Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kidung La Nyalla Menyalakan Jatim

5 Desember 2017   12:20 Diperbarui: 6 Desember 2017   10:09 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jalan mengecil berkerikil. Sebuah  bangunan seukuran lapangan basket berpagar pelangi. Ada ayunan di halaman, seluncuran, sebuah PAUD rupanya. Seluas mata memandang selebihnya rumah permanen dan semi permanen berukuran kecil, padat.

Tujuan kami kediaman keluarga Chomsah. Boleh dibilang "nyanyian" kehidupan  kedua hari itu. 

Chomsah, empat bulan silam didatangi serombongan polisi. Dalam keadaan suaminya terkapar kena hernia, anak-anak bekerja serabutan, di periuknya secangkir beras baru saja ditanak bubur. Periuk di tungku kayu  itu baru saja mengering. Mereka makan bubur berlauk garam bersama keluarga. Tanpa banyak kata, Chomsah diciduk. Ia mendekam 3 bulan di tahanan. 

Chomsah terjerat rentenir. Ia meminjam uang Rp 1 juta untuk mengobati penyakit suami. Uang pinjaman itu akhirnya hanya dibelikan obat warung, sisanya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pinjaman harus dilunasi dalam sepuluh bulan Rp 1,5 juta.  Hingga tenggat lewat pinjaman  tak kunjung terbayar. Debitur melaporkan Chomsah ke polisi. 

Kisah kejelataan itu sampai ke relawan Pemuda Pancasila (PP).  Mereka berkordinasi dengan La Nyalla. Rumah berdinding gedek, bambunya mulai jarang. Atapnya  penggalan terpal termasuk bekas spanduk pungutan dari sana-sini. Lantai tanahnya terkadang becek kena bocoran hujan. Di rumah setengah ukuran lapangan basket itulah tujuh orang mendiami.

Setelah hampir dua jam kami akhirnya sampai di kediaman Chomsah. Kami memasuki rumah gedeknya. Kini tampak dihuni oleh anak-anaknya.  Sang suami sudah  pulih dibantu pengobatan relawan Nyalla.  Sebuah mesin penggiling air tebu, sudah bisa menjadi  ladang berusaha bagi  kelurga Chomsah, namun tempat jamban, masih berupa kotak semeter berdinding plastik tanpa kloset. Di dalam alam berkemajuan saat ini lingkungan pemukiman jauh dari sanitasi sehat itu nyata adanya.

Sepelemparan batu dari lokasi  rumah seukuran sama, kini sudah berdiri baru permanen. Warga desa memberikan pinjaman tanah. Relawan membangunnya. Ketika La Nyalla duduk bersila menyimak  rencana toilet dan kamar tidur, ia menyarankan segera  dituntaskan. 

Saya simak air mata Chomsah mengalir. Nyalla berpolo shirt hijau bersandal jepit biru. Di petang  mulai merembang itu, Nyalla  membelai putera Chomsah dalam gendongan. Suami, anak dan kerabat  Chomsah mulutnya seakan terkunci. Mereka membatin takzim mengucapkan terima kasih haru.

Agar suasana tak kaku, saya lihat  La Nyalla mengambil dua bola kaki dari mobil.  Bola masih kempes itu dimintanya diisi angin. Maka beberapa kanak sedang di bawah pohon pisang berlarian mencari pompa  angin. Tak lama bola gepeng itu bundar. mantan Ketua PSSI ini spontan menyapa, bermain bola membentuk lingkaran bersama kanak-kanak. Beberapa warga datang berkerumun. Tak ada liputan,   nir pencitraan.

Saya mengenal nama Nyalla ketika mulai menjadi anggota HIPMI DKI Jakarta 1991, begitu pun ketika di Kadin Indonesia menjadi pengurus. Akan tetapi kami tak pernah duduk dalam pembicaraan intens. Paling  berselisih di kantor Kadin, sekadar bertegur sapa, "Eh Bang..." itu saja. Sepak terjang Nyalla saya simak dari jauh. Ada saja  opini miring terhadap dirinya, mulai sebutan preman hingga mafia. 

Ia cuek. Ia tak pernah membantah. Baru 6 bulan lalu saya ke Surabaya. Itulah momen pertama bertemu bertatap muka bercerita.   Nyalla bertutur logis. "Bila Mas Iwan di sebuah daerah memelihara bebek, lalu beranak pinak, kemudian orang menyapa Iwan Bebek, apakah salah?" katanya pula,"Saya banyak memotivasi sosok dianggap preman menjadi wirausaha." Itu penggalan cerita bersamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun