Sabtu jelang petang, sehari setelah Puncak Hari Pers kemarin, saya menuju kawasan bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Kawasan berkontur tanah turun dan naik itu sudah lebih 10 tahun tak saya kunjungi.Â
Suasana hijau masih melingkupi. Di kediaman Anita Marni Chatab, 81 tahun (puteri kedua Alm. Djamaloedin Adinegoro), sudah ada Adiwarsita Adinegoro yang berusia 72 tahun (putera ketiga), dan Marsini Adinegoro yang berusia 71 tahun (putra keempat). Kakak mereka yang paling tua dan adik yang bontot nomor lima, sudah terlebih dahulu berpulang.
Adiwarsita, pada 8 Februari lalu hadir di tanah keliharan ayahandanya, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia turut menyerahkan buku "Melawat ke Barat" (tiga jilid yang dicetak ke dalam satu buku) kepada Presiden Joko Widodo. Mereka bertiga mengundang saya ke kediaman keluarga sebagai ungkapan bersyukur bahwa pemerintah mengangkat kembali sosok Adinegoro.
Sebagaimana kebanyakan keluarga Minang umumnya, bertamu dengan didahului oleh jamuan makan adalah semacam keharusan. Maka di ruang makan keluarga sudah terhidang masakan Padang mengundang selera. Ada dendeng, tipis, garing, gurih dengan sambal merah, ada kikil dengan kuah kuning, ada ayam panggang. Saya pun menikmati hidangan sambil ngobrol tentang jurnalisme kita.
Saya menyampaikan apakah hanya buku sudah mengemuka di publik serta menebalkan nama Adinegoro sebagai Bapak Jurnalisme Indonesia? Pertanyaan ini sudah sejak kuliah menghiasi benak. Ternyata, Anita menjawab spontan, "Bukan hanya 'Melawat ke Barat'Â dan novel, paling signifikan Adinegoro menulis buku 'Publisistik dan Djurnalistik' Jilid I dan Jilid II."
Menurut Marsini, jilid satu pernah diterbitkan pada 1950-an. Sedangkan buku jilid II masih dalam bentuk ketikan dengan kertas ukuran folio, di sana-sini masih benyak coretan tangan Adinegoro belum pernah dicetak. Anita mencari dokumen lama itu kemudian memperlihatkan ke saya. Kertas kuning sudah kecoklatan itu berterakan ketikan tangan Adinegoro, 1952.
Aset bernilai masih dalam bentuk ketikan tebal itu, saya sarankan untuk diterbitkan lagi. Dan sudah saatnya keluarga memikirkan membuat yayasan resmi Adinegoro, dengan inisiator keluarga. Yayasan bisa menggerakkan kembali serta mengawal kisi-kisi jurnalisme, agar bangsa dan negara tak kian kusut persnya. Kami bersepakat, dalam kekinian konten dominan mengalir di medsos terutama, bagaikan bah, kebenaran dan fakta menjadi sulit ditapis.Â
Maka kunci jika esensi jurnalisme masih ada, marwah wartawan profesional, bertanggung jawab membangun peradaban mulia berpancasila. Sudah sepantasnya pula yayasan dilibatkan dalam menilai karya jurnalisme bermutu setiap tahunnya, dengan acuan dua buku gubahan Adinegoro itu.
Dua hari belakangan video beredar di WA grup, juga di medsos, tayang di Youtube, ada mobil RI I di Sumbar, lewat di jalan sepi. Ada caption kalimat selama Presiden Jokowi di Sumbar, warga tidak antusias. Video semacam ini menjadi viral, bagi lawan politik, dikeluarkan sebagai kebahagiaan. Namun jika ruh jurnalisme ada, verifikasi ada, video itu jernih, jelas, dan jauh dari hoax.Â
Saya ada di lapangan, hampir di semua jalan dilalui presiden RI ketika turun bermobil dari Dhamasraya hingga ke Batusangkar, terhenti-henti karena massa bejibun di jalanan. Spontan Presiden Jokowi harus turun berkali-kali, sehingga jadwal semula pada 8 Februari 2018, menginap di Padang, karena petang larut, ada titik belum disinggahi seperti Desa Pariangan, terindah di dunia. Karenanya, Presiden mesti menginap di Batusangkar. Baru pagi, 9 Februari 2018 ke Padang.
Satu lagi saya catat di lapangan, hampir semua spanduk yang dibuat secara inisiatif oleh warga, dicopot. Kami bersama Tim Echo juga memproduksi ratusan spanduk, mengalami nasib sama. Akan tetapi jelang Presiden Jokowi masuk kota Sawahlunto, seorang staf dari Istana Negara menanyakan apakah masih ada spanduk. Dan ia minta dipasang kembali. Karena kami pun sudah tak tahu keberadaan para spanduk, kami tak bisa apa-apa.Â