Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Resistensi Pemuda dalam Kesetaraan Wanita

31 Agustus 2024   23:14 Diperbarui: 2 September 2024   02:25 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para Pemuda Merasakan Diabaikan Dalam Gerakan Kemajuan Wanita 

Kita menyaksikan kejayaan wanita yang berakar kuat dalam sejarah Indonesia, dimulai sejak zaman Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga yang dengan tegas menjalankan kebudayaan asli Nusantara yang memuliakan wanita dan ibu. Sedangkan pergerakan wanita dimulai oleh RA Kartini, yang bangkit melawan dominasi dan penjajahan kaum pria yang muncul sejak zaman kekerasan maskulinitas termasuk dengan peperangan yang saling menghajar dengan otot diantara kaum pria. Puncaknya pada era modern ini pergerakan wanita sudah mencapai pada titik kesetaraan gender sehingga menginspirasi semangat untuk menghormati dan memperjuangkan hak-hak wanita dalam masyarakat.

Masih adanya gap penghasilan dan kesempatan berkarir antara pria dan wanita menunjukkan masih relevannya perjuangan kesetaraan gender ini.  Kita bisa melihat di setiap perusahaan baik di kampung maupun di New York selalu saja pria mendapatkan upah gaji yang lebih tinggi dan kesempatan berkarir yang lebih cepat dan moncer juga pilihan para petinggi perusahaan bahkan dalam politik kita bisa hitung berapa keterwakilan wanita. Ada pengecualian dalam Cagub Jawa Timur yang hanya memberikan 3 alternatif Cagub yang semuanya wanita. Apakah ketiga wanita Cagub itu merepresentasikan kesetaraan gender di Jawa Timur secara merata?

Dalam proses mencapai kesetaraan ini rupanya kompleksitas kompetisi alam yang serba selalu menyeimbangkan atau menyetarakan wanita dan pria menurunkan peran pemuda yang dulunya banyak digunakan dan sekarang lebih diberikan keseimbangan perannya pada wanita untuk keseimbangan. Artinya status quo kekuatan pria atau maskulinitas harus diseimbangkan atau disetarakan dengan wanita yang dulunya jarang digunakan. Sehingga dalam proses kesetaraan ini konsekuensinya pria yang biasanya secara norma kuno selalu digunakan, sekarang menjadi dikurangi untuk memberikan peran wanita yang setara. Sebetulnya ini bukan hanya kesetaraan gender tetapi lebih pada kesetaraan meritokrasi atau talent yang pada dasarnya sama tetapi sering didiskriminasi. Sehingga kedengarannya menjadi kesetaraan kuota. Kalau di Barat disebut Diversity, Equity and Inclusion atau DEI dalam setiap perekrutan tenaga kerja untuk saling melengkapi dan mencerminkan kompleksnya ras dan gender populasi. DEI sebetulnya banyak dipakai dalam slogan karena tetap saja dalam perekrutan yang digunakan lebih condong pada pengetahuan dan kemampuan bekerja dan kecocokan selera perekrut. 

Bagi pemuda yang sudah menerima wanita sebagai partner yang setara adalah biasa dan sudah diadopsi secara umum. Sayangnya para generasi yang dulunya mendapat kemudahan 100% lebih tinggi dari wanita, mulai mengeluhkan tentang kesempatan bagi para anak mereka yang sekarang menjadi pemuda dan hanya dengan perspektif kuno memandang kesempatan pemuda dikurangi untuk memberikan kesempatan yang setara untuk para wanita. Sejak itu para generasi boomer sampai generasi Y memandang anak lelaki mereka yaitu dalam kelompok generasi Z menjadi sepertinya tidak mempunyai kesempatan (hiperbola). Mereka mulai menyuarakan tentang masyarakat modern yang pilih kasih dan getol memperjuangkan kemajuan hak wanita saja, karena faktanya masih saja keterwakilan wanita tertinggal dibanding pria. Mereka mulai membuat propaganda dan memancing di air keruh dan menyalahkan gerakan wanita atas ketertinggalan anak pria mereka.

Apakah ketertinggalan atau terlantarnya pemuda pria dalam meraih sukses adalah usaha mengingkari relevansi gerakan kemajuan hak wanita. Bagaimana mungkin masih ketertinggalan keterwakilan wanita harus masih menunggu kesuksesan pemuda pria. Bukankah ini kesalahan generasi boomer dan Y yang dari dulu telah lama menikmati privilese gender pilihan dalam kerja, gaji tinggi dan pangkat jabatan. Mereka juga masih selalu membela anak prianya dalam patriakal sampai sekarang. Buktinya capaian yang diraih dan diberikan pada wanita belum setara atau sebanding dengan pria, padahal jumlah populasi mereka lebih banyak. Dan kalau ada pria yang tertinggal atau diabaikan dalam perekonomian modern, penyebabnya adalah orang tua mereka yang tidak pernah menyiapkan mereka dan bahkan selalu mengutamakan atau pilih kasih pada anak emas mereka yang pria. Sehingga dengan tingkat kesukaran para anak wanita yang dialami rupanya lebih menggembleng atau mempersiapkan diri mereka menghadapi realita hidup yang lebih kompleks dari pada anak emas atau bukan.

Dalam era politik identitas di negara-negara Barat, banyak partai politik sayap kanan yang mencoba memanfaatkan isu ketidakpuasan gender untuk melawan partai-partai kiri dan moderat yang sangat progresif dengan agenda hak minoritas dan wanita. Meskipun agenda-agenda progresif ini tampak mengedepankan kesetaraan, kenyataannya banyak pemimpin partai-partai tersebut masih didominasi oleh pria yang merasa bersalah atas ketidakadilan sejarah terhadap wanita. Perasaan bersalah ini sering kali melahirkan gerakan yang disebut sebagai "wokeness," yaitu kesadaran untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang masih nyata, namun sering kali disalah artikan sebagai sekadar platform politik.

Gerakan wanita progresif ini terus berlanjut, didorong oleh realitas bahwa kesetaraan gender belum sepenuhnya tercapai. Namun, di sisi lain, partai oposisi melihat kesempatan untuk meraih dukungan dengan menyatakan bahwa para pemuda telah dabaikan oleh gerakan wanita yang seolah-olah hanya berfokus pada kemajuan wanita. Narasi ini dijadikan alat kampanye untuk menarik simpati pria yang merasa dirugikan atau terluka oleh pergerakan wanita, meskipun pada kenyataannya isu ini lebih kompleks dari sekadar gender battle. Pandangan yang memposisikan gerakan wanita sebagai ancaman bagi pria ini laku keras dalam kampanye politik, meski seringkali mengabaikan fakta bahwa tujuan utama gerakan tersebut adalah menciptakan kesetaraan bagi semua, bukan hanya menguntungkan satu gender di atas yang lain.

Di tengah kemajuan pergerakan wanita yang semakin pesat karena masih saja belum setara, banyak pemuda merasa ditinggalkan dan diabaikan dalam proses ini. Mereka merasakan tekanan yang besar ketika melihat perubahan-perubahan sosial yang mendefinisikan ulang peran gender dalam masyarakat. Hal ini menciptakan rasa ketidakadilan dan persaingan antara gender, yang pada akhirnya mempengaruhi sikap politik dan perilaku pemilih mereka.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Gothenburg, ditemukan bahwa pemuda berusia 18 hingga 29 tahun cenderung paling sering setuju dengan pernyataan bahwa "memperjuangkan hak-hak wanita dan anak perempuan telah berjalan terlalu jauh karena mengancam peluang pria dan anak laki-laki." Temuan ini menunjukkan bahwa para pemuda merasa bahwa kemajuan dalam kesetaraan gender bukan hanya sebagai ancaman terhadap status quo, tetapi juga sebagai ancaman terhadap peluang dan peran mereka dalam masyarakat. Tentunya survei ini tidak dimulai dengan dasar relevansi yang mempertanyakan juga tentang apakah wanita sudah mencapai tingkat kesetaraan gender? Jadi survei ini juga hanya menjadi paket pesanan partai politik untuk memunculkan isu delusional.

Para pemuda ini, yang tumbuh di era di mana wanita semakin mendominasi dalam pendidikan dan pasar kerja, sering kali merasa bahwa mereka kehilangan identitas dan peran tradisional mereka sebagai pemimpin, penyedia, dan pelindung. Perubahan ini tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga mulai terasa di banyak bagian dunia, termasuk di Indonesia, di mana peran gender yang kaku mulai dilonggarkan dan wanita mulai mengambil posisi-posisi penting dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, para pemuda yang merasa diabaikan mulai mencari pelarian melalui gerakan-gerakan yang cenderung menentang feminisme dan mempromosikan pandangan-pandangan konservatif tentang peran gender. Mereka merasa bahwa pergerakan wanita telah mengambil terlalu banyak ruang, dan bahwa hal ini dilakukan dengan mengorbankan hak-hak dan peluang mereka sendiri. Ketidakpuasan ini dapat dilihat dalam dukungan mereka terhadap tokoh-tokoh politik yang menyuarakan kekecewaan serupa, seperti Donald Trump di Amerika Serikat atau gerakan-gerakan kanan jauh di Eropa.

Namun, pandangan ini sebenarnya mencerminkan pemahaman yang terbatas tentang manfaat dari kesetaraan gender. Banyak pemuda gagal melihat bahwa kemajuan hak-hak wanita tidak berarti kemunduran bagi pria, tetapi justru menawarkan kesempatan bagi kedua gender untuk berkembang bersama dalam masyarakat yang lebih adil. Misalnya, mendukung cuti ayah dan mendorong pria untuk memasuki profesi yang selama ini dianggap "feminin," seperti perawat atau guru, dapat membantu menciptakan kesetaraan sejati dan mengurangi tekanan pada pria untuk selalu menjadi penyedia utama.

Sayangnya, kurangnya dukungan sosial dan panduan untuk membantu pemuda menghadapi perubahan ini hanya memperburuk situasi. Tanpa narasi baru yang lebih inklusif, yang menyambut pemuda dalam masyarakat yang setara gender, mereka akan terus merasa tersingkir dan mungkin berbalik menentang kemajuan tersebut. Oleh karena itu, penting bagi gerakan wanita dan masyarakat pada umumnya untuk mengakui dan merangkul kebutuhan pemuda, menciptakan lingkungan yang mendukung bagi mereka untuk berkembang sebagai individu yang positif dan produktif dalam dunia yang semakin inklusif.

Jika kita gagal mengatasi krisis ini, kita berisiko menciptakan budaya permusuhan di antara pemuda yang merasa diabaikan, yang pada akhirnya akan menghambat kemajuan menuju kesetaraan gender yang sejati. Untuk masa depan masyarakat yang sehat dan seimbang, kita perlu meredefinisi peran pria secara positif dan mendorong kerjasama antar gender yang saling menguntungkan.

Kesimpulan Dalam menghadapi perubahan sosial yang semakin menonjolkan kesetaraan gender, banyak pemuda merasa diabaikan karena mereka melihat peran tradisional pria sebagai pemimpin dan penyedia semakin berkurang, seiring dengan meningkatnya peran wanita dalam masyarakat. Hal ini menciptakan rasa ketidakadilan dan ketidakpastian bagi mereka, yang diperparah oleh narasi politik yang memanfaatkan ketidakpuasan gender ini. Namun, penting untuk diingat bahwa kemajuan hak-hak wanita tidak berarti kemunduran bagi pria, melainkan kesempatan bagi kedua gender untuk berkembang bersama dalam masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Jika tidak ditangani dengan baik, ketidakpuasan ini dapat memicu permusuhan yang menghambat tercapainya kesetaraan gender yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun