa  baru akan disetujui omongan kita, diakui kebenarannya. Padahal untuk berkuasa di alam demokrasi telah menjadi industri kini - - demokrasi bukan  menjadi idiologi - -  ranah kemuliaan tergantung uang, termasuk uang membiayai ternak akun palsu, dan jaringan pembuat konten anonim. Kita terjerembab dalam urusan hoaks-hoaks, bak bebek berendam: hoaks-hoaks, begitulah suaranya. Tanpa kita sadari semuanya bagalepak-peak, dan layak diduga peradaban mengalami problem kewarasan, termasuk saya.