Momentum lebaran atau mudik, senantiasa membangkitkan kenangan masa kecil. Lingkungan rumah membuka memori tentang banyak hal. Saat masa kecil saya tinggal di kota Surabaya. Kami tinggal di pemukiman dekat makam Mbah Ratu Kalianak, dekat jalan Demak (kordinat googlemap -7.233324, 112.721920). Nama Mbah Ratu diambil dari suatu makam di dalam klenteng Mbah Ratu, di komplek yang sama. Â Jarak dari rumah ke makam hanya sekitar 40 meter. Â Makam itu luasnya kurang lebih tiga hingga empat hektar, dan merupakan makam tua di Surabaya.
Pada sekitar tahun tujuhpuluhan, lingkungan pemukiman dan kehidupannya masih sangat sederhana, ekonomi lemah, miskin atau sedikit ndeso, meskipun ada di kota. Saya masih sekolah SD. Â Karena itu, makam seolah menjadi ruang hidup sosial dan ekonomi bagi orang-orang sekelilingnya. Banyak orang mengandalkan makam untuk mempertahankan kehidupan, misalnya tunawisma, pengemis, pengangguran, tukang bunga, warung, tambal ban, atau tukang rumput. Fenomena ini masih terlihat di makam-makam di perkotaan hingga saat ini.
Kami sering menggoda angsa milik penjaga makam. Â Angsa putih berleher panjang itu, kalau marah mengejar kami sambil menjulurkan paruhnya. Â Pokoknya seru. Â Terkadang di makam juga ada bangau, karena lokasinya dekat rawa bozem Kalianak. Â Itu sebabnya juga banyak pemburu bangau dengan senapan angin datang ke makam ini. Â Yang paling banyak adalah burung gereja. Â Â
Makam Mbah Ratu Kalianak bagi saya saat itu, bukan suatu lingkungan yang menakutkan. Makam adalah tempat bermain. Saya dan teman-teman sebaya bermain apa saja, yang murah meriah. Kami bermain bola, karena saat itu ada sedikit lapangan kecil di tengahnya. Kami juga bermain layang-layang, pate lele, baksodor, atau kelereng, atau sekedar bercanda.Â
Bapak ibu mengijinkan saya bermain di makam sekitar mulai jam 3 sore hingga menjelang maghrib. Â Sementara teman-teman nampaknya bebas bermain seharian sesukanya. Â Di makam juga banyak pohon-pohon rindang, cocok untuk bermain atau melepas lelah, di tengah lingkungan Surabaya yang memang panas.Â
Yang menarik adalah saat main layang-layang. Kondisi udara terbuka, membuat angin yang kuat untuk menaikkan layang-layang di sekitar makam. Paling senang, saat ada orang yang menerbangkan layang sowangan. Sowangan adalah layang berukuran besar dengan benang pita yang dapat menghasilkan bunyi desing yang keras, yang berbentuk hewan bergambar atau animasi tertentu, Layang ini harus dinaikkan oleh beberapa orang dewasa atau anak-anak.  Saat layang berhasil naik itu kita semua bersorak ..terhibur, riang gembira.  Hiburan yang benar-benar murah meriah.  Layang besar ini dibiarkan terbang hingga berhari-hari.
Banyak juga bermain adu layang.  Layang-layang itu sengaja disambitkan (dilawankan) untuk mencari pemenangnya.  Layang yang kalah disebut tébal, atau putus, terbawa angin.  Disini juga menjadi adu strategi dan nyali untuk berebut layang putus itu.  Tua muda berebut layang itu.  Kaki-kaki kami sangat trampil berlarian di atas gundukan tanah dan batu nisan, atau selokan.  Cara merebut layang putus, bukan mengejar layangnya, tetapi mencari benangnya.  Saya termasuk kurang trampil dalam hal ini.  Namun, saya pernah juga merebut layang itu.  Rasanya bangga seolah menjadi juara. He..he
Saya tidak jarang juga ke makam untuk sekedar menyendiri, menikmati lingkungan yang hijau sambil membawa buku bacaan. Saya duduk membaca di bawah pepohonan, sambil menunggu kedatangan teman-teman. Menyendiri..hi.hi.. orang sekarang menganggap seolah-olah mencari wangsit  Sejak kecil saya memang diajarkan untuk menyukai membaca, bacaan apa saja.  Karena ibu dan bapak tahu lingkungan pergaulan kami sangat tidak kondusif untuk belajar.
Mungkin pembaca bertanya, apakah saya tidak punya perasaan takut.  Tentu saya juga takut.  Takut bukan karena hantu, atau mayat.  Di lingkungan makam seperti ini, banyak peluang terjadi kriminal, sebagai tempat kejadian perkara atau tempat sembunyi kejahatan. Seusia anak umumnya, saya saat itu takut dekat orang-orang yang tidak kenal, yang berwajah seram atau korak (istilah mengacu ke preman). Lokasi makam juga dekat dengan komplek prostitusi Bangun Rejo (yang sekarang sudah tutup). Lingkungan kemiskinan menjadi penyebab utama kriminal.
Pemandangan melihat orang meninggal dan keluarga bersedih adalah hal biasa di makam. Â Saya dan teman-teman menjadi tertarik ketika rombongan pengantar jenazah sangat besar, dengan mobil beriringan. Â Yang meninggal seperti ini biasanya orang-orang penting, pejabat, perwira, atau pemuka agama. Â Terkadang ada seremoni formal oleh ABRI dan tembakan senapan bila yang meninggal perwira.
Kini komplek makam Mbah Ratu Kalianak makin maju dan berkembang. Â Pemukiman di sekitarnya sudah tertata, modern, layaknya kota. Â Saya tidak melihat lagi ada anak-anak yang bermain disana, dan sebaiknya demikian. Â Lebih baik belajar di rumah dalam pengawasan orangtua. Â Pengalaman saya tidak perlu diulang, berbahaya.he..he. Â
Di komplek makam sebelah utara, Pemkot Surabaya menyediakan fasilitas parkir yang memadai disertai kuliner. Kulinernya menyajikan lebih dari 15 stan warung yang ditata apik layaknya cafe, dengan daya tampung sekitar 100 tempat duduk diiringi music live organ tunggal.  Tempat kuliner ini  juga seperti rest area bagi pengguna lalu lintas.  Sebelah tempat kuliner, ditempati bangunan baru kantor kecamatan Krembangan. Di sisi timur makam, dibangun taman dengan sarana olahraga jalan sehat.
Selamat Idul Fitri 1437H. Mohon Maaf Lahir Batin.
Malang, 8 Juli 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H