2. Bos baru. Schultz, yang menghabiskan waktu puluhan tahun di Starbucks sebelum pensiun pada tahun 2018, kembali menduduki posisi teratas pada tahun 2022. Dia fokus memperbaiki masalah operasional, seperti peralatan yang mulai ketinggalan jaman dan tata letak toko, yang menurutnya telah memicu kampanye serikat pekerja. Kemudian dia  berjanji untuk menemukan solusi yang tepat, sekaligus penerusnya yang lebih cepat. Ternyata itu adalah Laxman Narasimhan, C.E.O. dari Reckitt, sebuah perusahaan produk konsumen yang berbasis di Inggris. Meskipun sedikit yang diketahui tentang perasaan Narasimhan terhadap serikat pekerja pada saat itu, pejabat perusahaan Starbucks yang kemudian bekerja dengannya memberitahuku bahwa ia mengambil pandangan pragmatis, seperti union di Inggris.  Dia percaya bahwa melibatkan serikat pekerja akan lebih murah dibandingkan melawannya. Pendiriannya berbeda dengan Schultz, yang memandang serikat pekerja sebagai suatu penghinaan terhadapnya secara pribadi. Tampaknya ini bertentangan dengan citra dirinya dulu sebagai bos yang murah hati, waktu bersama sama para pekerja kerasnya berjuang mati matian untuk memajukan Starbucks pada awal pertama kalinya.
3. Tekanan eksternal. Investor yang berpikiran sosial mendesak Starbucks untuk membuat laporan mengenai etika praktik ketenagakerjaan mereka. Ditemukan bahwa perusahaan telah gagal untuk memenuhi komitmennya terhadap hak-hak buruh. Koalisi serikat pekerja menghabiskan banyak uang untuk mendukung tiga kandidat ramah buruh untuk mendapatkan kursi di dewan direksi Starbucks. Dan kejadian terakhir, perusahaan tersebut menjadi sasaran protes dan boikot yang terkait dengan perang di Gaza, yang meningkat setelah Starbucks menggugat serikat pekerja tersebut atas postingan media sosial yang mendukung warga Palestina, maklum pemiliknya keturunan Yahudi.Â
Sulit untuk mengetahui seberapa besar perkembangan ini membebani perusahaan, namun Starbucks tampaknya menanggapinya dengan serius. Mereka mengumumkan komite dewan baru untuk mengawasi hubungan karyawan sesaat sebelum laporan ketenagakerjaan dirilis. Perusahaan memulai pembicaraan dengan serikat pekerja tentang cara menawar kontrak beberapa minggu sebelum jadwal pemungutan suara untuk calon dewan yang ramah buruh. Dan Narasimhan mendapat saran dari laporan pemungutan pendapat bahwa protes dan boikot mempunyai "dampak negatif" pada bisnis meskipun "didorong oleh pengaruh kesalahan persepsi lampau."Â
4. Bantuan pemerintah. Undang-undang ketenagakerjaan AS relatif masih lemah: Jika sebuah perusahaan memecat seorang karyawannya karena pengorganisasian serikat pekerja, Dewan Hubungan Perburuhan Nasional dapat meminta pembayaran kembali gaji selama mogok. Tapi mereka tidak bisa mengenakan denda kepada majikannya. Dan prosesnya seringkali memakan waktu bertahun-tahun. Tetap saja, N.L.R.B. cenderung lebih aktif dan kreatif di bawah pemerintahan menteri perburuhan dari partai Demokrat. Apalagi sekarang ini menjadi sangat aktif dan kreatif di bawah Presiden Biden yang sangat pro union bahkan sebagai presiden AS sering ikut demo buruh union. presiden yang luar biasa merakyatnya. Dewan tersebut mengeluarkan lebih dari 100 keluhan terhadap Starbucks dan mengajukan ke pengadilan untuk mempekerjakan kembali para pekerja yang telah dipecat secara tidak sah (meskipun Mahkamah Agung baru saja mengekang praktik ini). Dewan tersebut bahkan mengatakan akan mulai memerintahkan pendirian tetap union pekerja jika pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan yang dilakukan pengusaha mempengaruhi hasil pemilihan union pekerja. Meskipun Starbucks secara konsisten membantah melakukan kesalahan dan mengajukan banding atas temuan tersebut, tindakan dewan direksi merupakan sumber tekanan lain yang meningkatkan biaya bagi perusahaan dalam usaha Starbucks menggembosi serikat pekerja.
Kesimpulannya, perkembangan terkini di Starbucks menandakan potensi titik balik bagi union buruh di Amerika Serikat. Meskipun union pekerja secara historis meraih kemenangan signifikan dalam berbagai industri seperti otomotif dan hiburan, kunci kebangkitan yang lebih luas terletak pada pengorganisasian sektor-sektor baru dan membalikkan penurunan keanggotaan serikat pekerja yang telah lama terjadi.Â
Starbucks, yang secara aktif menolak upaya union pekerja, kini tampaknya siap untuk mencapai kesepakatan kontrak yang dapat mencakup aspek-aspek penting seperti upah, tunjangan, dan kebijakan disiplin. Pencapaian ini sangat penting mengingat upaya perusahaan di masa lalu untuk menggagalkan kegiatan union pekerja dan tantangan yang biasa dihadapi union pekerja dalam menegosiasikan kontrak. Kemajuan di Starbucks dapat menginspirasi gerakan serupa di industri non union buruh lainnya, khususnya di sektor makanan dan minuman.
Beberapa faktor berkontribusi terhadap perubahan ini, termasuk kampanye union pekerja yang terus-menerus didukung oleh dukungan publik yang luas, perubahan kepemimpinan di Starbucks yang membawa pendekatan yang lebih pragmatis terhadap hubungan kerja, dan tekanan eksternal dari para investor dan aktivis yang sadar sosial. Selain itu, sikap proaktif Dewan Hubungan Perburuhan Nasional di bawah pemerintahan saat ini telah meningkatkan bargaining position bagi perusahaan seperti Starbucks.
Situasi yang terjadi di Starbucks dapat menjadi preseden, mendorong lebih banyak pekerja untuk mencari perwakilan union pekerja dan berpotensi merevitalisasi gerakan buruh di Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H