Latarnya, setelah wafat 50 tahun Adinegoro, nama pena, walau namanya diabadikan sebagai Pulitzer Prize-nya Indonesia, tak banyak orang paham siapa dia?
Acap saya diundang berbicara di kampus-kampus, FISIP, saya tanya siapa tahu buku Melawat ke Barat? Aula kampus senyap. Padahal karena buku itulah antara lain nama Adinegoro ditahbiskan sebagai julukan bagi karya jurnalistik terbaik Indonesia dan diberikan setiap tahun oleh PWI.
Kepada Bapak Presiden saya sampaikan pula bahwa persoalan peradaban kita kini rendahnya minat membaca buku, terlebih sastra. Bandingkan dengan di Inggris kelas SMP wajib membaca karya Shakespeare.
Maka presiden bilang ingin sekali membagikan buku Melawat ke Barat di Hari Pers. Dengan ketulusan hati saya dibantu kawan-kawan jaringan menghubungi keluarga. Di luar dugaan saya pun baru ngeh kalau Adiwarsita Adinegoro, 72 tahun, senior saya di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dulu, putera ke-3 Adinegoro, memudahkan mendapatkan bahan, ijin terbit.
Jaringan kami, termasuk Tim Echo, menerbitkan bersama Yayasan Penglima Besar Soedirman, diproses kilat, termasuk ISBN ada. Dan ini pertama dalam sejarah kita tiga jilid buku Adinegoro digabung ke dalam satu buku, dikerjakan dalam hitungan hari, jadi bisa dibagi 1.500 eksemplar eksklusif, masing-masing 557 halaman. Semua ini terjadi, tidak berlebihan saya katakan karena seluruh tim terlibat modal utamanya kebersihan hati. Di IPCenter kini masih ada 300 eksemplar, menurut keluarga, untuk dibagikan gratis ke lembaga pendidikan.
Lantas apa harus di-bully?
Bila di sosmed, ada konten terkesan nyinyir menanggapi hal ini sah saja. Saya bukan orang partai politik. Pendidikan, pengalaman, latar sudah saya katakan di atas. Kalau cuma pembuat konten maki-maki saya, anak saya, Aku Alesia, paling kecil, juga canggih bikin konten dan sangat mengerti adab, paham etik.
Tapi sebagai anak, Aku, pastilah takzim, paling beradab ke ayahnya.
Beda dengan di sosmed mereka semua bukan anak saya.
Apalagi saya tak paham apakah mereka semua pernah membaca novel "Harimau-Harimau"-nya Mochtar Loebis?Â
Aku Alesia, masih kecil sudah membaca Harimau-Harimau. Ia mafhum, bunuhlah Harimau di dirimu terlebih dahulu maka lubuk hatimu akan memandu lalu melalui ruh illahiah menggiring akal; dan budi menyampaikan kebenaran. Bukan hoaks, apalagi fitnah. Demikian.