kebijakan ekonomi, dan keterlibatan diplomatik selama beberapa dekade. Berikut adalah catatan kronologis untuk menggambarkan kompleksitas dalam membangun hubungan cinta dan benci ini.
Hubungan antara Tiongkok dan A.S. telah mengalami pasang surut yang signifikan, ditandai dengan periode kerja sama dan ketegangan yang meningkat, dibentuk oleh tindakan militer strategis,Narasi Hubungan China dan Amerika Serikat
1970-an: Awal Hubungan Baik
Pada tahun 1976, strategi militer Deng Xiaoping ditandai dengan pendekatan yang hati-hati, karena masih memandang AS sebagai musuh. Dan pada tahun 1979, Deng Xiaoping mengunjungi Presiden Jimmy Carter dan menandatangani beberapa perjanjian penting. Deng berbicara tentang situasi geopolitik di Asia, mengkritik hubungan Soviet dengan Vietnam, dan mencari dukungan AS untuk mencegah intervensi Soviet selama serangan China terhadap Vietnam. Kunjungan ini menandai sejarah China mulai membuka pintu bagi pertukaran dan kerja sama dengan AS.  Ini adalah strategi Deng yang lebih luas bertujuan untuk memodernisasi ekonomi China dengan belajar dari kemajuan industri dan teknologi global Amerika, meskipun ada ketegangan yang mendasarinya. Semua ini dilakukan setelah melihat di seberang perbatasan terjadi perkembangan industri yang cepat dari Korea Selatan dan Jepang, yang masing masing mendapatkan  akses yang luas ke pasar AS. Sehingga, lebih baik terlambat daripada tidak mengambil kesempatan dan memanfaatkan momen untuk maju bersama dengan tetangganya dalam hal kerjasama modernisasi teknologi, ekonomi dan pertahanan dengan AS. Jadi Deng Xiao Ping adalah pahlawan pendobrak dari semua kemajuan partner industri global China dan Amerika saat ini. Pada kunjungan itu dibahas beragam masalah yang rumit, seperti isu serius seperti hak asasi manusia dan kebijakan Satu Anak, tetapi juga meletakkan dasar bagi pertukaran diplomatik dan ekonomi di masa depan antara kedua negara.Â
1980-an: Ketegangan Hubungan yang Meninggi
Kematian mantan pemimpin partai Komunis penggagas demokratisasi China, Hu Yaobang pada tahun 1989 memicu kerusuhan besar. Mahasiswa berunjuk rasa di Tiananmen Square, menuntut reformasi demokratis yang lebih terbuka. Pada tanggal 13 Mei 1989, beberapa mahasiswa memulai aksi mogok makan, menginspirasi protes di seluruh China. Protes ini berlangsung dari 15 April hingga 4 Juni 1989, dan menjadi respons terhadap batasan kebebasan politik di China serta masalah ekonomi yang terus berlanjut. Protes-protes ini merupakan tanggapan terhadap frustasi yang telah lama membara dengan pembatasan kebebasan politik di Tiongkok, serta masalah ekonomi yang sedang berlangsung.Pemerintah China melaporkan 241 kematian, tetapi jurnalis investigatif memperkirakan sekitar 10.000 korban jiwa. Ekses dari protes yang mematikan ini panjang, karena para pelarian politik di luar negeri, sampai sekarang masih menerima ancaman dan menghadapi repatriasi untuk menghadapi hukuman berat.
Ketegangan ini menyebabkan beberapa negara Barat memberlakukan sanksi ekonomi dan embargo senjata terhadap China. Presiden George H.W. Bush juga melarang pengiriman senjata dan menghentikan pembicaraan tingkat tinggi dengan pejabat China. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan China-AS termasuk kerja sama militer dan bantuan senjata, semesra dengan Korea Selatan dan Jepang.
2000-an: Pemulihan Perdagangan Bebas
Pada tahun 2000, negara-negara Barat mulai terlibat lebih aktif dengan harapan pemulihan hubungan akan berefek pada demokratisasi China, liberalisasi ekonomi dan sosial untuk berkembang bersama-sama. Â Presiden George W. Bush, yang memprioritaskan keuntungan bisnis, karena sesuai garis partai Republik yang mendahulukan ekonomi diatas kemanusiaan, harus cepat berperan penting dalam mendorong perdagangan bebas dengan China, terutama saat China akan bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dia percaya bahwa perdagangan bebas dengan China akan menguntungkan Amerika Serikat dalam jangka panjang. Walaupun ada hambatan awal setelah tragedi Tiananmen Square, perdagangan antara China, Amerika Serikat, dan negara-negara lain meningkat pesat di era ini.
2010: Konflik Laut China Selatan
Selama masa kepresidenannya, Barack Obama menghadapi tantangan sikap ambigu China terhadap Korea Utara dan klaim maritimnya yang tegas. Respons China terhadap tindakan agresif Korea Utara dianggap tidak tegas oleh AS, yang menyebabkan Obama langsung menghadapi Presiden China Hu Jintao selama KTT G7 pada tahun 2010. Obama juga harus menengahi ketegangan di Laut China Selatan, terutama selama Forum Regional ASEAN di Hanoi. Klaim teritorial luas China, yang bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, meningkat pada tahun 2011 dan 2012. Anggota ASEAN, termasuk Indonesia, menyatakan kekhawatiran signifikan tentang tindakan tegas China, seperti diplomasi senjata di dekat Kepulauan Natuna yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
2012: Kenaikan Xi Jinping dan Postur Militer
Pada tahun 2012, pidato Xi Jinping kepada Artileri Kedua China menyoroti kontinuitas dalam strategi militer China. Xi menekankan pentingnya mempertahankan kepercayaan pada Partai Komunis dan membangun militer untuk mempersiapkan konflik potensial, terutama dengan AS. Periode ini China mulai mempercepat program modernisasi militernya, dengan tujuan jangka panjang, yaitu mengembangkan kemampuan untuk menguasai Taiwan pada tahun 2027.
2019: Protest Hong Kong Â
Komisaris polisi Hong Kong, mengatakan unjuk rasa tersebut merupakan adegan paling brutal di kota ini. Setidaknya 25 petugas terluka dalam protes tersebut. Seorang pria berusia 18 tahun jadi korban tembak  polisi, malah ditangkap atas tuduhan menyerang seorang petugas, kata komisaris polisi Stephen Lo Wai Chung. Pria tersebut masih menjalani perawatan di rumah sakit, kata komisaris kepada wartawan. Seorang jurnalis Indonesia, Veby Mega Indah (39), juga menjadi korban, ketika matanya ditembak polisi saat meliput sebuah protes di Hong Kong pada 29 September 2019. Akibat insiden ini, Veby menjadi buta permanen pada mata kanannya. Saat kejadian, Veby mengenakan perlengkapan pers dan berdiri di jembatan penyeberangan yang menghubungkan Immigration Tower dengan stasiun MTR Wan Chai. Selain kebutaan, ia juga mengalami luka di bagian dahi dan mata. Meskipun cedera yang dideritanya sangat parah, Veby tetap bertekad untuk menuntut keadilan dengan meminta aparat mengidentifikasi petugas yang bertanggung jawab atas cedera yang dialaminya. Kasus Veby menyoroti pentingnya memperjuangkan keadilan tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga bagi semua orang yang terluka di Hong Kong dan tidak dapat melakukan hal yang sama.
Amerika Serikat telah menyatakan keprihatinan mendalam mengenai penahanan aktivis pro-demokrasi di Hong Kong di bawah undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan oleh Beijing. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyerukan pembebasan aktivis yang ditahan dan mengumumkan langkah-langkah untuk memberlakukan pembatasan visa baru terhadap pejabat China daratan dan Hong Kong yang bertanggung jawab atas pelaksanaan undang-undang tersebut. Secara lebih luas, AS mengecam undang-undang keamanan nasional baru di Hong Kong sebagai alat yang berpotensi membungkam perbedaan pendapat baik di dalam maupun di luar negeri. Tindakan dari pemerintahan Trump tampak terbatas, hanya memberlakukan pembatasan visa pada sejumlah pejabat Hong Kong yang tidak disebutkan namanya sejauh ini.
Protes di Hong Kong pada tahun 2019 menunjukkan adegan kekerasan yang signifikan. AS menyatakan keprihatinan mendalam tentang penangkapan aktivis pro-demokrasi di Hong Kong di bawah undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan oleh Beijing. Pemerintah AS mengumumkan pembatasan visa baru pada pejabat China dan Hong Kong yang bertanggung jawab atas implementasi undang-undang tersebut. Tindakan dari pemerintahan dari partai Republik di bawah Trump tidak jelas, karena seperti biasanya dia memihak pada diktator, terbukti dengan hanya pura pura menghukum pembatasan visa pada sejumlah pejabat Hong Kong yang tidak pernah disebutkan namanya sejauh ini.Â
2020-an: Perang Dingin Baru
Pasca pandemi, ketidakstabilan ekonomi, dan isu-isu iklim mengubah lanskap global menjadi teka-teki Rubik enam dimensi yang melibatkan tantangan ekonomi, militer, politik, perdagangan, teknologi, dan transkontinental. Konflik yang meningkat antara China dan AS, dua ekonomi terbesar dunia, mencakup semua dimensi ini. Perkembangan terkini menyoroti pentingnya diplomasi strategis untuk menghindari provokasi.
Dukungan Ekonomi dan Diplomatik yang Berkelanjutan
Hubungan AS-China juga tegang karena "Kebijakan Satu China," yang mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya perwakilan sah China. Tindakan terbaru AS, seperti janji Presiden Joe Biden untuk mendukung militer Taiwan dan kunjungan pejabat AS, meningkatkan ketegangan dengan China. Ketidakpercayaan antara kedua negara terus berkembang, didorong oleh tindakan non-administratif yang mendukung Taiwan.
Tensi Ekonomi dan Dampak Global
Aspek ekonomi hubungan AS-China juga mengalami ketegangan. Perang dagang dan larangan chip semikonduktor yang dibuat di Taiwan memperburuk masalah ini. Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mempertahankan larangan tersebut sebagai penting untuk keamanan nasional, menekankan bahwa perdagangan bilateral mencapai rekor tertinggi meskipun ada ketegangan ini.
2022: Invasi Rusia ke Ukraina
Pemerintahan Xi Jinping memberikan dukungan diplomatik dan ekonomi kepada Rusia setelah invasi ke Ukraina pada tahun 2022, yang memicu salah satu krisis keamanan terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II. Pemimpin China menghadapi seruan berulang dari AS dan Eropa untuk menggunakan persahabatan "tanpa batas" dengan Presiden Vladimir Putin untuk membantu mengakhiri konflik.
TikTok dan Pengaruh Geopolitik
Kontroversi mengenai algoritma TikTok semakin meningkat, terutama terkait dampaknya terhadap dinamika politik global. Di pasar AS, TikTok dituduh memperbesar dukungan untuk Hamas melawan Israel. Representative Mike Gallagher menyebut TikTok sebagai "digital fentanyl," yang memanipulasi pengguna muda Amerika untuk mendukung Hamas karena sifatnya yang adiktif dan dugaan kontrol oleh Partai Komunis China (CCP). Sentimen ini didukung oleh komentator lain yang menyoroti kecenderungan platform ini untuk membiarkan konten pro-Hamas menjadi viral sementara menekan suara pro-Israel, menunjukkan kemungkinan adanya bias dalam algoritma itu sendiriÂ
Di China, TikTok yang dikenal sebagai Douyin, mempromosikan konten yang mendukung Partai Komunis China (CCP). Ini difasilitasi oleh struktur tata kelola ByteDance, perusahaan induk TikTok, di mana Zhang Fuping, kepala komite CCP ByteDance, memainkan peran penting. Pendekatan ganda ini mencerminkan bagaimana kebijakan konten TikTok sangat berbeda di setiap pasar, mempromosikan perpecahan di AS sementara meningkatkan sentimen nasionalis di China. Kekhawatiran utama adalah bahwa praktik-praktik ini memperburuk ketegangan antara AS dan China, karena TikTok tidak hanya dilihat sebagai platform media sosial tetapi juga sebagai alat pengaruh geopolitik yang digunakan oleh CCP untuk melemahkan masyarakat AS dan menciptakan perpecahan
Penutup
Hubungan AS-China telah mengalami pasang surut yang signifikan, ditandai oleh periode kerja sama mesra dan ketegangan yang meningkat. Dinamika ini melibatkan dimensi militer, ekonomi, politik, dan teknologi. Kedua negara terus menavigasi hubungan yang rumit ini, dan komunitas internasional tetap waspada terhadap potensi implikasi bagi stabilitas dan perdamaian global. Kebutuhan akan diplomasi strategis, pemahaman bersama, dan pengelolaan yang hati-hati dari hubungan bilateral ini semakin kritis. Padahal hubungan ini pernah sangat erat dan mesra, berarti hubungan mesra ini pasti bisa dijalin kembali, walaupun membutuhkan pemimpin yang visioner dalam menangkap  kesempatan dan momentum yang sangat menguntungkan karena pasar dan keuangan dunia ada di AS.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H