Di tengah langgam jurnalisme seakan mati, code of conduct hanya kata semata, kewajiban menjadi pelapor, reporter bak di TEMPO tahun 80an, maksimal hanya menulis reportase dua tahun belum boleh menulis jadi,  proses itu tidak lagi kini di jurnalistik Indonesia, kebenaran  kian sulit ditapis di tengah kabar, pesan,  mengalir bak tsunami.  Celakanya  bah konten mediocare kini mengalir deras di era sistem politik oligarki fulus-mulus. Apa-apa fulus.
Dalam keadaan demikian lahir figur seperti Ahok di DKI Jakarta lalu. Saya termasuk gigih  memverifikasi satu dua kasus di DKI Jakarta, khususnya soal Pembelian Lahan Sumber Waras, sulit untuk melihat celah kebenaran di kasus itu. Maka hal itu pernah saya beberkan di ILC https://www.youtube.com/watch?v=F_Heb547_dsÂ
Dalam konteks Ahok pada masa Pilkada lalu telah terjadi perang buzzer, perang opini, serang-serangan konten. Era itu lewat. Ahok sudah menjadi terpidana. Ia dipenjara dua tahun. Hukuman dengan pemotongan diperkirakan, maka  ia akan keluar tahun depan. Seoerang Djarot, kini menjadi Cagub Sumatera Utara, didukung pembiayaan oleh wakilnya Sihar Sitorus  - - keluarga Sitorus salah satu juragan besar sawit - - bangga didukung Ahok. Saya baca beberapa komen di Sosmed, "Kok bangga didukung terpidana?"
Week end hingga awal pekan ini  lini masa heboh lagi soal surat cerai Ahok. Lagi-lagi Ahok.
Kawan  berkomunikasi dengan saya, saya himbau tidak latah berkomentar. Termasuk tak ikut melakukan RT di Twitter.  Banyak persoalan lain, di luar memuliakan terpidana di negeri ini.Â
Jika ranahnya online tentu akan lebih baik membahas aplikasi bagaimana sekelompok anak muda membuat aplikasi penjualan holtikultura petani melalui aplikasi Regopantes, belum lama ini malah Channel News Asia  mengupasnya.  Salah satu contoh.Â
Sementara di dalam negeri kok ente sibuk mengurusi terpidana sudah dihukum, palagi perceraiannya, ranah privat, di mana masih dimungkinkan  mediasi rujuk dan seterusnya.Â
Jagad komunikasi telah tercuri banyak kelicikan  sosok menguasai linimasi demi terus berbunyi. Untuk itulah sejatinya jurnalisme itu ruhnya tetap abadi, hati nurani akal dan budi. Asahlah terus kesucian ruh keinsanan, maka ente akan paham mana layak bunyi dan mumpuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H