Namun kenyataannya justru sebaliknya: mundurnya Gantz menghilangkan dorongan internal yang paling kuat untuk mencapai kesepakatan tersebut, dan menyerahkan posisi tersebut kepada partai-partai sayap kanan yang masih berada dalam koalisi. Sejak Biden mengumumkan usulan yang disetujui Netanyahu kepada publik, PM Israel selalu mendapat perlawanan dari dalam oleh partai sayap kanan untuk membatalkan resolusi damai.
Dengan tidak adanya Gantz lagi di dalam sidang kabinet, otomatis pengaruh mereka akan semakin besar. Lucunya malah Netanyahu yang kini menjadi tokoh moderat dalam koalisinya radikal yang sebagian besar mencerminkan ekstremnya koalisi tersebut.
Apa yang diinginkan oleh kelompok sayap kanan bukanlah sebuah rahasia: melawan Hamas sampai akhir, tidak peduli akan adanya kesepakatan yang menyandera mereka. Maka agenda selanjutnya adalah mengusir warga Gaza dan menduduki Jalur Gaza; menghentikan bantuan kemanusiaan ke wilayah kantong tersebut; kemudian selanjtnya meruntuhkan Otoritas Palestina, yang memerintah Tepi Barat; dan juga menyerang Lebanon, tempat asal kelompok teroris Hizbullah yang sekarang membombardir Israel. Terakhir ini menyebabkan evakuasi sekitar 60.000 warga Israel dari rumah mereka.
Presiden Biden mengancam dengan sanksi pejabat Israel yang tidak humanis. Sekarang presiden AS sedang mulai berupaya memberikan jeweran kuping pada Bibi, dimulai dari sasaran pertama sanksi Amerika ditujukan pada Itamar Ben-Gvir, menteri keamanan nasional yang radikal dan rekan dekatnya Bibi. Alasan sanksi pemerintah Amerika karena terutama dia adalah otak kekerasan terhadap warga Palestina. Tetapi Bibi tetap saja melawan Biden dengan tidak membuang-buang waktu setelah kepergian Gantz, segera saja anggota kabinetnya diisi dengan politisi sayap kanan lainnya. Dan bahkan mengancam akan mengakhiri Kebijakan Israel dalam memberikan bahan bakar dan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Sedangkan yang paling ekstrim, Bezalel Smotrich, menteri keuangan pernah ditelepon untuk "menghapus" desa Palestina.
Dengan kepergian Gantz, peran untuk mengimbangi suara-suara ini akan jatuh ke tangan tiga aktor: Mahkamah Agung Israel, yang secara teratur melakukan tindakan yang melampaui batas dalam penuntutan dalam upaya mendukung sayap kanan.
Biden telah beberapa kali menyerang kelompok sayap kanan dengan memberikan sanksi yang semakin berat, akan miripkah seperti sanksi kepada Rusia? Bahkan International Court of Justice dan beberapa negara Eropa sudah mulai membuat sanksi kepada semua pelanggar hak asasi manusia, tidak pandang bulu juga termasuk sanksi tegas kepada Hamas.
Akhir dari keruwetan politik ini membuka suatu kenyataan bahwa preferensi masyarakat Israel untuk damai tidak diprakarsai oleh pemerintah mereka. Kebanyakan orang Israel mendukung perjanjian gencatan senjata dan pembebasan sandera yang dipromosikan oleh Presiden Biden. Mayoritas ini menolak membuat Gaza menjadi daerah pemukiman kelompok Radikal Yahudi. Kebanyakan warga Israel ingin Netanyahu mundur dari jabatannya. Mundurnya Gantz, ikut memundurkan keterwakilan suara satu satunya dalam pemerintahan. Cara Gantz meningkatkan tekanan dari luar kabinet dengan memimpin demo protes publik besar besaran untuk mengadakan pemilu baru, seperti biasanya tidak efektif. Koalisi Kabinet tanpa Gentz akan menghadapi beberapa masalah intern, atau kohesinya terancam. Kita menunggu Hamas menerima kesepakatan gencatan senjata dan memaksa Netanyahu untuk memilih antara koalisinya atau sandera Israel yang tersisa.
Kesimpulan perkembangan terakhir ini adalah, seperti kata Blinken, bahwa Hamas bisa saja menerima draft resolusi yang ditawarkan Biden beberapa bulan lalu, dan berdamai seketika. Korban penculikan dikembalikan dan kekuasaan memerintah Hamas dipulihkan. Tetapi, apakah Hamas mau berhenti berperang dan menimbulkan kekacauan dan kematian rakyat Gaza yang menjadi tameng lapis pertama? Sekaligus hasil sandera atau hasil culikannya yang juga menjadi tameng lapis ke dua, kalau lapis pertama hancur? Mengapa Hamas memberikan legitimasi IDF untuk menyerangnya dengan cara memulai perang Gaza sejak 7 Oktober? Beberapa alasan yang menurut ahli terorisme adalah karena Hamas menggunakan cara ISIS tingkat tinggi. Yaitu menggunakan korban yang banyak tetapi mengalihkan pelakunya pada IDF, terbukti seluruh dunia mengutuk IDF bersama Bibi bahkan memasukkan Bibi sebagai penjahat kriminal perang. Salahkah Hamas menggunakan korban Gaza sebagai cara memancing Israel supaya melakukan state terrorism dengan kesadaran penuh? Melihat keberhasilan Hamas ini dalam memasukkan IDF dan Netanyahu sebagai penjahat kriminal perang, kemungkinan akan mengulangi keberhasilan ini sebagai model strategi perang mereka lagi. Dan di lain pihak, sejumlah keruwetan situasi politik tersebut rupanya juga malah dinikmati dan pemerintahan kabinet radikal Netanyahu masih akan melanjutkannya dengan lebih besar dan lebih meluas ke Lebanon dan Syria yang juga memberikan rong rongan pada pemerintah PLO di Tepi Barat. Dengan demikian tanah bersama Israel dan Palestina bisa diproyeksikan berpotensi memiliki perang abadi antara radikal Israel melawan radikal Palestina. Sedangkan rakyat biasa kedua belah pihak yang berada ditengah tengah yang dulunya mencari tempat aman dari kejaran Hitler di Eropa, kini harus melarikan diri lagi ke Eropa.
Kita hanya bisa memohon: “Semoga saja Hamas dan Netanyahu mempunyai hati yang damai, Amin.” Dan perdamaian itu bukalah isapan jempol belaka, karena terbukti Tuhan mendatangkan orang orang yang seperti Yasser Arafat dan Shimon Peres dan Yitzhak Rabin juga Jimmy Carter, bahkan mereka semua dianugerahi Hadiah Perdamaian Nobel. Kita tunggu saja adakah keinginan rakyat Palstina dan Israel juga Amerika untuk memilih pemimpin yang cinta damai saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H