A good teacher can inspire hope, ignite the imagination, and instill a love of learning  -Brad Henry
Seorang anak belajar banyak dari dari ayah ibunya di rumah. Â Adik minta diajari bersepeda dari kakaknya. Â Paman mengenalkan ketrampilan beternak kepada keponakannya. Â Bibi mengajari bertanam dan berkebun kepada keponakannya. Â Anak dan keponakan saling belajar mengaji kepada kakeknya.
Itu semua adalah contoh saling belajar di dalam keluarga. Â Seseorang dapat memberi pengetahuan, menginspirasi, dan mengajarkan ilmu atau ketrampilan kepada lainnya. Â Semua sedang mengalami proses pembelajaran, saling mengajari dan belajar. Â Dalam keluarga tersebut lahir sosok guru, yang dianggap tahu, menginspirasi dan dihormati.
Sosok guru juga ada di kehidupan lain, khususnya di sekolah, pesantren atau kampus. Â Siapa saja yang menjadi pendidik atau pengajar adalah guru. Â Mereka memang menjalankan fungsi secara formal sebagai guru, meski sebutan namanya bisa dosen, ustadz, tutor, pembimbing, pengasuh atau pendamping.
Masih ada lagi guru di tempat lain, yang  memberi peran mendidik atau menginspirasi di dalam kehidupan masyarakat, di kantor atau lingkungan lainnya.  Sosok guru itu mampu menjadi teladan dan menginspirasi karena punya kelebihan dalam pengalaman, kearifan, kelembutan, inisiatif, kedermawanan, kerendahan hati, ketrampilan, atau kebaikan lainnya.  Sosok itu bisa melekat pada profil seorang ketua RT, tetangga, pak Lurah, atasan, bawahan, pedagang, office boy, loper koran, atau petugas kebersihan.
Para sosok guru itu mampu menginspirasi, memberi kesan yang positif dan produktif, disertai keikhlasan dan kerendahan hati. Â Misal seorang petugas pengangkut sampah yang bekerja disiplin, tepat waktu, cermat, rapi, dan bersih. Â Ia dapat menjadi guru bagi siapa saja perihal tanggungjawab menyelesaikan tugas dengan baik, dan memberi kenyamanan dan manfaat bagi banyak orang.
Saya sendiri sering menemukan sosok atau pribadi yang pantas menjadi guru, meski ia orang-orang biasa saja. Â Saya tidak segan untuk mendekati orang-orang seperti ini untuk memperoleh nilai-nilai kehidupan. Â Saya bisa berlama-lama dengan mereka untuk sekedar mengamati bagaimana bekerja, mendengar pendapatnya, bahkan saya bisa memperoleh tip ketrampilan yang dikuasainya (lihat 1, 2, 3, 4).
Sebaliknya saya juga menemukan seseorang guru, yang berprofesi formal sebagai guru, tetapi tidak menginspirasi bagi orang lain.  Guru yang tidak sungguh-sungguh mendidik, tidak sabar, pemarah, atau  tidak menjalankan tugas sepenuh hati.  Guru lebih mementingkan dirinya sendiri, ingin dilayani muridnya, mengeksploitasi muridnya, tidak memberi teladan yang positif bagi muridnya.  Mahasiswa atau siswanya lebih banyak dikecewakan oleh ulah guru.  Guru-guru seperti ini tidak akan mendapat tempat di hati murid-muridnya.
Kompetensi guru berupa ilmu, pengetahuan, penguasaan teknologi, ketrampilan dan seni adalah modal untuk pencerahan kepada peserta didik, atau masyarakat. Â Dengan kelembutan, kerendahaan hati dan pengendalian diri yang kuat, guru dapat share dan care perihal yang positif dan produktif untuk kemaslahatan umat.