KALI ini saya menulis, berlatar: banyak kalimat di media sosial mengajak Golput, singkatan golongan putih, alias tidak mencoblos pada Pemilu tahun ini. Bagi saya, tak ada jaminan kertas suara Anda Golput tidak dicoblos itu, lantas aman, dan blank.
Bila ditelisik, demokrasi kita jalani kini, kalimat paling pas dilontarkan Nasrullah, salah satu Komisioner Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Ia katakan demokrasi kita demokrasi prosedural.
Ya, demokrasi prosedur.
Dalam demokrasi demikian, jika prosedurnya sudah benar, prosedurnya telah dipenuhi maka: sah!
Dalam perjalanan ke berbagai kota, sebagaimana sudah saya tuliskan di banyak tulisan di kompasiana.com/iwanpiliang , kecurangan Pemilu itu memang di tingkat pelaksana. Dari lapangan saya mendapatkan istilah ada fenomena sukses internal KPU/KPUD, dan juga sukses eksternal. Sukses eksternal, sukses mulia sebagaimana diteorikan ke publik. Sukses internal sesuai order siapa akan dimenangkan, sosok mana akan diperbanyak suaranya.
Karenanya kepada seorang kawan anak pahlawan, kini men-Caleg, saya menyarakankan agar ia menemui sosok pengembil kebijakan di KPU/KPUD. Saran saya kepadanya, mungkin norak bagi Anda. Tapi benar saya sampaikan, begini; Bicara blak-blakan saja ke mereka bahwa Anda ingin jadi wakil rakyat dan ingin bekerja sesuai dengan marwah Ayahanda, sebagai pahlawan, tolong bantuan untuk bantuan menjadi Caleg jadi, karena sejatinya bekerja, mensosialisaikan diri, tak mau gagal.
Saran saya itu diikuti oleh kawan keluarga pahlawan itu. Selanjutnya Anda tak perlu saya rincilah, namanya juga prosedur, dan prosedur itu tak perlu lagi kita bahas toh ujung-ujungnya fulus mulus.
Di tengah lembaga negara, mulai paling atas hingga paling bawah kini terindikasi tajam korup, kolusi membuncah uyah, anggota DPR dipertanyakan produktifitasnya dalam mebuat Undang-Undang pro rakyat. Jika saja ada Undang-Undang pembuktian terbalik, maka bisa digiring mereka semua ke penjara, karena meningkatnya kekayaan sejak menjadi anggota dewan tambun-menambun. Kini mereka ngelunjaknya alang-kepalang: meminta uang pensiun.
Satu lagi tak masuk akal dalam Pemilu kini, angka Daftar pemilih Tetap (DPT) hantu, alias ada namanya tapi tak ada orangnya, tinggi. Contoh singnifikan untuk Papua, jaringan Prtesstalk mentengarai ada 1,2 juta DPT hantu. Dan secara nasional kehantuan itu jumlahnya mencapai 27 juta.
Biaya Pemilu di negeri ini juga terbilang termahal di dunia, menurut Presstalk. Bahkan untuk pengamanan saja polisi Rp 3, 6 triliun masih meresa kurang sekitar Rp 700 miliar lagi.
Karenanya di tengah derasnya ajakan Golput, saya sebagai pribadi, mengajak Anda Pembaca, untuk tidak melakukannya. Lantas apa terbaik diperbuat?