Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kampanye Populis Menampilkan Beyonce, Stevie Wonder & John Legend

21 Agustus 2024   23:45 Diperbarui: 22 Agustus 2024   07:56 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang musim debat politik panas dan saling menunjukan siapa yang paling benar merakyat dalam masa kampanye, jangan heran kalau mendengar berbagai label atau cap untuk menilai seseorang atau suatu partai. Di dalam dunia politik praktis, semuanya tidak peduli dengan kesantunan, karena tidak perlu ada rasa berdosa dan bersalah karena telah menjerumuskan bangsa, atau merusak partai atau menghancurkan karakter seorang figur publik. Bahkan dalam monetisasi YouTube dikatakan bahwa mentargetkan seorang figur publik untuk dicemarkan atau dikritik sehabis-habisnya diklasifikasikan dalam policy yang Safe Ads atau sah dan fair fair saja. 

Untuk membatasi pembahasan disini dalam alat bantu politik, kita akan coba bandingkan atau  mempertentangkan populisme lawan sebuah label baru, yaitu neo-populisme. Secara umum, penggunaan istilah "neo" artinya menandai pemutakhiran, modernisasi, kontemporer, penghidupan kembali atau pembaruan ideologi lama atau menyegarkan gerakan yang dirasa usang. 

Seperti neo kolonialisme, neo lib dan neo marxisme. Karena memakai istilah neo atau modern, maka menggunakan perangkat tekno atau smart yang secara kreatif melibatkan teknik media, juga membuat strategi supaya viral sedunia, dan dikerjakan oleh profesional dengan ukuran indikator kunci keberhasilannya. 

Walaupun di zaman serba mutakhir ini, karena keterbatasan pengetahuan dan sumber daya maka hanya sebatas menggunakan media sosial saja. Gerakan politik yang masih sederhana, kemungkinan tidak menggunakan teknik media yang spektakuler, dan mungkin masih tidak viral dan tidak berpikir untuk global, bahkan tidak memakai ukuran indikator kunci keberhasilan segala. 

Lain lagi dengan misalnya yang mengadopsi cap neo dengan arti kata yang sebenarnya, seperti di AS. Mereka menggunakan semua cara dan dana untuk menyelenggarakan label neo secara kompleks dan utuh, untuk mencapai tingkat keberhasilan yang lebih menjanjikan dan selalu bisa diukur dengan segala metrik, yang salah satunya dengan teknik statistik. Ini tentunya untuk menembus segala keterbatasan orang awam, maka dengan metrik statistik dan ilmu psikologi masa dan legalitas kita dapatkan strategi neo yang lebih fantastis hasilnya.

Selanjutnya akan kita bahas yang lebih dasar atau terbatas saja dalam hal definisi tanpa melibatkan statistik, psikologi masa maupun celah legalitas yang bisa mencurangi dan akhirnya digunakan untuk memenangkan pemilihan umum. Mungkin tulisan pembahasan teknik dan strategi pemenangan pemilu "neo" juga ada baiknya akan kita bahas juga.

Populisme: Populisme: Suara Rakyat Melawan Kaum Elite

Populisme adalah sebuah istilah yang sering kita dengar dalam dunia politik, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Namun, apa sebenarnya populisme itu? Dalam pengertian yang paling sederhana, populisme merujuk pada serangkaian sikap politik yang menekankan pentingnya "rakyat wong cilik" dan sering kali mempertentangkan kelompok ini dengan "kaum elite atau penguasa jahat dan korup." Korup dalam arti luas yang termasuk di dalamnya korupsi jabatan, korupsi uang, korupsi kekuasaan, dan lain lainnya. Gagasan ini muncul pada abad ke-19 dan telah diterapkan pada berbagai politisi, partai, dan gerakan sejak saat itu. Umumnya dalam kondisi rakyat yang pas pasan atau serba kekurangan dalam arti gap antara kaya dan miskin lebar, yang direpresentasikan dengan indikator statistik koefisien Gini 

Inti dari Populisme

Pendekatan ideologis yang umum digunakan untuk memahami populisme adalah apa yang dikenal sebagai pendekatan ideasional. Pendekatan ini mendefinisikan populisme sebagai sebuah ideologi yang menggambarkan "rakyat" sebagai kekuatan yang secara moral baik dan mempertentangkannya dengan "kaum elite" yang dianggap korup dan hanya mementingkan diri sendiri. Namun, siapa sebenarnya "rakyat" itu? Kalau di AS aslinya ada yang menggolongkannya pekerja kerah biru sebagai pekerja kasar dan kerah putih berdasi sebagai pekerja kantoran elit. Jaman sekarang tidak berlaku tetapi masih sering dipakai untuk menandai, ada pekerja bank berkerah putih dan berdasi dengan tingkat gaji minimum. 

Sedangkan tukang A/C atau HVAC bersertifikat bergaji 3 kali pegawai bank. Atau waitress pelayan restoran bergaji 3 kali lipat dari pegawai bank di AS. Definisi ini bisa bervariasi, tergantung pada kelas sosial, etnis, atau garis nasional. Seperti yang dijelaskan oleh Jan-Werner Mller, seorang ahli dalam studi populisme, para populislah yang menentukan siapa yang dianggap sebagai "rakyat pribumi sejati." Sebagai efek yang dipakai untuk melabeli siapa pun yang tidak mau bersatu menurut syarat populis akan sepenuhnya ditandai sebagai pengkhianat bangsa atau asing dan aseng.

Retorika dan Strategi Populisme

Para populis biasanya menggambarkan "kaum elite" sebagai gabungan dari berbagai lapisan, termasuk politik, ekonomi, budaya, dan media. Mereka menggambarkan elite ini sebagai entitas yang homogen dan menuduh mereka hanya mementingkan kepentingan sendiri atau kelompok-kelompok tertentu---seperti perusahaan besar, negara asing, atau imigran---di atas kepentingan "rakyat." Namun, Mller mengingatkan kita bahwa tidak semua orang yang mengkritik elite otomatis menjadi populis. Kritik terhadap elite bisa menjadi tanda keterlibatan demokratis yang baik, selama dilakukan dengan tujuan untuk mengawasi kekuasaan.

Yang membedakan populis adalah klaim mereka bahwa mereka, dan hanya mereka, yang benar-benar mewakili "rakyat sejati" atau "mayoritas yang diam." Akibatnya, mereka mengecam semua pesaing politik lainnya sebagai tidak sah secara fundamental. Konflik politik bagi populis bukan hanya soal kebijakan atau nilai, tetapi segera dipersonalisasi dan dimoralisaikan. Mereka menggambarkan pihak lain sebagai "korup" dan "curang," yang tidak bekerja untuk "rakyat," tetapi hanya untuk kepentingan mereka sendiri atau kelompok elit lainnya.

Pemimpin Karismatik dan Penggabungan Ideologi

Gerakan populis sering kali dipimpin oleh tokoh kharismatik yang mendeklarasikan diri mereka sebagai "suara rakyat." Menurut pendekatan ideasional, populisme sering kali digabungkan dengan ideologi lain, seperti nasionalisme, liberalisme, atau sosialisme. Ini berarti bahwa populis dapat ditemukan di berbagai spektrum politik, baik di kiri maupun di kanan, dan ada populisme sayap kiri serta populisme sayap kanan.

Sebagian ilmuwan sosial mendefinisikan populisme secara berbeda. Beberapa menganggapnya sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, sementara yang lain melihatnya sebagai kekuatan sosial yang membebaskan, melalui mana kelompok-kelompok yang terpinggirkan menantang struktur kekuasaan yang dominan. Namun, bagi Mller, indikator krusial dari populisme bukanlah sentimen anti-kemapanan yang kabur. Yang lebih penting adalah anti-pluralisme para populis: mereka selalu mengecualikan pada dua tingkat---pada tingkat politik partai, mereka menyatakan diri sebagai satu-satunya wakil sah rakyat, dan pada tingkat rakyat itu sendiri, mereka yang tidak berbagi konstruksi simbolik "rakyat sejati" juga akan dikesampingkan.

Dampak Populisme pada Demokrasi

Populisme dapat merusak budaya politik demokratis bahkan jika mereka tidak pernah berkuasa. Ketika populis tidak berhasil dalam pemilu, mereka sering kali mengklaim bahwa mereka sebenarnya adalah wakil sah satu-satunya rakyat, namun gagal meraih mayoritas suara karena adanya manipulasi oleh elite korup di balik layar. Dalam konteks ini, populis lebih cenderung menyatakan bahwa ada "mayoritas yang terbungkam" yang tidak dapat mengungkapkan diri karena suatu halangan.

Dalam kasus-kasus di mana populis berhasil meraih kekuasaan, mereka sering kali bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi. Mereka cenderung merongrong lembaga-lembaga independen seperti media atau peradilan yang dianggap menghalangi "kehendak rakyat." Di Eropa, populisme otoriter telah menjadi kekuatan ideologis ketiga dalam politik, mengancam demokrasi liberal dalam jangka panjang.

Namun, seperti yang diingatkan oleh Jordan Kyle dan Brett Meyer dalam sebuah laporan, populis bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan atas melemahnya komitmen terhadap demokrasi liberal. Populisme muncul ketika ada masalah sosial dan ekonomi yang nyata yang perlu diselesaikan, dan ketika partai-partai yang seharusnya mewakili rakyat gagal menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut dalam waktu yang lama.

abcnews.com/Obama Populis 
abcnews.com/Obama Populis 

Kesimpulan

Populisme adalah fenomena yang kompleks dan multifaset, yang muncul dari ketidakpuasan terhadap kondisi politik dan sosial yang ada. Meskipun sering kali menampilkan dirinya sebagai suara sejati "rakyat," populisme dapat merusak tatanan demokrasi dengan cara yang subtil namun signifikan. Pada akhirnya, populisme tidak hanya soal kritik terhadap elite, tetapi juga tentang bagaimana retorika tersebut digunakan untuk mengecualikan, memecah belah, dan memusatkan kekuasaan pada segelintir individu yang mengklaim diri sebagai perwakilan sah satu-satunya rakyat.

Contoh paling Populis adalah Obama yang baru saja berpidato tadi malam di Chicago 8/20/2024 dalam konvensi partai Demokrat untuk mendukung nominasi Kamala Harris dan Tim Walz sebagai Capres dan Cawapres. Dalam pidatonya, seperti biasa Obama membahas tentang jangan cuma berpesta tapi mencoblos untuk membela rakyat biasa. Ditambahkan pula Obama ikut kampanye untuk memenangkan Kamala yang telah berjanji membuat perekonomian menjadi murah terjangkau, dengan bukti beberapa harga obat yang sudah tinggal 30^ harganya, juga membuat kesehatan dan perumahan terjangkau. Benar benar populis, dan untungnya mereka selalu berhasil memenuhi janjinya, seperti yang sudah dikerjakan Kamala pada saat ini sebagai bukti nyata.

Untuk membuktikan kepopularitasan partai Demokrat yang mendunia, maka sudah ditampilkan Lil Jon  menghibur konvensi partai ini dengan “Turn Down for What” dan hari ini 21/8/2024 akan tampil Stevie Wonder, John Legend dan besok 23/8/2024 akan tampil Pink dan selanjutnya akan juga tampil mengguncang panggung Beyonce. Belum di luar panggung taylor Swift juga sudah mengisyaratkan akan tetap berafiliasi dengan partai demokrat. Disamping itu strategi populis juga berhasil menggaet anggota partai sebelah, yang juga telah ditampilkan sebagian pimpinan partai Republik yang berderet deret berorasi dan menyatakan pindah dan mendukung Kamala Harris. Jadi kelihatan sekali tanda kekalahan pemilu presiden, ketika ada tanda berpindahnya anggota PDIP dan mendukung Jokowi, sayangnya karena alasan yang komersial dan bukan alasan demokrasi, konstitusi, norma dan etika. Semuanya bisa disaksikan secara live dari YouTube dengan memasukkan kata: dnc convention 2024 live search. Siapa tahu ada penggiat politik atau penggiat orasi, event organizer, departemen luar negeri yang ingin memanfaatkan arah pemerintahan Kamala Harris dan musik kelas dunia.

Neo-Populisme: 

Sebuah Fenomena Neo-Populisme Global yang Berkembang

Neo-populisme adalah sebuah istilah yang kompleks dan sering kali sulit didefinisikan secara spesifik karena sifatnya yang polimorfik---berubah sesuai dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi dari masing-masing negara. Namun, pada intinya, neo-populisme dapat dipahami sebagai sebuah gerakan politik dan budaya yang muncul sebagai respon terhadap globalisasi dan perubahan struktur sosial-ekonomi tradisional.

Kebangkitan Neo-Populisme

Menurut Nakatani Yoshikazu, neo-populisme mulai menonjol pada pertengahan 1990-an, terutama setelah runtuhnya Tembok Berlin dan Uni Soviet. Peristiwa ini menandai berakhirnya Perang Dingin dan awal dari era globalisasi yang semakin pesat. Globalisasi membawa reformasi besar pada struktur sosial-ekonomi di berbagai negara, yang sering kali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan inilah yang menjadi lahan subur bagi tumbuhnya neo-populisme.

Neo-populisme berbeda dari populisme klasik abad ke-20. Ia menggabungkan elemen-elemen yang sebelumnya dianggap bertentangan---seperti sikap sayap kiri dan sayap kanan---dan menggunakan media elektronik sebagai sarana penyebaran ideologi. Di Amerika Latin, misalnya, neo-populisme sering kali berinteraksi dengan kebijakan neo-liberal, menciptakan apa yang disebut sebagai "konvergensi tak terduga" antara dua ideologi yang secara tradisional berlawanan.

Karakter Politik Neo-Populisme

Karakter politik neo-populisme sangat dipengaruhi oleh liberalisme politik dan nasionalisme. Yoshikazu menjelaskan bahwa neo-populisme tidak hanya bergetar bersama dengan nasionalisme, tetapi juga dengan proyek negara neoliberal, selama proyek tersebut melibatkan dampak terhadap rekonstruksi struktur sosial-ekonomi. Ini berarti bahwa neo-populisme sering kali mendukung kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar, namun tetap mempertahankan retorika nasionalis yang kuat untuk menarik dukungan massa.

Menurut Victor Armony, kombinasi antara neoliberalisme dan populisme di Amerika Latin menciptakan "paradoks baru". Meskipun kedua ideologi ini tampak bertentangan, dalam praktiknya, mereka dapat bekerja bersama dengan baik. Neo-populisme di sini muncul sebagai "suprastruktur" yang membantu meredam resistensi masyarakat terhadap reformasi pasar yang mahal dan sering kali tidak populer.

Kurt Weyland menambahkan bahwa ada "afinitas tak terduga" antara neoliberalisme dan neo-populisme. Ia menjelaskan bahwa inti dari populisme adalah strategi politik yang melibatkan pemimpin yang karismatik dan langsung berhubungan dengan massa pengikutnya. Dalam konteks ini, neo-populisme memungkinkan para pemimpin untuk memusatkan kekuasaan di puncak negara dan mendapatkan dukungan rakyat dengan menjanjikan pemulihan ekonomi dan keamanan nasional.

Neo-Populisme sebagai Reaksi terhadap Globalisasi

Neo-populisme sering kali muncul sebagai reaksi terhadap globalisasi. Di banyak negara, terutama di Barat, globalisasi dianggap sebagai ancaman terhadap identitas nasional dan kesejahteraan ekonomi. Brexit di Inggris dan Trumpisme di Amerika Serikat adalah contoh nyata dari fenomena ini. Kedua gerakan ini didorong oleh ketakutan terhadap globalisasi dan keinginan untuk mengembalikan "kedaulatan nasional."

Namun, Yoshikazu mengingatkan bahwa neo-populisme tidak boleh disamakan dengan populisme tradisional. Meskipun populisme dapat menjadi kondisi yang diperlukan untuk perkembangan demokrasi, neo-populisme sering kali membawa dampak negatif, terutama dalam bentuk nasionalisme eksklusif dan kecenderungan otoriter. Neo-populisme kanan, misalnya, cenderung menekankan keamanan nasional dan kemakmuran ekonomi internal, sementara secara bersamaan meminggirkan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai "ancaman" terhadap stabilitas nasional.

Kesimpulan

Neo-populisme adalah fenomena yang kompleks dan multifaset, yang muncul sebagai reaksi terhadap globalisasi dan perubahan sosial-ekonomi yang cepat. Meskipun sering kali berinteraksi dengan ideologi neoliberal, neo-populisme tetap mempertahankan karakteristik populasinya dengan fokus pada pemimpin karismatik dan retorika nasionalis. Dalam konteks ini, neo-populisme dapat dilihat sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi saat ini, namun dengan potensi untuk membawa dampak negatif, terutama dalam bentuk nasionalisme eksklusif dan otoritarianisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun