Budiman pernah tiga hari tiga malam melakukan reoportase ke Pesantren Ngruki, Pondok Pimpinan Ustad Baasyir. Budiman keliharan Solo, 5 Desember 1938,  memulai karir sebagai penyiar RRI Solo itu, menulis dengan langgam literair. Sebagai penyair, tulisannya cair, enak dibaca. Jika Anda luang dan  peminat literasi, tulisannya lebih 3.000 kata dapat dibaca  di link ini.
Saya kutipkan empat alinea tulisan awal  Budiman seperti di bawah ini:
SEIRIS alit bulan sabit keemasan mengambang di langit. Bak kanvas tanpa batas. Kelam, semburat biru, bercak abu-abu, hanya ada tiga empat bintang kecil, tanpa kedip. Kemarau kering Mei lalu masih menyisakan dinihari yang sejuk. Senyap. Angin tipis bertiup pelan, menggoyang dedaunan rimbun di tepi Kali Cemani.
Satu-dua ayam jago berkokok bersahutan. Dua ekor tekukur di kurungan, yang tergantung di emper rumah sebelah mesjid, bernyanyi. Ketika itulah azan subuh pertama melengking parau dari corong loudspeaker mesjid pondok pesantren Al-Mukmin. Di kejauhan terdengar satu-dua sandal diseret di tanah.
Dukuh Ngruki masih terlelap, penduduk masih malas bangun, ketika jarum jam dinding mesjid menunjuk angka 03:15. Tapi kehidupan sudah mulai menggeliat di pesantren, meski mesjid masih lengang.
Tak lama, sekitar seperempat jam kemudian, satu-persatu santri menghambur dari pondok. Mereka mengenakan baju koko, sarung dan "kupiah haji" bermacam warna. Ada beberapa yang mengenakan celana panjang, digulung bagian bawah sedikit agak tinggi di atas mata kaki. Mereka menenteng Al-Quran ukuran mini, buku pelajaran, dan sajadah.
Silakan klik link untuk meneruskan. Jika Anda pembaca, saya yakin merasakan bagaimana sebuah tulisan menghadirkan sang pembaca di lokasi. Tiga hari Budiman di Al Mukmin,  Ngruki, ia tak menemukan ada  teroris.
Maka seorang kawan redaktur kala itu bertanya kepada Budiman.
"Mengapa tak menemukan ada indikasi dan pelatihan  teroris di sana?"
"Lah aku ini wartawan, menggunakan segenap indera. Reportase."
"Lho semua pada bilang di sana ada kok pelatihan teroris?"