"Aku bukan hakim, juga bukan pula penyidik. Tugasku mereportase, meyampaikan fakta sebagaimana adanya?"
Setidaknya itu dialog masih terngiang di kuping saya.
Kawan-kawan di TEMPO,  sempat mengenal Budiman pasti mafhum bagaimana ia berargumen mempertahankan pendapat dengan nuraninya. Dari Budiman pula  saya pernah dipinjamkan jilid pertama buku Melawat ke Barat. Baik Budiman, terlebih Adinegoro, penulis Melawat ke Barat keduanya pembaca novel bagus. Mereka berdua juga sastrawan di lain zaman. Tapi satu benang merahnya, mereka pembaca banyak buku, terutama novel bermutu. Mereka pembaca novel hebat dipastikan menjadi penulis enak dibaca. Jadi wajarlah Budiman menulis bak langgam Hemingway di Lelaki Tua dan Laut.
Dalam tatanan membaca dan menulis itu saya terus belajar. Termasuk belajar dari langgam hujat-menghujat, per-bully-an ada di Sosmed Indonesia kini. Kedaan  sejernih apapun kita menyampaikan fakta, selalu dicurigai. Agaknya karena kita tak terbiasa mewangikan hati, sehingga aura negatif dominan di lubuk hati. Setulus apapun Jokowi bekerja di tengah kekuasaan berbagi dan berbeda dibanding Orde Baru, tetap saja dihujat-kiri kanan. Padahal saya menyimak dalam 1,5 tahun ini, ada kerja signifikan kejokowian dalam membuat sertifikat tanah bagi warga, bagi rumah ibadah gratis. Â
Maka pertemuan saya sebulan ini dengan Presiden Jokowi,  dituding cair dapat  imbalan ini dan itu, sejatinya memang, bahkan saya dapat warisan maha besar dan tak ternilai harganya dengan  rupiah.
Yakni, sebuah buku tua, jilid II ketikan dan editan tulisan tangan Djamaloedin Adinegoro, sudah budukan, berwarna coklat. Tapi bukan dari Pak Jokowi, Â langsung diberikan tiga anak ahli waris Adinegoro, untuk saya. Bahkan Marsini Adinegoro, putera ketiga berjanji mencarikan buku jilid pertama, konon pernah terbit pada 1950.
Bila sebelum ini kami hanya tahu bahwa Melawat ke Barat menjadi alasan kenapa Adinegoro, Bapak Jurnlisme Indonesia, ternyata faktanya, Adinegoro-lah pembuat textbook lengkap buku Publistik dan Djurnalistik, selama hayat Indonesia baru pernah terbit jilid I. Jilid II-nya belum diterbitkan itu,  saat ini  ada di meja saya. Belum lengkap saya baca, kertas ketikan ukuran folio 239 halaman, dengan tambal sulam, koreksi tulis tangan di sana-sini.
Mungkin bila kelak diterbitkan oleh Yayasan Publisistik dan Jurnalistik Adinegoro (YPJA), bisa meluruskan kembali  jurnalisme Indonesia kini seakan mati, terlebih di ranah publisistik, atau komunikasi publik, kini seakan tak tergarap baik.
Sosok seperti Rudiantara, Menkominfo, juga bisa membaca kelak  dan wajib paham, ranah humas bangsa dan negara, ranah kehumasan presiden, ranah penyiaran, ranah  jurnalistik juga menjadi bagian kerjanya di kementrian informasi dan komunikasi. Sehingga sudah kudu  Rudiantara tak membiarkan  presidennya  seakan berjalan sendiri di ranah ini.
Kita beruntung punya presiden berani verifikasi, juga mendengar,  bak langgam wartawan seperti Budiman, bisa memaparkan deskriptif bahwa Al Mukmin  pesantren, bahwa  Abubakar Baasyir Ustad. Bahwa ada kata dan penuturannya sebagai ulama sangar, keras, provokatif,  tugas bangsa dan negara membinanya. Presiden Jokowi telah berbuat tidak membiarkan Ustad Baasyir merana papa-tua meringkik sakit  di penjara. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H