Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya Kirim (Ater-ater) Makanan Menjelang Lebaran

7 Juli 2016   00:09 Diperbarui: 8 Juli 2016   00:57 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kalangan orang Jawa, sejauh yang saya ketahui, biasa menjalankan budaya kirim makanan menjelang lebaran.  Dalam bahasa jawa, ini disebut ater-ater, yang artinya mengantar.  Ini dilakukan oleh keluarga untuk menunjukkan rasa syukur bahwa bulan Ramadhan menjelang berakhir dan menyambut bulan Syawal, atau Lebaran.  Budaya ater-ater ini memang tidak dilakukan semua orang Jawa, tetapi hanya oleh orang-orang tertentu saja yang mampu, atau biasa menjalankannya.

Untuk persiapan ater-ater ini memang agak sibuk, khususnya bagi ibu rumah tangga.  Ibu harus belanja bahan pokok, sayuran dan lauk dalam jumlah berlebih dibanding hari-hari biasa.  Stok bahan makanan ini juga untuk keperluan lebaran dan mungkin beberapa hari sesudahnya karena pasar umumnya masih tutup.  Budaya ini menjadi penyebab naiknya permintaan bahan pokok dan makanan menjelang lebaran, sekaligus naiknya harga-harga komoditi lain.

Ibu-ibu kemudian memasak sendiri makanan itu, dengan menu sedikit lebih istimewa.  Istimewa dalam arti menunya lebih beragam, jumlahnya lebih banyak, dan citarasanya lebih wah.  Kira-kira setelah sholat Ashar, makanan matang kemudian dibagi-bagi kepada tetangga, kawan atau famili.  Makanan ini juga untuk berbuka puasa.

Dahulu, di tahun delapan puluhan, keluarga kami juga menjalankan budaya ater-ater itu.  Karena kami tidak memiliki pembantu, seluruh anggota keluarga membantu ibu apapun yang bisa kami lakukan.  Saya ingat benar, ibu sangat serius mempersiapkan kebiasaan ini, karena ini masak besar.  Bapak membantu teknis penyiapan alat, misal panci, kompor, rantang, atau alat lain.  Alat-alat itu biasanya tersimpan di lemari, hanya digunakan saat masak besar, seperti untuk selamatan.  Saya biasanya membantu ibu untuk tugas ringan, misalnya menyiapkan daun pisang, bersih-bersih, membeli bumbu, atau bahan pendukung lain. 

Waktu itu, menu favorit ater-ater adalah nasi putih, samber goreng kentang dan hati, tumis buncis dan wortel, perkedel, tahu tempe, telor rebus, opor ayam dan rendang daging.  Setiap tahun, menu sedikit bervariasi, dengan ditambah sayur sop, sayur lodeh, atau gulai labu.

Setelah makanan matang, saya dan adik bertugas mengantarkan makanan.  Adik diberi tugas ibu mengantar makanan ke tetangga dekat.  Saya ditugaskan untuk mengantar ke tujuan yang agak jauh, yakni ke famili dan beberapa teman kantor bapak.  Saya naik motor bebek bisa mengangkut tiga atau empat rantang untuk sekali jalan.  Rantang diikat dengan kain serbet agar lebih kokoh, dan tidak berbunyi karena getaran motor.  Saat itu rantang masih dari bahan panci logam, tidak seperti sekarang yang dari bahan plastik.  Wah ... pokoknya berkesan dan seru, mirip tukang katering..he.he. 

Saat ini pun, ibu masih menjalankan kebiasaan ater-ater itu.  Hanya saja karena tenaga ibu yang sudah menurun, maka masaknya tidak seheboh dahulu.  Sekarang ibu membuat menu yang lebih simpel, misalnya nasi bebek, nasi rawon, nasi bandeng, atau nasi kikil, dikombinasikan dengan sayur labu.  Makanan juga dikirim lebih terbatas, hanya kepada tetangga dekat, atau famili.  Saya dan sebagian adik juga tinggal di luar kota, sehingga terasa kurang tenaga untuk mengantar makanan ater-ater ini. 

Bapak sudah meninggal sekitar delapan belas tahun yang lalu.  Teman kator bapak juga beberapa sudah almarhum.  Namun ibu masih mengenali keluarga teman kantor bapak. Ibu berusaha menemui atau anjangsana ke keluarga teman bapak.  Makanan ater-ater ini menjadi media silaturahim di antara mereka.  

Nampaknya kebiasaan ibu dalam ater-ater ini tidak bisa hilang.  Ibu sudah terbiasa membagi makanan setiap hari kepada siapa saja, khususnya tetangga.  “Makanan yang ada tidak pernah habis dimakan sendiri, lebih baik sebagian diberikan kepada orang lain”, demikian kata ibu. 

Selamat Idul Fitri 1437H.

Mohon Maaf Lahir Batin

Surabaya, 7 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun