Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Sarapan Pecel dan Urap bu Minarti

15 Juli 2016   07:46 Diperbarui: 15 Juli 2016   08:08 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pecel dan urap (koleksi pribadi)

Saya mengambil tempat duduk mendekat di sebelah bapak tua. Bapak tua itu sepertinya membaca kegelisahan saya. “Mas, di sini tidak ada nasi putih.  Adanya nasi jagung”, kata bapak itu.  Saya mengiyakan sambil menahan perasaan terkejut. 

Duhh..saya tidak biasa makan nasi jagung, bercampur aduk perasaan hati ini.  Makan nasi saja berusaha mengurangi, apalagi ada jagung.. yang teksturnya lebih keras.  Saya dan bapak tua itu sedang sama-sama menunggu antrian sarapan pecel di suatu warung sederhana. 

Pikiran saya alihkan melihat ke suasana warung sederhana ini, yang lebih tepatnya sebagai warung rumahan.  Meja dan kursi ada di dalam ruang tamu, adalah khas mebeler desa.  Di atas meja berjajar toples (bukan topless) kaca berisi jajanan lebaran.  Memang ini masih suasana lebaran.

Pembeli di warung ini termasuk lumayan ramai.  Ada lima orang termasuk bapak tua, yang makan disana.  Tapi selalu saja ada pembeli yang membungkus dan dibawa pulang.  Terlihat ada enam sampai tujuh orang bergantian yang membeli pecel bungkus.  Warung ini kelihatannya banyak peminatnya, dari orang-orang di wilayah sekitarnya.  Mereka ada yang naik motor atau berjalan, termasuk bapak tua itu.   Hanya kami saja yang dari jauh.

Warung pecel bu Minarti (koleksi pribadi)
Warung pecel bu Minarti (koleksi pribadi)
Ibu penjual menghidangkan nasi pecel kepada bapak tua.  Saya sempat melirik piring itu.  Nampak  piring kecil itu tertutup oleh peyek (krupuk peyek kacang), sehingga tidak nampak nasinya. Penasaran saja, ingin mengetahui bagaimana bentuk dan rupa nasi jagungnya.  Kelihatannya kok porsinya cukup banyak. 

Buru-buru saya berdiri dan mendekat ke ibu penjual pecel.  Ibu sedang meracik nasi pecel untuk saya dan tiga teman lainnya.  Di beberapa panci itu, nampak ada sayur hijau, taoge, sayur lodeh, dan urap.  Di sebelahnya ada tempe dan nasi jagung.  Mata ini penasaran dengan nasi jagung.  Ohh.. jagungnya tidak seberapa banyak.  Warna merah jagung tidak seberapa dominan dibanding nasi.  Oke lah.

“Bu, saya nasinya separoh saja, ditambah urap dan lodeh”, respon saya spontan.  Perasaan hati ini sudah lega.   Rasanya lebai mikirin jagung..he..he.

Ibu pecel sudah menghidangkan nasi pecel urap di meja.  Saya amati piring itu.  Ini mungkin sudah SOP nya, peyek diletakkan menutup nasi pecel.  Kripik peyek kemudian saya tepikan.. wow.. terlihatlah isinya.. pas sesuai permintaan.  Pasti nikmat sarapan ini.  Difoto dulu ahh.  Tiba-tiba ingat lagu iwak peyek...trio macan (ngelanturrr euii)

Satu per satu  sendok nasi masuk ke mulut.  Nasi jagung itu sungguh lembut.. bahkan tidak terasa perbedaannya dengan nasih putih.  Pecelnya juga enak, sayur pas matangnya tidak terlalu keras atau lembek.  Bumbu pecelnya juga lembut.  Bagi penyuka rasa pedas, mungkin bumbu pecel terasa kurang nendang. Bumbu urapnya juga lembut, tidak terlalu pedas atau asin. 

Oh ya ...hampir terlupa.  Tempenya sangat enak dan lembut.  Inilah tempe khas Malang.  Tempe goreng ini saat dikunyah awal, memang terasa padat.  Tapi ketika dilanjut kunyahan kedua, ketiga dan berikutnya.. sangat empuk.  Kedele dalam tempe berwarna putih bersih.  Heran saja kok ada tempe yang begini.  

Satu suap, dua suap..dan seterusnya..  akhirnya mencapai suapan pecel terakhir.  Piring saya kini menjadi bersih.  Tiga teman lain juga sangat menikmati sarapan ini.  Minuman teh hangat menambah pas mantapnya. Seperti umumnya di desa, minuman teh disajikan dalam gelas berukuran sedang dan diberi tutup plastik.  Sajian teh dalam gelas bertutup ini jarang ditemui di kota.  Saya masih temui sajian teh seperti ini di keluarga-keluarga tertentu saja, yang disajikan untuk orang tua. 

Bapak tua itu sudah lebih dulu selesai makan.  Saya berbincang dan saling mengenalkan diri dengan beliau.  Beliau sangat mengenal kampus tempat saya bekerja.  Beliau ternyata seorang pensiunan guru SMA negeri di kota Malang.  Pantas saja orangnya sangat alim dan terdidik, nada berbicaranya santun.  Beliau sekarang tinggal di kota kecil ini, kecamatan Gondanglegi, kabupaten Malang.

Lokasi Warung Bu Minarti (koordinat -8.176816, 112.6335040, googlemap)
Lokasi Warung Bu Minarti (koordinat -8.176816, 112.6335040, googlemap)
Saatnya kami berpamitan dengan ibu penjual pecel.  Ibu bernama Minarti itu sudah lama berjualan pecel.   Lokasi warung ibu Minarti ini ada di Jl. Diponegoro, di Gondanglegi (koordinat -8.176816, 112.6335040).   “Panjenengan wartawan nggeh.. kok mulai kolo wau foto-foto kemawon”, komentar ibu Minarti.  Artinya: anda wartawan ya, dari tadi kok mengambil foto-foto terus.   Kami tertawa dan kemudian memperkenalkan diri.  Terasa sekali harmoni dan persahabatan dari warung sederhana ini.  Kami pun melanjutkan perjalanan.

Alhamdulillah.  Rasa syukur spontan keluar dari hati ini.  Sungguh nikmat sekali hidup ini.  Bisa sarapan sederhana, sarapan pecel yang sehat.  Bisa silaturahim dengan orang-orang baik.

Pikiran saya tiba-tiba menerawang.  Kapan ya saya pensiun seperti bapak tua itu.  Bisa nggak umur ini sampai kesana.  Sepertinya ada kepuasan menikmati masa pensiun seperti bapak tua itu.  Tinggal di kota kecil yang sejuk.  Menghabiskan waktu dengan bersilaturahim, tentu sambil menulis.  Menulis kompasiana he..he.

Malang, 15 Juni 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun