Beberapa waktu lalu (30 Juli 2016), saya diundang oleh seorang teman yang ngunduh mantu. Undangan ini menjadi khusus karena teman ini, lebih tepatnya sebagai sahabat, banyak membantu kegiatan kampus khususnya riset tentang ekowisata sejak sepuluh tahun lalu. Beliau adalah Pak Mul, seorang tokoh suku Tengger, juga pelaku ekowisata di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Sejak menerima undangan itu, dalam hati saya bertanya ini akan menggunakan adat apa. Teka-teki itu terjawab saat teman kampus, Dr. Purnawan, mengirim pesan WA: “Kalau mau tahu upacara Walanggara, diminta siap jam 10.00. Upacara Walanggara dipimpin Pak Dukun”. Kini jelas sudah, bagaimana gambaran tentang resepsi pernikahan ini nanti. Ini mengingatkan kembali tentang Upacara Karo yang juga saya ikut hadir, reportasenya di Kompasiana.
- Suasana resepsi pernikahan. Pernikahan kali ini seperti umumnya di desa di Jawa. Tuan rumah menyewa tenda dengan segala pernak-perniknya. Tenda berkesan menarik, bersih, dengan warna terang, bernuansa putih dan merah muda. Tenda dipasang di depan rumah, memanjang hingga ke rumah tetangga. Jalan ditutup untuk keperluan pernikahan ini. Para tetangga dan kerabat sibuk membantu perhelatan.
- Layanan kepada tamu undangan. Tamu disambut oleh tuan rumah, dan kemudian diminta menunggu sambil menikmati hidangan di meja. Saat itu, tidak nampak pelaminan (tempat duduk pengantin) pernikahan. Mungkin karena ini adalah ngunduh mantu, jadi tidak ada prosesi bersamalam dengan pengantin. Jam berkunjung undangan bisa seharian penuh meski upacara adatnya ditentukan waktunya. Pak Mul mengatakan bahwa ia mengundang semua warga Desa Ngadas, dan tamu lain sekitar 750 undangan. Namun, yang hadir biasanya dua kali lipat dari undangan karena hubungan sosial beliau memang sangat luas dengan penduduk desa lain, sesama petani, atau sesama pelaku ekowisata
- Hidangan kue, camilan ringan, dan minuman. Di meja tamu nampak jenis kue tradisional antara lain rengginang, kue opak merah, kue lumpur, dan kacang garing. Kue modern antara lain roti, kue bolu, dan stik coklat kemasan. Minum terdiri dari air mineral, soft drink, dan sari buah. Minuman ini banyak ditemui di toko atau supermarket.
- Makan. Tamu yang hadir, setelah beberapa waktu menunggu, kemudian disilakan makan di suatu tempat oleh kerabat tuan rumah. Rombongan tamu yang makan ini bergantian. Antri makan ini seperti umumnya di desa, karena alasan keterbatasan tempat. Menu makanan antara lain rawon, bakso, ayam goreng, dan sayur capjai.
- Busana dan atributnya. Kerabat tuan rumah umumnya berbaju khusus Tengger. Beberapa orang kerabat menggunakan baju batik, atau fleksibel. Baju kemudian dikombinasikan dengan kain sarung dengan motif khas Tengger. Kain sarung diikatkan di pundak melingkar leher khususnya ibu-ibu. Sedangkan tamu undangan menggunakan busana bebas, bisa batik atau lainnya.
Pengantin mengenakan busana warna hitam duduk berdampingan menghadap meja penuh makanan sesaji. Di belakangnya, duduk keluarga laki dan perempuan. Dukun Tomo duduk di depan pengantin, memimpin prosesi adat, menghadap meja sesaji. Dukun dan pembantunya menggunakan busana warna hitam, sarung hijau dan blangkon Tengger.
Meja sesaji itu berukuran sekitar 1 x 1.5 m, penuh dengan aneka makanan. Ada beberapa ekor ayam berukuran besar, sudah matang. Di belakangnya berjajar buah bisang, diselingi periuk nasi, beras, dan kue yang terbungkus. Sebenarnya masih ada meja lain yang berisi nasi putih, lauk, kue basah, minuman kopi dan kain. Kue basah beraneka warna itu antara lain onde-onde, kucur, kue kukus, tetel, pukis, dan sejenis lumpia. Lauk terdiri ayam goreng, daging dan telor rebus. Dukun sempat melakukan checking setiap meja ini, sebelum upacara dimulai.
Pasangan pengantin juga sejenak duduk di hadapan sesaji dengan memberi hormat. Kuas daun basah itu kemudian diberikan kepada pengantin perempuan, dan memerintahkan untuk mencipratkan ke sesaji. Pengantin perempuan juga diminta mengoles kuas basah itu ke saudara tua atau orang tua; sebagai simbol minta doa restu. Pengantin perempuan ditemani seorang nenek setengah berlari menemui famili di dalam dan di luar rumah untuk mengoleskan daun basah itu. Kami juga sempat diolesi kuas daun pisang itu pada tangan. Setelah itu prosesi berakhir dan selesai.
Catatan:
- Tulisan ini bermaksud menampilkan aspek budaya Tengger, salah satu dari ragam budaya bangsa Indonesia. Budaya ini menjadi daya tarik wisata daerah, untuk pengembangan ekowisata di daerah.
- Dukun adalah istilah lokal untuk menyebut kepala adat, bukan bermakna orang yang pandai menyembuhkan penyakit.