Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan Alimuddin
Muhammad Ridwan Alimuddin Mohon Tunggu... -

Kuliah di UGM 1997-2006, menulis buku "Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?" (Ombak 2004), "Orang Mandar Orang Laut" (KPG 2005), "Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara" (Ombak 2009), "Mandar Nol Kilometer" (Koran Mandar, 2011)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Save Our Kalumpang" 04: Sekomande, Sarung Ikat Tertua di Dunia

10 Januari 2012   14:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa rencana pembangunan PLTA Karama harus di kawasan Batu Menggaragaji? Dugaan saya, salah satu penyebabnya sebab kawasan itu adalah DAS (daerah aliran sungai) yang sumberdaya airnya paling tidak berasal dari dua sungai utama, Sungai Bonehau dan Sungai Karama.

Dalam hitung-hitungan teknis, bisnis, dan tingkat daya/energi yang akan dihasilkan nanti, alasan tersebut amat masuk akal. Malah dianjurkan. Akan beda debit air bila PLTA dibangun sebelum kawasan pertemuan dua sungai tersebut, misalnya di Sungai Karama saja atau Sungai Bonehau saja.

Sebelum lanjut, saya ingin menjelaskan sedikit tentang kata “bonehau”. Sebenarnya antara “bone” dengan “hau” itu terpisah. Tapi karena lama-lama menjadi nama sebuah tempat, akhirnya disatukan, menjadi “Bonehau”. Jadi bila konsisten, Karama juga dipasangi “bone” didepannya, menjadi “Bonekarama”.

Kata “bone” kemungkinan besar nama kuno dari “sungai besar” dalam cabang-cabang bahasa Austronesia. Ada beberapa varian dari penyebutan sungai dalam bahasa daerah di Sulawesi Barat, seperti “salu” (mungkin berarti sungai yang lebih kecil dari ukuran “bone”), “binanga” (misal Binanga Karaeng di perbatasan Mandar – Bugis), “lembang” (seperti Lembang Matama di Alu, dan “wai”, tapi kata ini lebih dimaknai sebagai air.

Hal di atas masih hipotesa saya pribadi, baik berdasarkan saya sebagai pengguna bahasa Mandar maupun atas analisis peta yang mana ada saat simbol aliran sungai disebut “bone” (untuk sungai yang besar), ada saat ditulis kata “salu” untuk cabang-cabang sungai yang lebih kecil. Masih perlu penelitian lebih mendalam, khususnya oleh para ahli bahasa.

Artinya, situs Kalumpang dan kampung-kampung sekitarnya masih memendam harta karun akan akar kebudayaan kita yang belum digali sepenuhnya. Sejauh pengataman saya dari beberapa referensi ilmiah, situs Kalumpang masih diteliti sebatas peninggalan-peninggalan budaya bendawinya, misalnya tembikar. Sedang bentuk kebudayaan lainnya, belum pernah saya temukan (mungkin sudah ada tapi belum saya lihat/baca).

Dan ketika Bonehau, Kalumpang, Tamaletua, Sumuak, Pabettenagan, Tollondok, Tammalea, dan kampung lain (akan) ditenggelamkan, maka upaya penggalian bentuk-bentuk kebudayaan Kalumpang akan semakin sulit dilakukan. Alasannya jelas, sebab para penutur atau pewaris bentuk-bentuk kebudayaan Kalumpang akan terdiaspora ke berbagai tempat, berpindah dari lingkungan yang mempengaruhi kebudayaannya.

Bentuk-bentuk budaya Kalumpang masih belum terdokumentasi dengan baik sehingga sangat menyedihkan bila peradaban tertua kita itu harus dilenyapkan dalam hitungan hari. Saat pintu dam PLTA Karama mulai ditutup, ketika air mulai naik di sisi timur dam.

Bila memang menenggelamkan Kalumpang menjadi pilihan, sebelumnya harus ada upaya atau kerja keras untuk merekam apa saja bentuk-bentuk kebudayaan Kalumpang, mulai dari bahasa-bahasanya, teknologinya, pranata sosialnya, hingga ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Setelah itu, dibuatkan museum Kalumpang. Dan itu tak akan bisa selesai 4-5 tahun, sebagaimana target Anwar Adnan Shaleh selesainya PLTA Karama.

Para ahli etnografi mengategorikan orang Kalumpang ke dalam rumpun budaya Toraja. Hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab saat ini, beberapa ragam budaya orang Kalumpang semisal penguburan di liang dan tebing batu, kain tenun, juga bahasa mirip dengan budaya orang Toraja.

Bahasa juga demikian. Kalumpang satu kelompok dengan Mamasa, Rongkong, Toraja Sa’dan (Makale, Rantepao atau Kesu’ dan Toraja Barat atau Mappa – Pana) dan Toala’ (Toala’ dan Palili’), yaitu Sub-famili Toraja Sa’dan.

Jadi, meskipun secara geografis Kalumpang masuk wilayah Mamuju atau Sulawesi Barat (Mandar), dari segi budaya, Kalumpang agak berbeda dengan kebudayaan Mandar atau kebudayaan Mamuju secara umum.

Berdasarkan penelitian terbaru terutama berdasarkan tradisi lisan dan bukti arkeologis, kebudayaan orang Kalumpang justru lebih tua dan ada kemungkinan budaya Toraja justru berakar dari kebudayaan orang Kalumpang purba.

Salah satu bentuk kebudayaan Kalumpang yang harus dilestarikan adalah teknik pembuatan dan corak sikomande. Corak sikomande tidak hanya terdapat di sarung, tapi juga tembikar. Sebagaimana hasil penelitian tim dari Universitas Sorbonne, Prancis.

Dalam bahasa tradisional setempat, sarung sikomande diistilahkan “baba deata”. Dari hasil penelitian ilmiah, corak sikomande sering dinyatakan sebagai pola desain tenunan ikat tertua di dunia. Pola desainnya sendiri disebut Sah Hyun Kalanay, yang mulai tersebar ke seluruh Asia dan Oceania sejak abad pertama masehi.

Corak atau teknik pembuatan sarung sikomande ada kemiripan dengan teknik pembuatan sarung ikat di beberapa pulau di Nusa Tengga Timur (Flores). Sewaktu saya melakukan penelitian tentang kebudayaan pemburu ikan paus di Lamalera (Larantuka), dalam cerita rakyat disebutkan bahwa moyang mereka berasal dari pantai timur Pulau Sulawesi, yaitu daerah Luwuk sekarang ini.

Adapun jalur migrasinya dari Pulau Sulawesi hingga sampai ke Flores melalui Kep. Sula, P. Buru, P. Seram hingga Kep. Kei, ke Kep. Tanimbar, sampai memutar kembali ke arah barat, menuju P. Leti, P. Wetar, P. Flores, dan sekitarnya.

Dengan kata lain, dugaan yang mengatakan bahwa teknik dan corak sarung sikomande sebagai yang tertua di dunia amat masuk akal, sekaitan dengan pola migrasi di atas. Sebab, dari Kalumpang ke Toraja hingga Luwuk ada jalur purba. Artinya, teknik-corak sikomande jauh lebih tua dibanding yang ada di pulau-pulau Nusa Tenggara sekarang ini.

Sayangnya, orang Sulawesi Barat sendiri (baca: pemerintah kita) amat bersemangat untuk meluluhlantakkan warisan dunia yang dipercayakan ke Sulawesi Barat itu atas nama membangun PLTA. Kita jangan menyalahkan orang Cina yang ingin berinvestasi, tapi harus kita tuntut orang-orang kita (yang menentukan sebab mereka pengambil kebijakan) untuk tidak menenggelamkan satu-satunya peradaban tertua yang kita miliki.

Wajar masyarakat di bantaran Sungai Karama dan Sungai Bonehau menolak pembangunan PLTA Karama, sebab bila betul terjadi, bukan hanya kebudayaan mereka yang akan rusak, tapi kenangan masa lalu akan sirna. Makam orangtua kita saja bila mau dipindah atau dihilangkan sudah terasa berat, apalagi kalau itu makam nenek moyang dan peradaban. Pasti amat menyakitkan bila itu musnah.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun