Retorika dan Strategi Populisme
Para populis biasanya menggambarkan "kaum elite" sebagai gabungan dari berbagai lapisan, termasuk politik, ekonomi, budaya, dan media. Mereka menggambarkan elite ini sebagai entitas yang homogen dan menuduh mereka hanya mementingkan kepentingan sendiri atau kelompok-kelompok tertentu---seperti perusahaan besar, negara asing, atau imigran---di atas kepentingan "rakyat." Namun, Mller mengingatkan kita bahwa tidak semua orang yang mengkritik elite otomatis menjadi populis. Kritik terhadap elite bisa menjadi tanda keterlibatan demokratis yang baik, selama dilakukan dengan tujuan untuk mengawasi kekuasaan.
Yang membedakan populis adalah klaim mereka bahwa mereka, dan hanya mereka, yang benar-benar mewakili "rakyat sejati" atau "mayoritas yang diam." Akibatnya, mereka mengecam semua pesaing politik lainnya sebagai tidak sah secara fundamental. Konflik politik bagi populis bukan hanya soal kebijakan atau nilai, tetapi segera dipersonalisasi dan dimoralisaikan. Mereka menggambarkan pihak lain sebagai "korup" dan "curang," yang tidak bekerja untuk "rakyat," tetapi hanya untuk kepentingan mereka sendiri atau kelompok elit lainnya.
Pemimpin Karismatik dan Penggabungan Ideologi
Gerakan populis sering kali dipimpin oleh tokoh kharismatik yang mendeklarasikan diri mereka sebagai "suara rakyat." Menurut pendekatan ideasional, populisme sering kali digabungkan dengan ideologi lain, seperti nasionalisme, liberalisme, atau sosialisme. Ini berarti bahwa populis dapat ditemukan di berbagai spektrum politik, baik di kiri maupun di kanan, dan ada populisme sayap kiri serta populisme sayap kanan.
Sebagian ilmuwan sosial mendefinisikan populisme secara berbeda. Beberapa menganggapnya sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, sementara yang lain melihatnya sebagai kekuatan sosial yang membebaskan, melalui mana kelompok-kelompok yang terpinggirkan menantang struktur kekuasaan yang dominan. Namun, bagi Mller, indikator krusial dari populisme bukanlah sentimen anti-kemapanan yang kabur. Yang lebih penting adalah anti-pluralisme para populis: mereka selalu mengecualikan pada dua tingkat---pada tingkat politik partai, mereka menyatakan diri sebagai satu-satunya wakil sah rakyat, dan pada tingkat rakyat itu sendiri, mereka yang tidak berbagi konstruksi simbolik "rakyat sejati" juga akan dikesampingkan.
Dampak Populisme pada Demokrasi
Populisme dapat merusak budaya politik demokratis bahkan jika mereka tidak pernah berkuasa. Ketika populis tidak berhasil dalam pemilu, mereka sering kali mengklaim bahwa mereka sebenarnya adalah wakil sah satu-satunya rakyat, namun gagal meraih mayoritas suara karena adanya manipulasi oleh elite korup di balik layar. Dalam konteks ini, populis lebih cenderung menyatakan bahwa ada "mayoritas yang terbungkam" yang tidak dapat mengungkapkan diri karena suatu halangan.
Dalam kasus-kasus di mana populis berhasil meraih kekuasaan, mereka sering kali bertanggung jawab atas kemunduran demokrasi. Mereka cenderung merongrong lembaga-lembaga independen seperti media atau peradilan yang dianggap menghalangi "kehendak rakyat." Di Eropa, populisme otoriter telah menjadi kekuatan ideologis ketiga dalam politik, mengancam demokrasi liberal dalam jangka panjang.
Namun, seperti yang diingatkan oleh Jordan Kyle dan Brett Meyer dalam sebuah laporan, populis bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan atas melemahnya komitmen terhadap demokrasi liberal. Populisme muncul ketika ada masalah sosial dan ekonomi yang nyata yang perlu diselesaikan, dan ketika partai-partai yang seharusnya mewakili rakyat gagal menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut dalam waktu yang lama.