Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Benteng Demokrasi dan Aliansi Militer Mengerikan Bagi Agresor Adidaya

22 Agustus 2024   02:56 Diperbarui: 22 Agustus 2024   05:31 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sempat dalam beberapa kejadian berlalu, yang juga terjadi dengan China waktu berupaya keras mencaplok wilayah dan menyerang semua negara kecil di laut China Selatan termasuk kepulauan Natuna Indonesia. Dan puncaknya waktu China mengepung dan menyerang Taiwan. Maka proyek preemptive strike tersebut dilancarkan AS dengan mengganggu kapal kapal perang China, menghambat ekspor atau impor China ke AS dan Eropa, mencegah China menguasai teknologi Nano Chip dengan puncaknya melarang produk Huawei dan menangkap direkturnya.  

Dalam tindakan militernya, Amerika Serikat memang kerap terlihat tegas dan menakutkan. Namun, untungnya, sistem demokrasi di AS tidak mengizinkan penggunaan kekuatan besar itu secara sewenang-wenang. Kongres AS berfungsi sebagai benteng demokrasi yang memastikan bahwa kekuatan tersebut tidak disalahgunakan, kecuali jika prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri telah hancur. Itulah yang coba dilakukan oleh Rusia, China, dan Iran---mereka berupaya merusak demokrasi. Namun, mereka gagal memahami bahwa merusak demokrasi di AS bisa menjadi bumerang, di mana kekuatan yang tak terkendali justru dapat berbalik menyerang mereka sendiri.

Bagi orang awam, unjuk kekuatan militer AS mungkin terlihat tidak mencolok, sering kali dilakukan secara rahasia dan terselubung, seperti strategi kapal selam nuklir yang selalu dirahasiakan. Namun, pengungkapan lokasi kapal selam nuklir kali ini sengaja dilakukan untuk menghentikan arogansi Rusia, yang seringkali bersikap kasar dan brutal terhadap negara-negara kecil dengan menghancurkan kota-kota beserta isinya, seperti yang terjadi di Grozny (Chechnya), Aleppo (Suriah), dan berbagai kota di Ukraina. 

Tujuan Rusia adalah agar negara-negara kecil tunduk pada Putin, namun Putin tampaknya lupa bahwa masih ada NATO. Begitu pula dengan China yang mungkin lupa bahwa Amerika Serikat dengan armada Pasifiknya masih siap menghadapi setiap ancaman pada negara dengan militer terbatas seperti Indonesia, Filipina dan Taiwan. 

Dan secara rasional kita bertanya, mengapa egoisme semua negara bukan adidaya ini selalu tidak menginginkan sama sekali untuk beraliansi integrasi kekuatan, supaya  mengerikan untuk menandingi negara yang sewenang wenang dan main serang seenaknya sendiri? Sudah berapa kali setiap negara itu masih harus kehilangan terus wilayah dan pulaunya? Atau kehilangan kesempatan kerjasama mengembangkan industri dan menemukan senjata baru bersama sama dengan partner aliansinya?

Kesimpulan, bahwa dalam konflik global yang semakin kompleks, kekuatan deterrent---atau kemampuan untuk mencegah serangan melalui ancaman balasan yang kuat---lebih disegani daripada independensi yang rapuh. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina, serta dinamika militer antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, menunjukkan bahwa unjuk kekuatan militer dan strategi preemptive strike menjadi alat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan global. Sementara negara-negara otoriter seperti Rusia dan China berusaha merusak prinsip-prinsip demokrasi, mereka sering kali gagal memahami bahwa demokrasi yang kuat justru dapat mengendalikan kekuatan besar agar tidak disalahgunakan.

Amerika Serikat, melalui pengungkapan yang jarang terjadi tentang lokasi kapal selam nuklirnya, memberikan pesan tegas bahwa mereka siap menghadapi ancaman dari negara-negara yang mencoba memperluas kekuasaan mereka dengan cara yang sewenang-wenang. Namun, di balik aksi-aksi militer ini, demokrasi Amerika tetap menjadi pengaman untuk mencegah penggunaan kekuatan yang tidak terkendali.

Kesimpulan ini juga menyoroti pentingnya aliansi internasional yang kuat. Negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer yang besar perlu mempertimbangkan untuk berintegrasi dan beraliansi dengan kekuatan lain, sehingga dapat mengimbangi ancaman dari negara-negara adidaya yang bertindak semena-mena. Dengan demikian, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: mengapa banyak negara masih enggan membentuk aliansi yang kuat untuk melindungi kedaulatan mereka dan mencegah hilangnya wilayah atau kesempatan kerjasama strategis? Kekuatan yang terintegrasi dapat menjadi penangkal yang efektif terhadap agresi dan dominasi yang tidak adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun