Prinsipnya kontribusi warga dalam wujud apa pun perlu dikelola dengan baik, dan dikembalikan dalam bentuk manfaat sosial. Ini dapat menjadi amal kebaikan. Hal ini positif seperti kehidupan bertetangga zaman dahulu. Yang negatif adalah orang cenderung berhitung-hitung dan tidak mau berkontribusi untuk kemanfaatan sosial, takut rugi atau alasan tidak ada dalilnya... duhh. Bahkan ada yang sama sekali tidak mau tahu.
Mengangkat kembali nilai kehidupan bertetangga
Kehidupan bertetangga perlu dibangkitkan lagi. Nilai-nilai positif kehidupan bertetangga dapat diangkat lagi dan diimplementasikan. Beberapa menjadi perhatian berikut ini.
Wawasan kebangsaan. Bangsa Indonesia lahir dan dipersatukan oleh ikatan batin yang sama dan untuk mewujudkan cita-cita yang sama (pinjam konsep Ernest Renan). Ini telah dipikirkan para pendiri bangsa melalui ikhtiar lahir-batin, filosofis-empiris dan iman-akhlak. Wujud NKRI adalah final dalam kehidupan kebinekaan. Tujuan bangsa ini adalah mencapai kesejahteraan semua warga bangsa. Sejarah berdirinya republik ini perlu diceritakan kembali dengan pemahaman yang utuh. Wawasan kebangsaan dapat diimplementasikan dalam kehidupan bertetangga, yang harmonis dan saling menghargai.
Peringatan hari besar kebangsaan, seperti 21 April, 1 Juni, 17 agustus, atau 10 November, dapat diperingati dengan warga dengan kegiatan renungan, lomba, permainan khususnya melibatkan anak-anak. Anak-anak harus tertanam rasa nasionalisme, tentang sejarah dan perjuangan hingga terbentuknya NKRI.
Gerakan peduli bertetangga. Sudah banyak gerakan peduli tetangga dikenalkan, misalnya belanja ke warung tetangga, atau gerakan peduli tetangga (GePeTe) oleh Gus Ipul. Ini semua positif. Kehidupan bertetangga pada dasarnya bersifat lokal, karena itu insiatif lokal lebih penting melalui upaya swadaya di tingkat desa ke bawah. Kepala desa, kepala dusun, RW dan RT dapat merumuskan sesuai kemampuan wilayahnya. Ini bermakna kepemimpinan lokal diperlukan untuk menggerakkan dan mengimplementasikannya.Â
Sejauh ini misalnya kegiatan-kegiatan kerja bakti, rukun kematian, santunan sosial, kelompok tani, kelompok usaha ekonomi, kegiatan keagamaan, arisan, atau kegiatan seni tertentu dapat menjadi media menguatkan kehidupan bertetangga. Ini dapat dipertahankan. Bahkan gerakan sosial berbasis kegiatan agama, misalnya santunan Idul Fitri atau pembagian kurban, terbukti menunjukkan kontribusi yang nyata dan besar, sehingga dapat dibagikan ke tetangga yang jauh.
Fasilitas umum. Keberadaan fasilitas umum, misalnya taman, ruang terbuka, gedung pertemuan, fasilitas musik, ruang bermain anak, masjid, lapangan olah raga di sekitar permukiman dapat menjadi tempat efektif untuk bersosialisasi dan berkomunikasi, serta bertetangga. Mengadakan fasilitas itu memerlukan upaya kebersamaan semua pihak.
Bagi perumahan perkotaan, warga dapat membangun fasilitas itu secara swadaya, tidak harus menggantungkan pemda. Ini juga dapat mencerminkan kepedulian, kebersamaan dan tanggung jawab sosial.
Mementingkan akhlak. Muara kehidupan adalah akhlak. Seseorang berakhlak baik karena hubungan dengan manusia, dengan alam dan Allah sama-sama baiknya dan proporsional. Ini perlu dikedepankan dalam kehidupan bertetangga atau kehidupan di lingkungan lain. Orangtua berbicara sopan dan lembut. Anak-anak diajari berkehidupan agama secara utuh, mulai aqidah, syariat dan akhlak. Ini tecermin dalam menjalankan kebiasaan menghormat orangtua, menghargai dan menyapa orang lain, serta berkehidupan sosial. Boleh bersikap keras, tetapi lebih untuk diri sendiri. Tetapi ketika ke orang lain wajib bersikap lembut dan menghargai.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya. (HR Bukhari)