Dari data Presstalk, jaringan citizen journalist, saya mendapatkan lebih 23 juta pemilih pemula tahun ini, emoh nama-nama calon presiden lu lagi lu lagi (4L). Karena itulah, melihat sepak terjang Risma, Ridwan Kamil, Jokowi, mewakili selera kawula muda, menjadi mashab berkeinginan kuat beralih generasi kepemimpinan.
Selain tiga nama di atas, Kompas pernah menulis ihwal Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, yang “menyulap” daerahnya miskin kini bergairah. Di literatur dan bertanya ke kiri kanan saya juga menemukan nama Bupati Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Maddin Sihombing, telah lama bekerja bak Jokowi.
Maka demam Jokowi saat ini, menurut saya, memang harus dibarengi dengan menjejerkan “kloning” Jokowi ke publik sebanyaknya. Istilah kloning itu tentu bukan untuk mengartikan harus sama seperti Jokowi, mengingat setiap insan memiliki kelebihan dan kekurangan berbeda. Risma, Walikota Surbaya, misalnya., pagi ini ikut mengatur lalu lintas. Saya tak paham apakah Jokowi dulu di Solo pernah melakukan.
Begitupun Ridwan Kamil, kepada saya melalui direct massage di Twitter, mengatakan ia setiap hari naik sepeda ke kantor. Sosok saya kenal figurnya dari membaca saja karya-karya desain high rise-nya di tingkat internasional itu, saya dukung secara total football ketika mencalonkan Walikota Bandung, di antaranya melalui live chatting. Hingga hari ini, bersalamanpun saya belum pernah.
Hingga penghujung tulisan ini, saya masih menunggu waktu hendak berjumpa Jokowi. Jadwalnya padat sekali. Kawan-kawan di PDIP, sebagaimana ditulis Tempo, mengeluhkan komunikasi Jokowi yang sulit dengan mereka di partai. Dari yang saya amati, karena focus bekerja, sosok Jokowi enggan diganggu. Ia konsen kerja. Termasuk, agaknya, enggan diganggu wartawan yang pagi ini saya simak kecele menunggunya. Termasuk pula agaknya juga enggan diganggu saya. He.
Karena bekerja dan bekerja untuk publik itulah agaknya, keberpihakannya nyata, merasakan denyut warga, dan kita semua lalu demam Jokowi. Demam bukan penyakit itu lalu akut, membuat semua orang ingin berbuat, ingin dekat, ingin memberikan “sesuatu” bagi Jokowi. Akan halnya di tulis-menulis, menuliskan Jokowi itu, mengandung resiko, bagi pihak lawan dianggap dibayar. Padahal, fakta sebaliknya, gumun kesukarelaan mengusung Jokowi itu, hanyalah: Demam beralihnya generasi kepemimpinan, agar Indonesia segar