KETIKA pertama menjabat Presiden Afrika Selatan, 1994, warga mendesak Nelson Mandela membubarkan Tim Nasional Rugbi terkuatnya, Springboks. Pasalnya, di tim itu, hanya ada satu saja pemain kulit hitam. Jiika hal itu dilakukan menjadi percuma perjuangan panjang menghapus perbedaan warna kulit. Mandela bergeming.
Berjibaku di kerangkeng penjara 27 tahun melawan pemerintahan lama melegalkan perbedaan ras, tempaan masif kesabaran bagi Mandela. Selama 18 tahun ia ditempatkan di Pulau Ruben. Ruang penjaranya hanya serentangan kedua tangan. Setiap hari ia harus memecah gelondongan batu-batu. Kesemua tak membekaskan dendam itu.
Mandela bahkan menentang keinginan menteri olahraganya membubarkan Springboks.
"Tidak akan pernah saya lakukan," katanya.
Ia inspirasi dan motivasi para pemain Springboks.
Mandela menyediakan bus mewah ber-AC, untuk dinaiki pemain berkeliling kampung, mara ke desa-desa. Mereka diminta mengenalkan Rugbi ke wong ndeso. Sambutan warga semula hanya hangat ke satu pemain kulit hitam, dalam hitungan menit cair, lebur bergembira bersama kanak-kanak kumal; saling lempar bola, canda dan tawa.
Dalam momen lain Mandela datang menggunakan helikopter ke lapangan di mana Springboks latihan. Mandela memberikan selembar puisi ke kapten Rugbi. Puisi itu berjudul Invictus, berarti tak terkalahkan. Puisi penyemangat hidup di kala ia di penjara.
Invictus menjadi judul film, dirilis pada 2009, alkisah, dalam tempo setahun sahaja, Afrika Selatan menjuarai dunia Rugbi, 1995. Rugbi mempersatukan Afrika Selatan, dignitybangkit, kota Johannesburg, menyemut-larut ke dalam total football gemuruh bergembira riuh.
KAMIS, 8 Maret 2018. Pagi jelang siang itu matahari di Bandara Sultan Mahmud Badarudin II Palembang, Sumatera Selatan, cerah. Kerumunan orang menanti para bintang lapangan Sriwijaya FC mulai menyemut. Kendati tak seheboh Afrika Selatan 1995 di Invictus, atmosfir sama.
Warga, supporter, ingin menyimak Piala Gubernur Kaltim, di mana Sriwijaya FC telah merebutnya dalam pertandingan final pada 4 Maret 2018 lalu mengalahkan Arema FC dengan skor 3-2. Sebelumnya di babak perdelapan final Piala Presiden, Sriwijaya FC juga telah pernah pula mengalahkan Arema FC.
Maka begitu rombongan pemain membawa Piala Gubernur Kaltim keluar dari ruang VIP Bandara, para Supporter sudah menyemut menunggu. Sorak-sorai berderai.
"Kito pacak!"
"Kito pacak."
"Kito pacak."
Dodi Reza Alex (DRA), Presiden Sriwijaya, dari atas Jeep putih komando terbuka bersama pemain mengarak piala Gubernur Kaltim. Dari Bandara Sultan Mahmud Badarudin II, kendaraan sulit dipacu kencang. Sambutan masyarakat di jalanan sesak. Warga ingin melihat piala, bahkan ingin meraih. Mereka ingin menyimak para bintang lapangan dari dekat. Kito pacak menggema. Hastag #KitoPacak di Sosmed Trending Topic.
Di sepanjang jalan sepeda motor mengular. Mereka semula bertujuan lain, dominan melebur turut bersama arak-arakkan. Perjalanan menuju kawasan Pusat Olahraga Jakabaring, di mana akan menjadi pusat pertandingan bagi Asian Games, Agustus 2019 mendatang, terasa kian panjang.
Di pertengahan jalan, DRA mendapatkan kabar bahwa neneknya, ibu dari Eliza Alex, siang itu mendadak kritis berada di rumah sakit. Bisa dibayangkan keinginan hati DRA segera bergabung membesuk bersama keluarga. Di jelang tengah hari matahari menyalak terik, puluhan ribu asap kendaraan menimpali wajah. Di beberapa ruas jalan angin tampak menerbangkan debu. Proses akhir pengerjaan LRT Palembang, berdenyut 24 jam. Di suasana jalanan demikian itu tak membuat wajah DRA berubah. Ia terus tersenyum, ramah, melupakan gerah.
Di Jakabaring, warga menunggu pun padat. Semua seakan ingin meraih memeluk piala, bersalaman dengan bintang. Tak terkecuali lambaian tangan kepada DRA. Perjalanan di udara panas kian menyala. Sedianya DRA ingin sekali makan nasi bungkus bareng pemain dan supporter Sriwijaya FC, namun ia bergegas ke rumah sakit menjenguk neneknya kritis.
Saya simak di sepanjang jalan godaan kepada DRA tinggi. Ia dipancing memanfaatkan momentum prosesi massal itu bagi kepentingan promosi politik. Namun sedetik pun DRA tak memanfaatkan. Ia dalam status cuti sebagai Bupati Musi Banyuasin. Saat ini ia mencalonkan diri sebagai Gubernur Suimatera Selatan. Bisa saja momen massa berjibun itu digunakannya untuk sekadar mengacungkan jari nomor urutnya sebagai kandidat Gubernur. Namun hingga berpisah meninggalkan Jakabaring DRA hanya melanmbaikan tangan.
Keadaan justeru berbalik diterimanya. Oleh lawan politik ada saja tudingan miring, misalnya, membangun politik dinasti.
"Jika setiap orang boleh memilih jadi anak siapa, saya memilih jadi anak Ratu Inggris atau Raja Arab."
"Saya memang putera Alex Noerdin, kebetulan Gubernur Sumsel saat ini," kata DRA.
Dalam selisih usia tak begitu jauh dengan ayahnya, DRA memang memilih dan membulatkan tekad lebih berprestasi di segala bidang disbanding Alex Noerdin. Lulus Summa Cum Laude di Universite deBruxelles, Belgia itu, kemudian menjadi anggota DPR, pernah menjadi Wakil Ketua Komisi VI, membawahi BUMN. Di saat menjadi anggota dewan itulah kiprahnya besar dalam menggiring dana APBN bisa masuk ke Sumsel lebih Rp 68 triliun jelang Asian Games ini. Dalam spirit lebih unggul itu, alih generasi kepemimpinan di Sumsel itu harus disyukuri masyarakatnya.
Kini ada empat pasang calon gubernur hebat dan DRA salah satunya.
Di momen arak-arakkan massa membawa piala kemenangan itu, Presiden Sriwijaya FC ini teruji sebagai pemimpin. Tak banyak penggemar Sriwijaya FC tahu, setidaknya sudah dua kali DRA sampai menggadaikan rumah demi membiayai Sriwijaya FC. Di siang panas terik senyumnya terus mengtalir. Satu saja pesan kental tampak, bahwa DRA sosok pemimpin muda menjajikan, paling tidak dalam rentang hampir tiga jam di siang mengarak piala kemenangan itu, dia teruji memiliki kecerdasan hati, cool, tak tergoda berkampanye politik, ia agaknya membaca Mandela bahwa pemimpin itu; menginspirasi dan memotivasi, lalu Sriwijaya FC juara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H