Saya sengaja mengedit judul tulisan ini dari awal posting:  Beragam Cara Berbunyi di Media  menjadi  Kian Batea Kian Bunyi di Media, terasa lebih menggigit. Pas. Batea dalam Bahasa Minangkabau, berarti ngaco. Jadi kian ngawur, makin top.
Syahdan pada 1991 lalu saya dilantik menjadi salah satu anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Beberapa dari kami seangkatan kini sudah banyak menjadi pengusaha sukses, menjadi anggota dewan, seperti Bambang Soesatyo, kini kandidat Ketua DPR-RI. Saya menjadi teringat kepada seorang kawan lain  di  kemudian hari juga menjadi anggota DPR, di mana  di saat awal bertemu masih mengenakan jas wol berlengan dan bahu  kedodoran, lalu di setiap ada acara diskusi,  terlebih seminar menjadi dakocan kami.
Sebut saja namanya Munap. Dalam sebuah seminar perbankan kami minta dia bertanya. Maka Munap pun berbunyi. Â Ia bukan bertanya tetapi beropini ngalor-ngidul. Premisnya tak jelas. Â Kami peserta anggota HIPMI, menikmati. Usai Munap berceloteh, kami pun bertepuk tangan , "Horeee ..." Perihal itu menjadi penghiburan tersendiri.
Masa depan sulit diperkirakan. Figur dulunya kita anggap hebat, bisa jadi 20 tahun lagi bukan siapa-siapa, begitu pun sosok kita tertawakan tempo hari  di kemudian hari  malah menjadi terkenal, bahkan bisa  duduk menjadi anggota dewan terhormat.
Dari cerita singkat di atas, menyimak media khususnya Sosmed hari ini, ada satu benang merah  nyata. Bila Munap dulu berbunyi untuk menampilkan eksistensi dirinya - -  bisa juga itung-itung belajar  berkicau - - maka Munap zaman now beragam cara dilakukannya tampil di media, berita online, Sosmed khususnya.Â
Sebagai mana teori komunikasi massa, kabar harus sampai  dari komunikan ke komunikator, dalam hal ini warga. Apa yang disampaikan? Pesan. Pesan bersisi simbol komunikasi; gerak-gerik, bahasa tulisan, suara, warna, garis, hingga visual animasi. Penyampaian pesan melalui berbagai medium, media. Saat ini media alternatif, Sosmed lebih mudah mem-viral-kan beragam info, entah itu empirik dan atau itu hoax berkejaran menembus lintas batas jagad online. Aplikasi  medium Twitter, paling tinggi interaktifitas kontennya
Walaupun kedengarannya semua orang di online jagoan pembuat konten, Â tetapi acap kejernihan pikir dilupakan. Medium online sebagai salah satu media saja. Konten sebagai muatan. Internet akses, jaringan, aplikasi. Di ketiga ranah ini kini orang acap rancu. Â Mana konten, mana media, mana aplikasi atau teknologi acap dipukul-ratakan. Â
Seorang programer aplikasi  kini bisa menepuk dada bak pakar pembuat konten. Seorang ahli jaringan pun demikian. Gawatnya lagi mereka produsen konten, dominan tak iqra atau tak berasal dari latar belakang studi komunikasi massa,  apalagi jauh dari punya pengalaman  sebagai reporter sehingga alpa akan permahaman tata bahasa, lupa kepada sosiologi komunikasi, tak kenal psikologi komunikasi, sekadar menuliskan dua kajian. Latar demikian, programer, aplikator program,  di internet ada berani memberi kartu nama bertajuk Spin Doctor.
Di tengah keadaan demikian  libido sosok  atau figur tertentu tampil di publik kian meninggi. Hal itu dilatar-belakangi sistem Pemilu, Pilkada,  di tanah air. Lembaga riset pun meneguhkan  bahwa elektabilitas figur harus tinggi. Kacamata psikologi komunikasi; dikenal, diminati dan dipilih.  Itulah proses, atau urut-urutan peristiwa harus dilalui seorang calon. Dikenal belum tentu diminati, diminati belum tentu dipilih. Dalam kancah demikian, maka seorang figur menggunakan segala cara berbunyi dan dibunyikan.Â
Khususnya di Sosmed, maka dikenal adanya buzzer mensosialisasikan sosok tertentu, bahkan  ada  jasa membuat program  tampilan tokoh, sehingga be-rating tinggi bila disimak  Search Engine Optimazation (SEO). Dan acuan SEO pun kini telah tertinggal dengan munculnya Big Data, Mechine Learning, dan Artificial Intelligence, lebih advance, real time  crawling data, hingga ke penyajian war room.
Lebih dari itu, bak Munap teman saya  di awal 90-an lalu, langgamnya ada saja yang meniru kini. Upaya laku sosok Vicky kemudian terkenal dengan bahasa Vickynisasinya, pada sebuah momen, telah membuat  ia terkenal. Saya sempat memverifikasi bagaimana sebuah rumah produksi gosip menyajikannya ke teve. Maka antara percaya dan tidak  saya ketika  Vicky menikah kini.Â
Di tengah langgam jurnalisme seakan mati, code of conduct hanya kata semata, kewajiban menjadi pelapor, reporter bak di TEMPO tahun 80an, maksimal hanya menulis reportase dua tahun belum boleh menulis jadi,  proses itu tidak lagi kini di jurnalistik Indonesia, kebenaran  kian sulit ditapis di tengah kabar, pesan,  mengalir bak tsunami.  Celakanya  bah konten mediocare kini mengalir deras di era sistem politik oligarki fulus-mulus. Apa-apa fulus.
Dalam keadaan demikian lahir figur seperti Ahok di DKI Jakarta lalu. Saya termasuk gigih  memverifikasi satu dua kasus di DKI Jakarta, khususnya soal Pembelian Lahan Sumber Waras, sulit untuk melihat celah kebenaran di kasus itu. Maka hal itu pernah saya beberkan di ILC https://www.youtube.com/watch?v=F_Heb547_dsÂ
Dalam konteks Ahok pada masa Pilkada lalu telah terjadi perang buzzer, perang opini, serang-serangan konten. Era itu lewat. Ahok sudah menjadi terpidana. Ia dipenjara dua tahun. Hukuman dengan pemotongan diperkirakan, maka  ia akan keluar tahun depan. Seoerang Djarot, kini menjadi Cagub Sumatera Utara, didukung pembiayaan oleh wakilnya Sihar Sitorus  - - keluarga Sitorus salah satu juragan besar sawit - - bangga didukung Ahok. Saya baca beberapa komen di Sosmed, "Kok bangga didukung terpidana?"
Week end hingga awal pekan ini  lini masa heboh lagi soal surat cerai Ahok. Lagi-lagi Ahok.
Kawan  berkomunikasi dengan saya, saya himbau tidak latah berkomentar. Termasuk tak ikut melakukan RT di Twitter.  Banyak persoalan lain, di luar memuliakan terpidana di negeri ini.Â
Jika ranahnya online tentu akan lebih baik membahas aplikasi bagaimana sekelompok anak muda membuat aplikasi penjualan holtikultura petani melalui aplikasi Regopantes, belum lama ini malah Channel News Asia  mengupasnya.  Salah satu contoh.Â
Sementara di dalam negeri kok ente sibuk mengurusi terpidana sudah dihukum, palagi perceraiannya, ranah privat, di mana masih dimungkinkan  mediasi rujuk dan seterusnya.Â
Jagad komunikasi telah tercuri banyak kelicikan  sosok menguasai linimasi demi terus berbunyi. Untuk itulah sejatinya jurnalisme itu ruhnya tetap abadi, hati nurani akal dan budi. Asahlah terus kesucian ruh keinsanan, maka ente akan paham mana layak bunyi dan mumpuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H