Kekuatan Deterrent Lebih Disegani Daripada Independensi Rapuh
Sejak Ukraina mulai memasuki dan menjajah wilayah Kursk dan Sumy di Rusia, ketegangan internasional meningkat, terutama karena kekhawatiran akan potensi perang nuklir. Para pengamat memperingatkan bahwa tindakan Ukraina ini bisa memicu respons keras dari Rusia, mengingat Presiden Vladimir Putin telah menetapkan "garis merah" yang tidak boleh dilanggar.Â
Jika batas ini terlampaui, ada kemungkinan Rusia akan menggunakan senjata nuklir. Ancaman seorang diktator otoriter biasanya berarti hardikan semata dan ini sudah dibuktikan kebenarannya oleh Ukraina dengan menginvasi wilayah Kursk Oblast Rusia atau garis merah Putin. Sejak itu semua kalkulasi ilmu politik tentang Putin hancur berantakan.
Terlebih lagi, tadi malam 21/8/2024 pangkalan pesawat tempur udara di Moskow juga sudah mulai diserbu dengan 56 FPV drones menurut Rusia. Penghancuran pangkalan udara ini dimaksudkan untuk mencegah serangan dengan membumi hanguskan semua pesawat jet dan amunisi bom yang kemungkinan dipakai untuk menyerang posisi Ukraina. Dan rupanya Putinpun masih tidak peduli karena  belum ada protes dari kalangan sipil. Putin rupanya masih belum khawatir karena Ukraina tidak meniru cara Rusia berperang dengan cara menghancurkan gedung apartemen sipil dan rumah sakit anak anak untuk sekaligus menghancurkan moral penduduknya supaya bertekuk lutut. Ukraina rupanya masih berperang dengan kaidah aturan perang internasional konvensi Jenewa. Ternyata perang juga bisa dilakukan dengan curang dan masa bodoh atau tidak mengacuhkan pelanggaran hak asasi manusia.
Situasi ini telah mendorong Rusia untuk meningkatkan kesiapan proyek anti-perang nuklirnya. Dalam rangka mempertahankan keamanan nasional, Rusia mulai mengumumkan keberadaan kapal selam nuklirnya di dekat wilayah Amerika Serikat, termasuk di sekitar Kuba dan seberang pantai Florida. Sementara itu, kapal-kapal selam nuklir Amerika Serikat dari kelas Ohio, yang merupakan komponen penting dalam sistem pertahanan nuklir AS, biasanya beroperasi dengan sangat rahasia.Â
Namun, pada bulan Juni, Angkatan Laut Amerika Serikat secara tidak biasa mengungkapkan lokasi kapal selam USS Tennessee yang beroperasi di Laut Norwegia, ditemani oleh kapal penjelajah USS Normandy dan pesawat pengintai P-8A Poseidon, serta pesawat komunikasi strategis E-6B Mercury, yang sering disebut sebagai "pesawat hari kiamat."
Pengungkapan lokasi kapal selam nuklir ini jarang terjadi dan menjadi strategi Amerika Serikat untuk menanggapi aktivitas angkatan laut Rusia yang belakangan ini semakin intens. Rusia telah mengirimkan kapal perang ke Karibia dan melakukan latihan militer di Laut Mediterania. Pengumuman ini bukan hanya untuk menunjukkan kehadiran militer AS, tetapi juga untuk mengingatkan dunia akan kekuatan destruktif kapal selam nuklir kelas Ohio.
Dengan semakin memanasnya situasi, baik Rusia maupun Amerika Serikat tampaknya menggunakan unjuk kekuatan ini sebagai bagian dari permainan strategi yang lebih besar. Pengungkapan lokasi kapal selam nuklir oleh Amerika Serikat dianggap sebagai sinyal tegas kepada Rusia, bahwa mereka siap dan waspada terhadap setiap ancaman yang mungkin timbul dari aktivitas militer Rusia di wilayah-wilayah strategis.Â
Kesiapan dan ketegasan ini ditunjukkan dengan mengirimkan pamer kapal perang Nuklir yang mengepung Rusia dan siap untuk membungkam ancaman perang Nuklir di tempat peluncuran senjata Nuklir Rusia sebelum memporak porandakan dunia yang tidak tahu menahu dan bahkan tidak terlibat akan perang Ukraina sama sekali. Ini sesuai dengan strategi militer AS yang biasanya melakukan pre-emptive strike, yang artinya ancaman akan dilawan di negara asal ancaman tersebut sebelum mencapai target yang tidak disangka sangka bahkan biasanya juga diikuti dengan pembasmian segala jenis ancaman, supaya tidak timbul lagi.
Perang Rusia Ukraina ini sekarang juga sedang menuju status preemptive strike, karena dengan pendanaan dan persenjataan yang berasal dari Eropa digunakan untuk menyerang semua obyek militer dan ekonomi Rusia oleh Ukraina, hanya kerna kesalahan Rusia yang menjadi negara imperialis di Ukraina dan dikhawatirkan akan melebar ke semua Eropa lainnya. Â Dan ini sangat tidak menjamin perdamaian dunia seperti yang diinginkan oleh semua orang. Dalam hal ini AS mendapat angin segar dari seluruh dunia dan bahkan dari dalam negeri Rusia atau organisasi kemerdekaan dan demokrasi Rusia yang senantiasa dibungkam oleh Putin.Â
Sempat dalam beberapa kejadian berlalu, yang juga terjadi dengan China waktu berupaya keras mencaplok wilayah dan menyerang semua negara kecil di laut China Selatan termasuk kepulauan Natuna Indonesia. Dan puncaknya waktu China mengepung dan menyerang Taiwan. Maka proyek preemptive strike tersebut dilancarkan AS dengan mengganggu kapal kapal perang China, menghambat ekspor atau impor China ke AS dan Eropa, mencegah China menguasai teknologi Nano Chip dengan puncaknya melarang produk Huawei dan menangkap direkturnya. Â
Dalam tindakan militernya, Amerika Serikat memang kerap terlihat tegas dan menakutkan. Namun, untungnya, sistem demokrasi di AS tidak mengizinkan penggunaan kekuatan besar itu secara sewenang-wenang. Kongres AS berfungsi sebagai benteng demokrasi yang memastikan bahwa kekuatan tersebut tidak disalahgunakan, kecuali jika prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri telah hancur. Itulah yang coba dilakukan oleh Rusia, China, dan Iran---mereka berupaya merusak demokrasi. Namun, mereka gagal memahami bahwa merusak demokrasi di AS bisa menjadi bumerang, di mana kekuatan yang tak terkendali justru dapat berbalik menyerang mereka sendiri.
Bagi orang awam, unjuk kekuatan militer AS mungkin terlihat tidak mencolok, sering kali dilakukan secara rahasia dan terselubung, seperti strategi kapal selam nuklir yang selalu dirahasiakan. Namun, pengungkapan lokasi kapal selam nuklir kali ini sengaja dilakukan untuk menghentikan arogansi Rusia, yang seringkali bersikap kasar dan brutal terhadap negara-negara kecil dengan menghancurkan kota-kota beserta isinya, seperti yang terjadi di Grozny (Chechnya), Aleppo (Suriah), dan berbagai kota di Ukraina.Â
Tujuan Rusia adalah agar negara-negara kecil tunduk pada Putin, namun Putin tampaknya lupa bahwa masih ada NATO. Begitu pula dengan China yang mungkin lupa bahwa Amerika Serikat dengan armada Pasifiknya masih siap menghadapi setiap ancaman pada negara dengan militer terbatas seperti Indonesia, Filipina dan Taiwan.Â
Dan secara rasional kita bertanya, mengapa egoisme semua negara bukan adidaya ini selalu tidak menginginkan sama sekali untuk beraliansi integrasi kekuatan, supaya  mengerikan untuk menandingi negara yang sewenang wenang dan main serang seenaknya sendiri? Sudah berapa kali setiap negara itu masih harus kehilangan terus wilayah dan pulaunya? Atau kehilangan kesempatan kerjasama mengembangkan industri dan menemukan senjata baru bersama sama dengan partner aliansinya?
Kesimpulan, bahwa dalam konflik global yang semakin kompleks, kekuatan deterrent---atau kemampuan untuk mencegah serangan melalui ancaman balasan yang kuat---lebih disegani daripada independensi yang rapuh. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina, serta dinamika militer antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, menunjukkan bahwa unjuk kekuatan militer dan strategi preemptive strike menjadi alat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan global. Sementara negara-negara otoriter seperti Rusia dan China berusaha merusak prinsip-prinsip demokrasi, mereka sering kali gagal memahami bahwa demokrasi yang kuat justru dapat mengendalikan kekuatan besar agar tidak disalahgunakan.
Amerika Serikat, melalui pengungkapan yang jarang terjadi tentang lokasi kapal selam nuklirnya, memberikan pesan tegas bahwa mereka siap menghadapi ancaman dari negara-negara yang mencoba memperluas kekuasaan mereka dengan cara yang sewenang-wenang. Namun, di balik aksi-aksi militer ini, demokrasi Amerika tetap menjadi pengaman untuk mencegah penggunaan kekuatan yang tidak terkendali.
Kesimpulan ini juga menyoroti pentingnya aliansi internasional yang kuat. Negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer yang besar perlu mempertimbangkan untuk berintegrasi dan beraliansi dengan kekuatan lain, sehingga dapat mengimbangi ancaman dari negara-negara adidaya yang bertindak semena-mena. Dengan demikian, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: mengapa banyak negara masih enggan membentuk aliansi yang kuat untuk melindungi kedaulatan mereka dan mencegah hilangnya wilayah atau kesempatan kerjasama strategis? Kekuatan yang terintegrasi dapat menjadi penangkal yang efektif terhadap agresi dan dominasi yang tidak adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H