Maka pagi jelang siang tadi, saya katakan kepada  kawan itu, mungkin sudah saatnya Golkar kembali ke akar. Beringin sebagai logonya, pohon kekar, dedaunannya menyejukkan, simbol mensejahterakan. Kepemimpinan Golkar  mengedepankan demokrasi Pancasila dalam balutan musyawarah mufakat sejak reformasi telah beralih total football ke dalam kancah turbulensi politik oligarki fulus-mulus. Sampai ke kalimat  ini biasanya kawan saya itu menertawakan saya, "Bukankah dulu di HIPMI, Kadin, politik uang terindikasi dalam pemilihan ketuanya?"
"Saya kan sudah lama bilang kalau HIPMI, KADIN, oknumnya mewarnai Partai Golkar."
"Budaya bayar-bayar  suara sulit dihindari dalam memilih ketua," katanya.
Saya hanya  menjawab ya, ya.
Begitu saya diam, ia meminta saya mulailah bersuara.
Apa hak saya bersuara?
"Sebagai warga!"
Ada gunanya?
"Paling tidak Mas Iwan menulis dibaca satu dua orang."
Maka lahirlah tulisan ini dengan judul di atas. Â
Bagi saya singkat saja, setelah didera hantaman kasus korupsi para anggota, pengurusnya, terlebih terbaru soal Setya Novanto, Ketua DPR, Ketua Umum Gokar, kini sudah tersangka, tiada lain ini cambuk godam. Pukulan telak ini harusnya menyadarkan segenap anggota, pengurus untuk kembali kembali ke kitah. Kembali melihat keluhuran kepemimpinan Gokar era silam, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Soerharto. Mau diakui atau tidak peradaban terasa lebih dibangun di eranya. Sampai di kalimat ini kawan di seberang itu nyeletuk.