Jarum jam telah lewat pukul 23 di 21 Januari 2018.  Di lantai delapan di Hotel  Excelton, Palembang, Presiden Jokowi, baru saja tiba. Walau kian larut, ia menyempatkan  berbincang empat mata dengan saya. Momen itu, kedua setelah 12 Februari 2015, sejak saya bertemu empat mata pertama sejak dilantik Presiden di Istana Negara, Jakarta. Ia baru saja  kembali, usai makan malam di Warung Soto dan Sate Rio, tak jauh di kanan Griya Agung.
Di sebuah meja bulat dengan kursi sama, kami berbincang. Beruntung, saya sudah mempersiapkan dua lembar kertas, kami pegang satu masing-masing. Di lembaran itu berisi pokok pikiran, perihal  urgent saya sampaikan.
Tadi malam kolega saya dari Palembang mengirim konten Twitter,  Tengku Zulkarnain. Ia menulis sebagai salah satu Ketua Majelis Ulama (MUI) Pusat. Ustad Zul, menyampaikan  berterima kasih kepada Presiden Jokowi atas dibebaskannya Ustad Abubakar Baasyir, sesuai permintaan MUI. Ustad Baasyir kini bisa dirawat di RSCM, Jakarta.
Alhamdulillah.
Saya memegang kembali lembaran kertas kami baca sebulan lalu itu. Di salah satu point, saya menulis: Bebaskan Ustad Baasyir. Presiden Jokowi malam itu mengatakan baru saja berpikir tiga pekan lalu soal sama.
"Saya sudah meminta pendapat intelijen soal Ustad Abubakar Baasyir," ujarnya.
Saya tanya, kapan dibebaskan?
Dari beberapa persoalan saya sampaikan, topik ini tampaknya menjadi konsennya. Sebelum menutup pintu kamar tidurnya, Â Jokowi sambil memagang handle pintu, memiringkan badan lalu berujar, "Soal Ustad Baasyir saya pikirkan."
Saya simak  ketulusan kejokowian sejak lama kami gadang-gadang masih nyata.
Kami berpisah.
Pagi ini tak terasa mata saya berasa berat digelayuti air berlinang. Saya tak menyangka hikmah kelanjutan Hari Pers 2018, seakan terus mengalir. Selain  mampir ke rumah kelahiran Adinegoro, ke Talawi, Sawahlunto, Sumbar, 8 Februari lalu, membagikan Buku Melawat ke Barat, lengkap tiga edisi di dalam satu buku dicetak khusus, esoknya 9 Februari, ditunaikan Presiden,  malam bersamanya di  Palembang sebulan lalu itu juga saya sampaikan soal reportase Almarhum Budiman S Hartoyo, redaktur senior Tempo, pendiri PWI-Reformasi,  pernah dimuat Majalah Pantau, 1 Juli 2002 - - kini tak terbit lagi.