Norma, Etika dan Aturan
Bagaimana Ego dari Elon Musk dan Pavel Durov Tak Mempeduli semuaPendekatan Elon Musk terhadap kepatuhan terhadap peraturan lokal dan norma-norma keadilan dan demokrasi masyarakat semakin mendapat sorotan, walaupun selalu mengkampanyekan Free Speech (versi egois) terutama dalam kasus Brasil, di mana platform media sosial miliknya, X (sebelumnya Twitter), diperintahkan untuk ditutup oleh Mahkamah Agung Brasil kemarin sore 30/8/2024.Â
Keputusan pengadilan ini, yang dikeluarkan oleh Hakim Alexandre de Moraes, merupakan konsekuensi langsung dari kegagalan Musk untuk menunjuk perwakilan hukum lokal untuk X di Brasil, sebuah pelanggaran yang jelas terhadap persyaratan hukum negara tersebut bagi perusahaan asing yang beroperasi di dalam wilayahnya.Â
Ini kejadian berantainya baru saja dimulai oleh Perancis yang menangkap Pavel Durov pemilik platform Telegram di Paris pada minggu lalu. Kasus yang dialami Pavel adalah keterlibatannya dalam memberikan platform untuk melakukan perdagangan narkoba dan penyebaran media pornografi pelecehan anak anak.
Pembangkangan Musk terhadap hukum Brasil bukanlah insiden yang terisolasi, melainkan bagian dari pola perilaku yang lebih luas yang menimbulkan pertanyaan tentang komitmennya untuk menghormati kerangka hukum dan etika masyarakat di mana bisnisnya beroperasi. Tanggapan publiknya terhadap perintah pengadilan, di mana ia menyebut Hakim de Moraes sebagai "diktator jahat" dan menuduhnya mencoba "menghancurkan demokrasi di Brasil," menunjukkan kurangnya rasa hormat yang mengkhawatirkan terhadap hukum dan institusi demokrasi.
Kontroversi ini semakin diperburuk oleh afiliasi politik Musk yang condong ke kanan, yang telah mempengaruhi keputusannya di X, terutama terkait moderasi konten dan disinformasi. Sejak mengakuisisi platform ini, Musk telah memposisikan dirinya sebagai "absolutis kebebasan berbicara," namun tindakannya---seperti memulihkan akun-akun yang sebelumnya diblokir karena menyebarkan disinformasi---mengindikasikan interpretasi kebebasan berbicara yang selektif yang sesuai dengan bias politiknya.
Situasi di Brasil menyoroti implikasi yang lebih luas dari pendekatan Musk. Dengan tidak mematuhi peraturan lokal dan menyerang keputusan yudisial, Musk merusak prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang sangat penting bagi berfungsinya masyarakat demokratis mana pun. Tindakannya tidak hanya membahayakan kelangsungan operasional bisnisnya di wilayah seperti Brasil, tetapi juga mengancam integritas ekosistem informasi, seperti yang terlihat dari penyebaran disinformasi dan manipulasi narasi politik di X.
Lebih jauh, ketidakpatuhan Musk terhadap lingkungan regulasi di Brasil memiliki konsekuensi nyata. Penutupan X memengaruhi lebih dari 22 juta pengguna di negara tersebut yang bergantung pada platform ini untuk komunikasi dan informasi. Gangguan ini sangat mengkhawatirkan di negara yang media sosialnya memainkan peran penting dalam wacana publik dan keterlibatan politik.
Selain masalah yang melibatkan X, perusahaan internet satelit milik Musk, Starlink, juga mendapat sorotan hukum di Brasil. Operasi keuangan perusahaan tersebut dibekukan oleh perintah Hakim de Moraes, menambah lapisan kompleksitas lain pada tantangan yang dihadapi Musk di negara ini. Pertarungan hukum ini menggambarkan pola ketidakpatuhan dan resistensi terhadap otoritas lokal yang lebih luas, yang semakin merusak kredibilitas Musk dan menimbulkan pertanyaan tentang komitmennya terhadap praktik bisnis yang etis.
Penanganan Musk terhadap situasi-situasi ini mencerminkan tren yang lebih luas dalam gaya kepemimpinannya---satu gaya yang mengutamakan visi dan kepentingan pribadinya di atas standar hukum dan etika masyarakat tempat dia beroperasi.Â
Pendekatan ini tidak hanya menjauhkan otoritas lokal dan komunitas, tetapi juga merusak keberlanjutan jangka panjang bisnisnya. Seiring Musk terus memperluas pengaruh globalnya, kemampuannya untuk menavigasi dan menghormati peraturan lokal serta norma-norma masyarakat akan menjadi sangat penting bagi kesuksesannya. Tanpa adanya perubahan arah, Musk berisiko semakin menjauhkan pasar dan pemangku kepentingan utama, yang pada akhirnya mengancam masa depan usaha-usahanya.
Pavel Durov, pendiri dan CEO aplikasi pesan Telegram, semakin menjadi sorotan publik setelah penangkapannya di Paris akhir pekan lalu. Tuduhan yang dihadapinya serius, termasuk dugaan bahwa platform yang ia ciptakan digunakan untuk aktivitas ilegal seperti perdagangan narkoba dan distribusi gambar pelecehan seksual terhadap anak.Â
Meskipun Telegram telah menyatakan bahwa mereka mematuhi hukum Uni Eropa dan bahwa moderasi konten mereka sudah "sesuai dengan standar industri dan terus meningkat," kasus ini menyoroti masalah yang lebih dalam terkait dengan cara Durov mengelola platformnya, yang mencerminkan sikap kurang peduli terhadap norma, etika, dan peraturan yang berlaku.
Seperti Elon Musk yang sering dikritik karena pendekatan serupa terhadap regulasi dan etika, Durov tampaknya lebih fokus pada kebebasan platform daripada tanggung jawab sosial yang menyertainya. Telegram, yang dikenal dengan enkripsi kuat dan kemampuan untuk mengadakan percakapan grup hingga 200.000 orang, telah menjadi tempat berkembang biak bagi misinformasi dan kegiatan ilegal. Meskipun enkripsi end-to-end adalah fitur penting untuk privasi, ketidakmampuan atau ketidakmauan Telegram untuk memoderasi konten secara efektif telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam.
Penangkapan Durov di Paris setelah tiba dari Azerbaijan adalah cerminan dari pendekatannya yang acuh tak acuh terhadap aturan dan norma. Dia dibebaskan setelah empat hari interogasi, namun diwajibkan membayar jaminan sebesar 5 juta euro dan melapor ke kantor polisi dua kali seminggu. Langkah ini, meskipun berat, adalah pengingat bahwa tidak ada yang kebal dari hukum, tidak peduli seberapa besar pengaruh mereka di dunia teknologi.
Durov, yang memiliki kewarganegaraan dari beberapa negara termasuk Rusia, Prancis, St. Kitts dan Nevis, serta Uni Emirat Arab, tampaknya memanfaatkan status globalnya untuk menghindari tanggung jawab. Dengan basis operasional yang tersebar di berbagai negara, ia mungkin merasa kebal terhadap peraturan lokal yang ketat. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa sikap seperti itu pada akhirnya bisa membawa konsekuensi serius.
Meskipun Telegram mengklaim terus memperbaiki moderasi konten mereka, bukti-bukti menunjukkan bahwa platform ini masih menjadi tempat yang aman bagi penyebaran konten berbahaya. Sama seperti Musk yang sering kali mengabaikan norma sosial demi kebebasan berbicara, Durov tampaknya memilih untuk memprioritaskan kebebasan pengguna di atas keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Keputusan untuk memoderasi konten dengan lebih tegas tidak hanya penting dari perspektif hukum, tetapi juga merupakan kewajiban moral bagi setiap pemimpin teknologi. Seperti yang terlihat dalam kasus ini, ketidakpatuhan terhadap norma, etika, dan peraturan tidak hanya merusak reputasi perusahaan, tetapi juga bisa berujung pada masalah hukum yang serius.
Dengan dunia yang semakin terhubung dan tergantung pada platform digital, tanggung jawab yang menyertai pengelolaan platform ini tidak bisa dianggap remeh. Pavel Durov, seperti Elon Musk, harus menyadari bahwa mereka memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan kesejahteraan pengguna mereka, dan kegagalan untuk melakukannya bisa berakibat fatal, baik bagi perusahaan mereka maupun masyarakat luas.
Kesimpulan dari kasus Elon Musk dan Pavel Durov menunjukkan bahwa aturan, etika, dan norma harus diterapkan secara konsisten dan tegas untuk memastikan bahwa platform digital tidak hanya mendukung kebebasan berbicara, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang konstruktif, sehat, terbuka, modern, adil, dan demokratis.Â
Para pemimpin teknologi memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa platform mereka tidak disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan, memfasilitasi kegiatan ilegal, atau melanggar hak asasi manusia.Â
Dengan menegakkan regulasi yang kuat, memastikan transparansi, dan memprioritaskan keselamatan pengguna, kita dapat mencegah platform menjadi alat propaganda atau kejahatan, dan sebaliknya, menjadikannya sebagai sarana yang mendukung dialog yang sehat dan berkeadilan dalam masyarakat global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H