Mohon tunggu...
Iwan Nurdin
Iwan Nurdin Mohon Tunggu... -

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)-Jakarta. www.adisuara.blogspot.com www.kpa.or.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerewetnya Penjaga Pintu Tol

1 November 2010   05:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:56 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi memang membuat semua menjadi cerewet. Semua bebas bicara mengeluarkan uneg-unegnya tanpa perlu dihipnotis oleh si Uya-Kuya. Disinilah letak kelebihan dan sekaligus kekurangan demokrasi. Dalam hal ini, benarlah ungkapan filsuf bahwa Demokrasi bukanlah sistem terbaik, ia lebih memilih sistem yang lain yakni pemerintahan yang diisi oleh orang-orang cerdas dan bermoral. Kalau dipikir-pikir, ini mirip dengan pemikiran bahwa para ulama/pemimpin gereja dan orang-orang taqwa yang memimpin secara kolektif lebih tepat dalam memimpin masyarakat ketimbang sistem demokrasi. Namun, meskipun demikian, demokrasi tetaplah dipercaya sebagai sebuah sistem dengan tingkat keburukan paling sedikit dibanding dengan sistem lainnya apalagi sistem totaliter dan otoriter. Ia adalah proses untuk mencapai sebuah kesejahteraan umum. Karena sebuah proses, ada banyak macam-macam demokrasi, dan sudah kita ketahui bahwa Indonesia saat ini memilih Demokrasi Liberal a La Amerika Serikat.  Soal efektif tidaknya dia dalam mencapai kesejahteraan, tentu kita bisa menilai dalam duabelas tahun terakhir kita membangun. Tentu bukan soal ekonomi semata ya: misalnya soal penegakan hukum, soal mempertinggi kebudayaan nasional, kebahagian sosial etc. Istilah lamanya adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya... Dalam duabelas tahun terakhir, semua problem sudah diungkap dan diperjelas dengan varian pemikiran yang sungguh beragam. Langkah-langkah pembenahan juga sudah dibuatkan rencana tindakan Sayangnya tindakan perbaikan masih terlalu sedikit. Balik kemasalah judul tulisan saya hari ini. Saya mulai heran dengan pintu tol yang mulai memakai mesin-mesin. Jadi kita tinggal pencet maka keluarlah tiket tol. sistem elektronik mulai dikenalkan. Saya membayangkan bahwa BUMN kita seharusnya memelopori memakai tenaga kerja cacat untuk pekerjaan semacam ini. Bukan menguranginya dengan mesin. Bukankah penjaga tol tak perlu cantik dan ganteng seperti yang diminta oleh perusahaan marketing kosemetik. Yang dibutuhkan adalah tenaga sigap dan cepat dalam memberi pelayanan tiket dan pembayaran tol. Bicara soal penjaga tol, saya juga teringat dengan penjaga parkir di mall-mall Jakarta. Tidakkah mereka memasang paru-parunya dalam sistem udara yang penuh dengan polusi. Bayangkan, tempat parkir bawah tanah kita begitu buruk sirkulasi udaranya. Sebaiknya pemerintah daerah jeli melihat calon korban penyakit berbahaya dalam sistem parkir kita. Apalagi mereka tanpa asuransi kesehatan yang memadai. Kita tahu bahwa Pemerintah Daerah DKI mendapatkan untung besar dari retribusi parkiran bahkan kalau mau diioptimalkan bisa naik berkali lipat.  Alangkah baiknya perusahaan parkir lebih manusiawi dalam mempekerjakan buruhnya. He he he, demokrasi yang cerewet. Salam.. **foto diambil dari detikfoto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun