Menjalankan tugas mengajar mata kuliah ekowisata, menuntut kreasi metode pembelajaran agar mampu diserap oleh mahasiswa. Seperti biasanya, saya coba ajak mereka pergi ke lapangan, untuk praktek, mencari pengalaman sekaligus refreshing.
Hal seperti ini biasanya disambut semangat oleh mahasiswa. Beberapa tulisan sebelumnya di kompasiana juga dari pengalaman lapangan tersebut.
Pada hari yang ditentukan (2 Oktober 2018) akhirnya kami pun berangkat ke Tumpak Sewu, dengan lima orang mahasiswa magister (S2) PSLP UB ditambah dua orang tim kecil operator drone. Lokasi air terjun Tumpak Sewu masuk wilayah kabupaten Lumajang, dekat perbatasan kabupaten Malang.
Dari Malang saya melalui rute Malang-Turen-Dampit-Ampel Gading, memakan waktu sekitar 2.5-3 jam berjarak sekitar 70 km. Tumpak Sewu masuk desa Besukcukit Sidomulyo, kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang; pada koordinat 8.228, 112.920.Saat tiba di lokasi, saya lihat sudah ada pengelolaan wisata, mulai petunjuk yang jelas, jalanan yang memadai, warung makan, parkir, hingga layanan mushola. Karena saya datang pas hari kerja, suasananya memang sepi. Di sini kami membayar tiket masuk sepuluh ribu rupiah per-orang.
Tempat ini seluas kira-kira 30 meter persegi dengan bangunan permanen bertingkat sejenis gardu pandang. Daya tampung paorama sekitar 50 orang. Kalau hari libur, pasti kerumunan terjadi disini, dan bisa membayakan keselamatan.
Sementara Tumpak berarti menumpang, atau diartikan seribu air terjun yang menumpang pada dinding bukit. Saya mencoba menghitung, diameter atau jarak antar bukit sekitar 100 m, dengan ketinggian air terjun hingga lembah sekitar 50 hingga 70 meter.Â
Air jernih ini adalah sumber mata air dari ekologi setempat yang masih terpelihara, terlihat dari lebatnya hijau vegetasi di dinding bukit.
Kabarnya bentuk air terjun seperti ini satu-satunya di dunia, dan menjadi tujuan wisata baru bagi wisatawan minat khusus. Disebut khusus karena hanya yang punya nyali mau hadir disini.
Keelokan Tumpak Sewu mulai dikenal bahkan saya juga menemukan wisatawan asing datang ke sini.Â
Saya sempat mendapat info, jarak hingga ke air terjun bawah sekitar 800 m, dengan jalanan tanah diperkuat konstruksi dan tangga bambu. Hal ini biasa saja bagi peminat wisata khusus petualangan.
Dimana-mana turun ke air terjun jalanan selalu ekstrim, turun naik, sehingga perlu kehati-hatian dan kewaspadaan (berdasarkan pengalaman ke Coban Talun, Coban Tengah, atau Selolapis).
Pengelola sudah memberi pengaman pada jalur ini dengan pegangan besi atau tali. Di beberapa tempat, kami berjalan menurun sambil mundur sambil berpegangan tali.Â
Kami berjalan pelan, saling menyemangati, menunggu dan membantu. Setiap telapak kaki melangkah, harus memastikan bahwa bambu lumayan kuat untuk menaham beban tubuh. Di beberapa tempat, bambu itu juga terlihat rapuh dan patah oleh jejak kaki.Saat menuruni bukit itu, saya lihat pemandangan yang indah di atas lembah sungai. Fisiografi berbukit di Malang Selatan menawarkan edukasi geologi.
Hal ini sebenarnya potensi wisata edukasi yang dapat diserap wisatawan. Saya juga melihat jalur lain di seberang bukit. Jalur itu juga nanpak lebih ekstrim karena kelerengan lebih curam.
Di suatu tempat, kami sempat berhenti di pondok sederhana. Ini kelihatannya seperti warung, yang juga menjadi tempat istirahat wisatawan.
Lokasi ini berdekatan dengan air terjun kecil dengan sebuah goa, namanya goa Bidadari. Di sini kabarnya tempat untuk menyepi oleh orang-orang yang memiliki kepercayaan tertentu.Â
Aliran sungai selebar 3 meter membelah jalanan menunju dasar air terjun, dengan jembatan besi yang konstruksinya unik dan apa adanya.
Yang manarik di lembah ini, pemandangan semacam koridor atau lorong sempit dibatasi bukit tinggi yang cocok untuk background foto. Yang mau foto-foto prewed bisa coba kesini he..he. Di tempat ini, suara dan canda kami seolah menggema dan memantul oleh dinding bukit yang tinggi.
Begitu tersadar, badan saya tidak berhenti berputar menyaksikan puncak bukit yang melingkar dengan hempasan kuat air terjun dan embun mengena pipi. Alam begitu indah, takjub dan agung.
Di dasar air terjun, kondisinya tidak rata, ada batu besar atau bukit kecil. Saat itu jumlah pengunjung sekitar 25 orang, termasuk beberapa wajah bule.
Ada juga yang bermain di dekat aliran sungai, sambil melepas penat selama perjalanan Agar tidak terhempas tekanan embun, kami sembuyi dibalik batu atau dinting bukit, agar nyaman memainkan kamera.Â
Saya teramat sulit mengungkapkan keindahan dan eksotiknya Tumpak Sewu ini. Rasanya utaian kata-kata tidak mampu mewakili apa yang terjadi disini. Sebaiknya pembaca hadir di tempat ini untuk membuktikannya.
Catatan perjalanan ke Tumpak Sewu, Oktober 2018
Malang, 13 November 2018
Buku yang sudah diterbitkan:
- Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
- Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Cetakan 1 tahun 2004. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2Â
- Iwan Nugroho. 2013. Budaya Akademik Dosen Profesional. Era Adicitra Intermedia, Solo. 169p. ISBN 978-979-8340-26-0
- Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1Â
- Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386
- Iwan Nugroho. 2018. Menulis, Membangun kekuatan dan motivasi kehidupan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 155p. ISBN 9786022299271
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H