Sejak pandemi COVID-19, aktivitas keluar rumah berhenti total.  Ini berjalan hampir empat bulan.  Aktivitas pekerjaan harus dikerjakan dari rumah.  Gurauan dengan teman-teman kerja muncul, misalnya.. kita langsung berwajah tua saat ketemu; pokoknya ndekem (diam) di rumah; anggrem (istilah untuk induk ayam mengeram telor); dan banyak lainnya.
Biasanya di pagi hari sampai siang, saya manfaatkan waktu untuk memeriksa tugas-tugas mahasiswa di google classroom, tugas menulis, review atau edit naskah atau lainnya. Â Namun, selama pandemi ini, pikiran atau perhatian tidak bisa beranjak dari lalu lalang orang di depan rumah. Â Di antara mereka adalah tukang sayur.
Tukang sayur itulah yang akhirnya menjadi orang di luar rumah seolah menjadi dekat, sekaligus penyelamat. Â Merekalah yang selalu mengunjungi warga dan memenuhi kebutuhan hidup warga di perumahan kami. Â Mereka tidak lelah bekerja, demi melayani warga; di tengah resiko penyebaran COVID-19.
Saya pernah bertanya kepada mereka, apa tidak takut dengan resiko tertular?  Mereka menjawab bahwa mereka harus tetap bekerja untuk menghidupi keluarga.  Alhamdulillah mereka juga mematuhi untuk menjaga jarak dengan pembeli, menggunakan masker, dan menjaga kebersihan.  Di perumahan kami, di sediakan cuci tangan di pos masuk.
 Saat berlaku PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), wilayah kami juga menjalankan penutupan lingkungan.  Yang kami ikut prihatin adalah nasib mereka.  Apakah mereka tidak boleh masuk ke wilayah kami?  Saya bersyukur, pak RT dan para tokoh masyarakat nampaknya masih memberi kesempatan para tukang sayur ini untuk berjualan.Â
Keluarga kami berlangganan pada tiga tukang sayur, yang punya 'jadwal keliling' berbeda, yakni sekitar jam 7.00, 8.00 dan 9.00. Â Kebetulan mereka juga punya dagangan yang berbeda dan saling melengkapi. Â Disitulah saya sambil bekerja, saya mulai mendengar, mengenali lebih detil bagaimana mereka bekerja. Â Pekerjaan para tukang sayur itu, bisa menjadi tempat belajar dan inspirasi, paling tidak untuk diri saya pribadi. Â Apa saja yang menarik?
Melayani dan sopan
Bapak atau ibu tukang sayur datang dengan membawa motor berisi penuh barang dagangan. Â Mereka selalu parkir di depan rumah, kemudian menyapa atau memanggil dengan sopan dan lembut. Â Mbak Turi, yang datang jam pertama, menyapa dengan memanggil nama warga, misalnya 'Bu Joni'. Â Lain lagi pak Khamim, yang datang di jam kedua, menyapa dengan suara bergema "Saaayyuuuur". Â Yang terakhir, pak Duro menyapa " Yur Sayuuuur"
Menyapa adalah tanda perhatian, bahkan itu bisa bermakna doa. Suatu organisasi, atau tempat kerja, dengan orang-orang saling menyapa pasti memberi suasana yang lebih menyenangkan, penuh perhatian, saling mendekatkan. Â Orang-orang yang saling menyapa, menunjukkan kelembutan, senantiasa perhatian dengan orang lain. Â Organisasi yang maju banyak menerapkan kata sapaan, baik itu ucapan "salam", "selamat pagi", "bagaimana kabar", 'hari ini ada kabar apa", "sehat ya", dan lain-lain. Â Kata sapaan muncul ketika dua atau lebih orang bertemu di berbagai tempat kerja atau saat keperluan lainnya.
Filosofi menyapa adalah kelembutan. Â Filosofi ini harus dipegang oleh semua orang. Â Apalagi bagi seorang pemimpin, ia harus senantiasa lembut, sopan dan menghargai kepada bawahan atau anggotanya. Â Terlebih bagi seorang bawahan juga wajib hormat dan patuh kepada atasan. Â Organisasi yang penuh kelembutan akan penuh dengan keberkahan.
Tekun dan sabar
Tukang sayur telah bekerja lebih dari sepuluh tahun. Â Pengalaman itu telah mengakar demikian kuat. Â Seorang pedagang yang mampu bertahan, adalah karena buah ketekunan dan kesabaran. Â Saya yakin mereka biasa menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan dari pelanggan atau pembeli.
Seorang dosen harus senantiasa sabar menghadapi mahasiswa, mengajari, membimbing termasuk menyemangati agar mahasiswa lulus. Â Dosen harus telaten dan tekun menulis, agar kariernya naik. Â Dosen harus mau mengupgrade keilmuannya agar tidak mandeg. Â Ia perlu kuasai ilmu baru, bidang ilmu lintas disiplin, menguasi metode baru; dan menulis karya ilmiah yang bermutu. Â Butuh energi dan bukti pencapaian yang terus meningkat, agar seseorang bisa menjadi guru besar.
Seorang leader juga harus belajar banyak tentang pengetahuan baru, menguasai konsep dan kelembagaan, ilmu manajemen dan kepemimpinan; sambil terus mengasah human relation (asah, asih dan asuh).  Itu semua harus dilakukan sepanjang waktu, agar ia menjadi arif dan bijaksana.  Ini butuh ketekunan dan kesabaran.
Harga wajar, tidak aji mumpung
Nah .... ini kelebihan mereka. Â Saya salut dengan bapak ibu tukang sayur. Â Harga dagangan sayur tidaklah mahal. Â Harga sayur di tempat kami sangatlah murah, sayur seharga 1500 atau 2000 rupiah sudah cukup banyak, misalnya kacang panjang, buncis, wortel, atau taoge. Â Meski kondisi pandemi, mereka tidak menggunakan kesempatan untuk ambil untung sebanyak-banyaknya. Â Padahal itu bisa saja dilakukan.
Implikasi aji mumpung sangat banyak ditemui di kehidupan organisasi. Â Aji mumpung biasanya dijalankan oleh orang yang punya kekuasaan. Â Dosen bisa menggunakan posisinya untuk menekan mahasiswa, untuk menguntungkan diri dosen tanpa peduli nasib mahasiswa.Â
Aji mumpung membuat organisasi tidak sehat karena pemimpin menggunakan kekuasaan untuk menyalahgunakan jabatan.  Manajemen senantiasa berkaitan dengan mengelola man, method and money.  Mumpung jadi pemimpin,  seseorang secara sengaja (menyalah gunakan wewenang) untuk menempatkan 'man' tidak sesuai kompetensinya, melanggar prosedur (method) atau membuat aturan yang tidak kredibel, dan bersikap layaknya broker yang transaksional (money).
Organisasi yang maju menata dirinya dengan dengan tertib, dan tidak memberi peluang terjadinya pelanggaran, aji mumpung atau moral hazard lain.  Seorang pemimpin yang baik meletakkan dirinya dalam kepentingan organisasi, dan menenggelamkan kepentingan pribadinya.  Leadership digunakan untuk mengawal berjalannya organisasi, dan mencapai tujuan organisasi.
Dau, Malang