Manipulasi Politik dan  Kambing Hitam Politik: Mengungkap Manipulasi di Balik Krisis Sosial dan EkonomiÂ
Dalam dunia politik, manipulasi melalui kambing hitam sering digunakan oleh gerakan-gerakan sayap kanan radikal untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah-masalah sistemik seperti ketidaksetaraan ekonomi, pengangguran, dan ketidakstabilan sosial. Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan tersebut, para pemimpin ini memanfaatkan prasangka dan bias yang ada untuk menyalahkan kelompok minoritas. Proses ini, yang sering disebut sebagai "othering", membuat minoritas seolah-olah menjadi biang keladi dari permasalahan ekonomi, peningkatan angka kriminalitas, atau kemunduran budaya. Dengan memfokuskan kesalahan kepada kelompok yang terlihat dan rentan, politisi dapat menarik dukungan dari mayoritas penduduk melalui rasa takut dan kebencian.
Taktik ini memberikan solusi sederhana untuk masalah yang kompleks, menciptakan persepsi yang keliru tentang masalah dan solusi. Masyarakat, yang dimanipulasi untuk percaya bahwa minoritas adalah penyebab penderitaan mereka, akhirnya membuat kesimpulan yang bias dan sering kali mendukung kebijakan yang tidak rasional. Solusi yang terlalu sederhana, seperti pembangunan tembok atau deportasi, mengabaikan kerangka kerja penyelesaian masalah yang lebih efektif dan rasional, serta menyebabkan pembuatan kebijakan yang tidak memadai.
Ironisnya, meskipun banyak individu memiliki prasangka terhadap minoritas, mereka hidup berdampingan dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari sebagai tetangga, rekan kerja, atau bahkan teman. Namun, kemunafikan ini adalah fitur utama dari manipulasi politik. Meskipun mengenal minoritas dalam lingkup sosial, mayoritas tetap dipaksa untuk melihat mereka sebagai ancaman secara abstrak. Hal ini memungkinkan orang untuk mempertahankan hubungan pribadi dengan minoritas, sambil mendukung kebijakan yang mendiskreditkan atau mendemonisasi mereka.
Fenomena kambing hitam ini mengalihkan fokus masyarakat dari masalah nyata seperti kemiskinan dan ketidakamanan pekerjaan. Sebaliknya, energi mereka terserap dalam mengatasi masalah imajiner yang terkait dengan minoritas, yang sebenarnya tidak relevan dengan kesulitan hidup mereka. Masalah-masalah yang mendesak, seperti keterjangkauan biaya hidup dan akses kesehatan, dibiarkan tidak terpecahkan. Di sisi lain, ketegangan sosial semakin memburuk, sementara upaya untuk mencari solusi yang sesungguhnya terhambat oleh retorika anti-minoritas.
Pengkambinghitaman menciptakan persepsi yang menyimpang baik mengenai masalah maupun solusinya. Masyarakat, yang dimanipulasi untuk meyakini bahwa kelompok minoritas adalah sumber permasalahan mereka, membuat kesimpulan yang bias dan semakin memperkuat prasangka. Respons yang emosional dan tidak rasional ini sering kali diwujudkan dalam bentuk "solusi" yang terlalu sederhana, seperti membangun penghalang fisik atau metafora---tembok batas, pagar, atau deportasi. Logika yang cacat ini menutupi kerangka penyelesaian masalah yang lebih efektif dan rasional, sehingga menyebabkan siklus pengambilan kebijakan yang tidak efektif.
Dinamika ini tidak hanya gagal menyelesaikan permasalahan nyata namun juga memperburuknya. Dengan memfokuskan sumber daya pada ancaman imajiner, masyarakat membuang waktu dan tenaga pada kebijakan yang tidak memberikan manfaat nyata. Dalam banyak kasus, upaya untuk "memperbaiki" masalah ini justru menimbulkan konflik tambahan, memperburuk hubungan antar masyarakat dan memperdalam kesenjangan sosial. Alih-alih mengatasi tantangan ekonomi atau sosial yang nyata, mayoritas penduduk, yang seringkali terisolasi dari pengalaman hidup kelompok minoritas, malah terpaku pada solusi yang tidak realistis.
Ironisnya, meski banyak individu yang menyimpan prasangka terhadap kelompok minoritas, mereka juga hidup berdampingan dan berinteraksi dengan kelompok minoritas setiap hari, sehingga membentuk hubungan pribadi dalam tatanan sosial yang lebih luas. Namun, kemunafikan ini adalah ciri utama manipulasi tersebut. Meski mengenal kelompok minoritas sebagai tetangga, rekan kerja, atau bahkan teman, kelompok mayoritas dikondisikan untuk memandang mereka sebagai ancaman secara abstrak. Disonansi kognitif ini memungkinkan orang untuk mempertahankan hubungan pribadi dengan kelompok minoritas sekaligus mendukung kebijakan yang menjelek-jelekkan mereka. Kemudahan mereka dalam mengajukan solusi yang keras---seperti deportasi atau pengucilan---menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman mereka, karena mereka gagal menempatkan diri pada posisi orang-orang yang dijadikan kambing hitam.
Mengkambinghitamkan kelompok minoritas berfungsi sebagai pengalih perhatian bagi mereka yang berjuang dengan masalah-masalah nyata seperti kemiskinan, pengangguran, atau tekanan keuangan sehari-hari. Alih-alih mengatasi akar penyebab kesulitan mereka---seperti upah yang tidak memadai, keterjangkauan perumahan, atau kesenjangan ekonomi yang sistemik---orang-orang malah digiring untuk percaya bahwa kelompok minoritaslah yang menjadi sumber penderitaan mereka. Sikap saling menyalahkan ini akan memperpanjang perjuangan mereka dengan mengalihkan perhatian dari solusi nyata yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Daripada berinvestasi pada kebijakan-kebijakan yang dapat mengentaskan kemiskinan atau menciptakan peluang yang lebih baik, fokusnya beralih pada memerangi masalah-masalah khayalan yang terkait dengan kelompok minoritas. Pembelokan ini hanya menambah kesengsaraan mereka, karena hal ini menumbuhkan siklus frustrasi, kebencian, dan kelambanan tindakan. Permasalahan sebenarnya---keterjangkauan, layanan kesehatan, keamanan kerja---masih belum terselesaikan, dan pengkambinghitaman terhadap kelompok minoritas tidak hanya mengalihkan perhatian dari permasalahan ini namun juga memperburuk ketegangan sosial, sehingga menciptakan perpecahan lebih lanjut dalam masyarakat. Akibatnya, masyarakat tetap terjebak dalam perjuangan mereka, sementara kemarahan mereka disalurkan ke dalam respons yang tidak rasional dan emosional terhadap "musuh" yang tidak bertanggung jawab atas penderitaan mereka.
Dalam banyak kasus, mereka yang fokus menyalahkan kelompok minoritas atas permasalahan sosial melakukannya sebagai bentuk pengalih perhatian atau pelepasan emosi, mirip dengan mabuk oleh narasi palsu seperti "mabuk Kool-Aid". Alih-alih menyadari betapa mendesaknya permasalahan ekonomi yang mereka hadapi -- seperti kemiskinan, ketidakamanan lapangan kerja, dan kurangnya layanan kesehatan yang terjangkau -- mereka malah menganut paham bahwa kelompok minoritas adalah sumber kesulitan mereka, meskipun mereka sendiri tidak pernah mengalami tantangan unik yang dihadapi oleh para minoritas tersebut. ataupun kelompok itu. Fokus yang salah terhadap kelompok minoritas ini mengalihkan energi mereka dari upaya mengatasi permasalahan yang nyata dan mendesak. artinya mereka phobia atas minoritas ini mengalihkan tanggun jawab atas masalah mereka sendiri. Andaikan mereka mau hanya bertanggung jawab dan mengakui kesalahan terus memperbaikinya ketimbang menyalahkan kambing hitam maka sebenarnya negara akan lebih makmur dan dapat lebih jeli atau teliti melihat permasalahan dan solusi jitunya. Maka terlihat banyak negara yang kelompok radikalnya sibuk sekali mendominasi nafas negara dengan hanya penuh propaganda anti minoritas hanya dipakai tunggangan atas ketidak becusan pemerintahnya dalam memberikan peluang kesejahteraan dalam sistem ekonomi dan sosialnya. Lalu siapa saja yang tidak bertangung jawab atas pengkambing hitaman itu, selain pembuat isu minoritas juga para pendukungnya yang haus darah minoritas. Sebetulnya mereka semua dapat memilih untuk bertangung jawab fokus pada masalah ketimpangan dan kemiskinan juga mencari solusi yang jauh lebih murah ketimbang solusi kambing hitam minoritas khayalan yang jelas lebih banyak menguras energi dan anggaran siluman.
Dengan melakukan kambing hitam, individu dan komunitas ini sering kali menolak kerja sama dan tindakan kolektif yang dapat membantu memperbaiki kondisi perekonomian mereka. Ketika kelompok minoritas secara keliru dipandang sebagai "masalah", upaya untuk berkolaborasi antar kelompok sosial yang berbeda untuk mengatasi kesenjangan atau kemiskinan yang sistemik akan terhambat. Ada kecenderungan untuk menghindari solusi yang membutuhkan empati, pengertian, atau kolaborasi karena mereka yang mengkambinghitamkan lebih tertarik pada validasi emosional jangka pendek---menyalahkan sasaran empuk---dibanding strategi kooperatif jangka panjang yang bisa membawa perubahan berarti. Keterikatan untuk menyalahkan orang lain atas kesulitan yang mereka alami akan menunda atau bahkan menghalangi mereka untuk menemukan solusi nyata terhadap kesulitan ekonomi mereka sendiri.
Dalam ranah politik, mengkambinghitamkan seringkali menjadi taktik yang berulang-ulang dan manipulatif. Politisi, khususnya yang berasal dari kelompok sayap kanan radikal, sering kali "menemukan kembali" atau mengalihkan kesalahan kepada kelompok minoritas yang berbeda untuk mempertahankan fokus pendukung mereka pada musuh eksternal dibandingkan pada isu-isu yang mendesak dan mendesak, seperti kesulitan ekonomi atau kurangnya layanan sosial. Dengan terus-menerus menghadirkan ancaman-ancaman baru atau berlebihan, baik itu imigran, ras minoritas, atau kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya, para politisi ini dapat membuat basis mereka teralihkan dan berinvestasi secara emosional dalam pertempuran melawan "musuh-musuh" ini alih-alih meminta pertanggungjawaban para pemimpin mereka karena gagal mengatasi masalah-masalah nyata seperti kemiskinan, layanan kesehatan, atau pengangguran.
Strategi ini berhasil karena memberikan penjelasan sederhana untuk permasalahan yang kompleks, memungkinkan masyarakat merasakan kendali atau kebenaran dengan menyelaraskan diri dengan pemimpin yang berjanji untuk "memperbaiki" masalah yang dirasakan. Fokus yang terus-menerus pada kelompok minoritas mengalihkan perhatian dari ketidakmampuan atau keengganan politisi untuk memecahkan masalah nyata. Setiap siklus pemilu, muncul kambing hitam baru yang membuat masyarakat marah atau takut, dan dengan demikian memaafkan para politisi yang mengabaikan perjuangan mereka yang mendesak, karena mereka terjebak dalam narasi emosional tentang "pihak lain" yang harus disalahkan. Siklus gangguan dan saling menyalahkan ini sangat penting untuk mempertahankan kekuasaan tanpa memberikan solusi nyata terhadap kebutuhan ekonomi dan sosial pemilih.
Kesimpulan: Taktik kambing hitam politik secara sengaja digunakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih mendesak dan nyata, seperti ketidaksetaraan ekonomi dan kemiskinan. Alih-alih menyelesaikan permasalahan tersebut, fokus pada minoritas hanya memperpanjang penderitaan masyarakat dan menciptakan jurang sosial yang lebih dalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H