Judul di atas sejatinya saya kutip dari kalimat warga di dusun Sompok, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri,Bantul, Jogja. Jelang tengah hari, 10 Desember kemarin, cerah matahari.  Titiek Soeharto, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, datang dengan  berbaju batik putih bermotif bunga biru  bersama rombongan. Ia meletakkan batu pertama pembangunan rumah warga. Ia memberikan bantuan uang bagi membangun rumah-rumah habis dilibas banjir  pada 29 November 2017 lalu.Â
Tepat di kaki saya menginjak tanah basah itulah hamparan rumah bersisa. Bangunan beserta segenap isinya mengalir bak  gabus mengambang air.Â
Luapan sungai coklat berpasir berkerikil meluluh-lantakkan segalanya. Sebatang pohon kelapa tinggi hijau daunnya kini layu mencium tanah. Beberapa pohon Jati seukuran paha, telah mengelupas kulit berhimpitan di tepian kali. Pemandangan sisa runtuhan kayu, sampah dan hijau di kejauhan membekas dalam alam membawa musibah.  Di  kala acara kunjungan singkat Titiek ke lingkungan warga korban banjir itulah  saya mendengar celetukan warga, "Ra Titiek Golkar Ra bangkit."Â
Maksud kalimat Ra Titiek Golkar Ra Bangkit itu, kata ora  dalam bahasa Jawa berarti tidak. Dalam  suasana musibah baru berlalu warga ngerumpi soal bursa calon ketua umum Partai Golkar. Mereka berceloteh:  jika bukan Titiek Ketua Umum Golkar, maka Golkar tidak bangkit.
Sementara kemarin  itu saya simak di berita online, ada dua pengamat  berkomentar negatif terhadap keinginan  Titiek Soeharto maju menjadi calon ketua umum Partai Golkar. Pertama Winarto Wijaya dan kedua Siti Zuhro, peneliti Lembaga Ilmun Pengetahuan Indonesia. Dari pantauan percakapan di Sosmed, mereka beropini bila Titiek ketua umum Golkar maka partai itu akan kembali ke masa lalu, juga tudingan politik dinasti.Â
Seorang warga, pendukung Partai Golkar di lokasi bencana banjir, Ristono, kebetulan rumah hingga  atap rumahnya  ditenggelamkan banjir, berkomentar berbeda. Selaku wong ndeso ia bak pengamat, mengatakan banyak pengamat dihidangkan media, sudah tak jujur, tidak berintegritas beropini, "Iku jenenge opo Mas, persekusi yo?"Â
Saya tertawa.Â
Orang kampung sudah pula paham akan kata persekusi.  Ia menyebut nama pengamat di era Pilkada DKI Jakarta lalu,  terindikasi tajam berbohong di saat mendukung Ahok, dan  pengamat demikian itu pula kini mengomentari Titiek Soeharto.  Saya menjadi teringat ketika pernah di sebuah stasiun televisi bertutur bahwa petani di gunung-gunung, nelayan di pantai-pantai berkecerdasan hati. Agaknya penuturan kata bak judul tulisan ini adalah ungkapan ketulusan hati.
Sabtu siang  sebelum ke Jogja, Titiek  di Jl. Cendana 8, Jakarta  Pusat, di kediaman almarhum ayahnya, Pak Harto, mengadakan pertemuan  dengan sesepuh Golkar. Hadir mulai dari mantan Wapres Try Sutrisno, Oetojo Oesman, Cosmas Batubara, Soebiakto Tjakrawardaja, Emil Salim, hingga Akbar Tanjung. Di pertemuan itu Titiek menyempaikan keinginannya maju menjadi calon ketua umum partai Golkar. "Saya mengajak segenap jajaran partai mengembalikan kejayaan Golkar. Golkar mesti kembali ke akar," tuturnya.
"Kembali ke akar itu antara lain  mengacu kepada demokrasi Pancasila mengutamakan musyawarah dan mufakat sebelum pilihan voting," katanya pula, "Politik tidak boleh terjerumus kepada transaksi berakibat buruk bagi bangsa."
Saya simak di online, ada berita miring dari Andi Sinulingga, Wasekjen,  di antaranya. Titiek ditudingnya  membawa Partai Golkar  kembali ke dinasti.Â